Ceknricek.com -- Pemerintah sudah dipastikan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2020. Hanya saja, berapa besar kenaikan itu belum diputuskan. Dalam Nota Keuangan beserta APBN 2020, penerimaan cukai ditargetkan mencapai Rp179,2 triliun, yang mayoritasnya dari penerimaan dari CHT sebesar Rp171,9 triliun.
Secara umum, pendapatan cukai yang ditetapkan pemerintah pada 2020 naik 8,2% dibandingkan yang ditetapkan dalam outlookpenerimaan sepanjang 2019. Sedangkan tahun ini pendapatan cukai diperkirakan mencapai Rp165,7 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 3,7% dari tahun 2018.
Selain menaikan tarif cukai rokok, kenaikan ini bakal diperoleh dari penertiban cukai berisiko tinggi, dan rencana penambahan Barang Kena Cukai (BKC) berupa kemasan atau kantong plastik.
Cukai Rokok (Sumber: Cermati)
Nah, soal kapan kenaikan cukai itu, belum diputuskan. "Kita review nanti, baru kita akan umumkan sesegera mungkin," ujar Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi, usai menghadiri penyampaian RUU APBN 2020 dan Nota Keuangan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jumat (16/8).
Pada tahun ini, tarif cukai rokok tidak naik. Kendati demikian, pendapatan cukai dari tembakau terus tumbuh. Pada kuartal pertama 2019, penerimaan cukai rokok sebesar Rp21,35 triliun atau tumbuh 165% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Baca Juga: Global 2000: Ada Sumbangan Para Perokok
Anggota Dewan Penasihat Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Andriono Bing Pratikno, menduga kenaikan tersebut akibat produksi rokok naik, di sisi lain rokok ilegal berkurang. “Itu pasti batangannya yang meningkat dan peningkatan batangan berarti hasil dari pemberantasan rokok ilegal,” terangnya.
Pemerintah berharap pendapatan cukai tembakau bisa naik dari keberhasilan pelaksanaan program PCBT, assessment kapasitas produksi pabrik-pabrik rokok besar, dan penyempurnaan ketentuan terkait penundaan dan pelunasan cukai.
Mesti disadari bahwa penentuan target pendapatan cukai diarahkan untuk mengendalikan konsumsi dan mengurangi dampak negatif (negative externality) barang kena cukai melalui penyesuaian tarif cukai.
Heru Pambudi mengatakan salah satu upaya yang ditempuh untuk menggenjot penerimaan dari sisi cukai adalah dengan cara melegalkan produk yang sebelumnya tidak legal menjadi legal untuk memperluas tax base.
Heru Pambudi, Direktur Jenderal Bea dan Cukai (Sumber: Industry.co)
Khusus rokok, sebelumnya yang ilegal dua tahun lalu 12% terus turun jadi 7%. “Target tahun ini turun menjadi 3%. Masih ada ruang yang ilegal untuk membayar. Selain itu saya juga dari cukai plastik, meski tidak full," ujarnya.
Penerimaan yang bisa dimaksimalkan dari cukai plastik tersebut adalah cukai kantung plastik terlebih dahulu, sebelum mengarah kepada cukai plastik produk lainnya. "Kita mulai cukai plastic bag dulu, tidak akan keluar dari itu. Pemerintah tidak akan mematikan industri plastik, sehingga tidak mungkin tarif setinggi-tingginya," ujarnya.
Adapun, terkait prinsip pemungutan cukai dari plastik tersebut, nantinya akan berdasarkan pembukuan produsen plastic bag tersebut. Pasalnya, kantung plastik tidak mungkin dilekati dengan pita cukai. "Prinsip perpajakan dan pungutannya kan sudah modern, tidak harus dalam bentuk fisik. Kita punya set fungsi pengawasan. Kalau plastik itu bisa di-trace ini produksi siapa, ada pabriknya. Pungutannya dengan cara seperti itu saja," ujarnya.
Adapun realisasi penerimaan DJBC secara keseluruhan hingga 23 Juni 2019 yakni Rp80,5 triliun atau 38,57% dari target APBN 2019. Jumlah penerimaan itu terdiri dari penerimaan bea masuk Rp16,5 triliun (42%), bea keluar Rp1,6 triliun (35%) dan cukai Rp62,5 triliun (37,75%).
Stabilitas
Kembali ke cukai tembakau. Kendati pemerintah belum memutuskan berapa besar kenaikan cukai rokok, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Malang (Gaperoma), Johny, berharap agar kenaikannya tidak melebihi nilai inflasi karena mempertimbangkan kondisi pasar.
Sedangkan PT Bahana Sekuritas memperkirakan kenaikannya berkisar 10%-11%. Analis Bahana Sekuritas, Giovanni Dustin, mengatakan bila pemerintah menaikkan cukai rokok secara signifikan, kenaikan tersebut akan menambah beban industri, yang pada akhirnya bisa berdampak pada ketidakstabilan industri rokok.
‘’Dengan adanya tekanan dari pasar global yang bisa berdampak pada perekonomian domestik, pemerintah kelihatannya akan cenderung mengutamakan stabilitas di dalam negeri," katanya melalui siaran pers, Selasa (16/7).
Saat ini pasar tengah berspekulasi bila pemerintah akan menaikkan tarif cukai rokok yang lebih besar dari biasanya untuk 2020, setelah pemerintah tidak menaikkan cukai rokok untuk tahun ini.
Sumber: Kabarbisnis
Baca Juga: Tembakau Deli, Primadona Sumatera Yang Kian Redup
Sementara untuk struktur tarif cukai, Johny berharap agar tetap seperti yang tertuang dalam PMK No.156/2018, yaitu sebanyak 10 layer. Asosiasi juga menolak penyederhanaan struktur tarif cukai karena dinilai hanya menguntungkan pihak tertentu saja. “Perusahaan yang disederhanakan harus mengalami kenaikan tarif cukai yang bisa mematikan perusahaan yang digabungkan,” katanya.
Kebijakan pengaturan layer sebelumnya dipastikan berdampak pada penutupan beberapa pabrik rokok. Hal ini terlihat dari jumlah pabrik rokok di Indonesia yang sebanyak 2.540 pabrik pada 2011 dan menurun menjadi 487 pabrik pada 2017.
Biasanya, pemerintah menetapkan tarif cukai rokok pada kuartal empat setiap tahunnya. Dalam 4 tahun terakhir, pemerintah menetapkan rata-rata tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada kisaran 10%-11%.
Terbatas
Industri rokok memberi kontribusi positif terhadap perekonomian negara. Mulai dari sumbangan cukai rokok terhadap penerimaan negara hingga menciptakan lapangan kerja. Dari sisi penerimaan negara, cukai rokok pada 2018 menyumbang sebesar Rp153 triliun. Sementara dari sisi ketenagakerjaan, industri rokok menyerap lebih dari 7 juta tenaga kerja. Lebih dari itu, industri rokok juga melahirkan orang-orang terkaya Indonesia.
Asal tahu saja, rata-rata tarif cukai rokok selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo naik 10,5% per tahun. Namun, pada tahun ini, Kementerian Keuangan memutuskan tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau maupun kenaikan batasan harga jual eceran. Tarif cukai hasil tembakau tahun ini melanjutkan kebijakan yang diterapkan pada 2018 atau tetap mengacu pada pasal 6 dan 7 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 146/2017.
PT. Gudang Garam (Sumber: CNBC)
Kendati demikian, beberapa perusahaan rokok besar seperti PT Gudang Garam dan PT HM Sampoerna sudah beberapa kali menaikkan harga di tingkat konsumen untuk beberapa merek rokok yang banyak diminati masyarakat. Kisaran kenaikan harga yang dilakukan Gudang Garam sekitar 1,5%-3,6%, sedangkan Sampoerna menaikkan harga pada kisaran 1,3%-2,1%.
Hanya saja, untuk beberapa bulan ke depan, ruang untuk menaikkan harga rokok cenderung terbatas, karena wait and see untuk keputusan kenaikan cukai untuk 2020.
Kondisi industri rokok saat ini sedang lesu darah. Dalam lima tahun terakhir ini, tren penjualan rokok terus menurun. Dari 352 miliar batang pada 2014, lalu menjadi 332 miliar batang pada 2018. Rata-rata turun 2% tiap tahun.
PT HM Sampoerna (Sumber: Inilah)
Memang sih, bagi emiten rokok, industri rokok yang melesu tidak sepenuhnya berdampak terhadap kinerja mereka. Ada emiten yang penjualannya masih tumbuh di atas pertumbuhan PDB. Namun, ada juga yang terpuruk sejalan dengan kondisi industri rokok saat ini.
Menurut Ernst & Young, konsumsi rokok per kapita di Indonesia dalam lima tahun terakhir ini terus menurun. Dari 2.132 batang perkapita per tahun pada 2014, menjadi 1.980 batang perkapita per tahun pada 2017.
Industri rokok memang tergolong sebagai sunset industry. Namun, bagi produsen besar seperti Gudang Garam, kondisi itu belum terlihat. Mereka masih bisa tumbuh sampai dengan beberapa tahun ke depan. Para pengisap asap rokok masih cukup loyal dengan mereka. Tapi memang secara long term bisnis ini kurang menjanjikan karena tantangan makin banyak. Lagi pula, masyarakat juga semakin memperhatikan kesehatan sehingga konsumsi rokok akan melambat.
BACA JUGA: Cek EKONOMI & BISNIS, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.