Ceknricek.com--Kebijakan fiskal Indonesia menunjukkan disorientasi yang mengkhawatirkan. Di tengah tekanan ekonomi global dan domestik, pemerintah justru memilih jalan mudah dengan membebankan peningkatan penerimaan negara kepada rakyat melalui kenaikan PPN menjadi 12%. Kebijakan ini mencerminkan ketidakberpihakan pemerintah pada rakyat yang sudah terhimpit kesulitan ekonomi dan penurunan daya beli.
Sementara itu, potensi penerimaan besar dari sumber daya alam justru dibiarkan mengalir ke kantong segelintir elite. Dari sektor batubara saja, negara kehilangan potensi penerimaan hingga Rp 440-490 triliun per tahun akibat skema bagi hasil yang tidak adil. Belum lagi di sektor kelapa sawit, dimana potensi kebocoran mencapai Rp 300 triliun per tahun. Angka-angka ini jauh lebih besar dibanding target penerimaan dari kenaikan PPN yang hanya Rp 75 triliun per tahun.
Sikap pemerintah yang lebih "segan" kepada pengusaha besar dibanding kepada rakyat mencerminkan distorsi dalam prioritas kebijakan fiskal. Alih-alih memaksimalkan penerimaan dari sektor ekstraktif yang dikuasai segelintir elite, pemerintah memilih menambah beban rakyat yang sudah kesulitan. Hal ini terlihat jelas dalam kasus pengelolaan batubara, dimana negara seolah tidak berdaya menghadapi kekuatan korporasi besar yang menguasai sumber daya strategis ini.
Pada Jumat, 19 Juli 2024, Andrinof A. Chaniago, dosen Ekonomi-Politik FISIP UI, menulis artikel tajam di halaman Opini harian Kompas. Berjudul "Tata Kelola Batubara Rasa Kolonial", artikel tersebut membongkar ketimpangan fundamental dalam pengelolaan batubara Indonesia yang mencerminkan pola eksploitasi kolonial modern.
Indonesia sedang menghadapi paradoks kebijakan fiskal yang mencerminkan distorsi dalam pengelolaan kekayaan negara. Pemerintah berencana menaikkan PPN menjadi 12% mulai 2025 yang akan membebani seluruh lapisan masyarakat. Namun di saat yang sama, negara membiarkan potensi penerimaan triliunan rupiah dari sektor batubara mengalir ke kantong segelintir pengusaha.
Data yang diungkap Andrinof mengejutkan. Selama 2021-2022, total nilai penjualan batubara mencapai Rp 3.340 triliun. Setelah dikurangi biaya produksi Rp 780 triliun, keuntungan bersih yang dinikmati pengusaha mencapai Rp 1.500 triliun. Sementara penerimaan negara, termasuk pajak dan PNBP, hanya sekitar Rp 300-400 triliun.
Jika diterapkan skema bagi hasil 50:50, negara berpotensi mendapatkan tambahan penerimaan Rp 440-490 triliun per tahun. Angka ini hampir enam kali lipat dibandingkan potensi penerimaan dari kenaikan PPN menjadi 12% yang hanya Rp 75 triliun per tahun. Ironisnya, pemerintah justru memilih opsi yang membebani rakyat dan berpotensi memperburuk perekonomian.
Dampak kenaikan PPN akan sangat terasa. PDB riil diprediksi turun 0,03%, ekspor menurun 0,5%, dan inflasi naik 1,3%. Efek berantai akan menekan daya beli masyarakat dan pendapatan perusahaan, yang berujung pada tekanan kesejahteraan pekerja. Di sisi lain, pengusaha tambang terus mengeruk keuntungan fantastis tanpa kontribusi sepadan untuk negara.
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Realitasnya justru sebaliknya - negara membiarkan kekayaan alam dikuasai segelintir elite sambil membebankan penerimaan negara kepada rakyat melalui pajak konsumsi.
Indonesia adalah pengekspor batubara terbesar dunia dengan volume ekspor 750 juta ton per tahun. Namun 80% produksi diekspor, sementara Indonesia tidak masuk dalam 10 negara dengan cadangan batubara terbesar. Ini menunjukkan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya terbatas tanpa memaksimalkan manfaat bagi negara.
Dampak ketimpangan meluas ke ranah politik. Para pengusaha tambang memiliki pengaruh signifikan dalam pemilihan kepala daerah hingga nasional. Kekayaan dari hasil tambang memberi mereka kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan publik. Lebih mengkhawatirkan, sebagian besar hasil ekspor batubara diduga disimpan di luar negeri, semakin menjauhkan manfaat ekonomi dari rakyat Indonesia.
Situasi ini bahkan lebih buruk dari era Orde Baru, dimana setidaknya pengusaha masih tunduk pada kekuasaan negara. Saat ini, negara seolah menjadi pelayan kepentingan korporasi sembari mengalihkan beban fiskal kepada rakyat. Pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan, seperti yang dikritik Andrinof, hanya akan memperkuat oligarki dan memperburuk ketimpangan.
Paradoks kebijakan fiskal ini bukan sekadar masalah teknis ekonomi, tetapi mencerminkan pergeseran fundamental dalam orientasi negara - dari pengabdian pada kepentingan rakyat menjadi pelayan korporasi. Memilih menaikkan PPN daripada mereformasi bagi hasil batubara adalah bukti nyata bahwa negara lebih memilih membebani rakyat daripada berhadapan dengan kekuatan korporasi.
Tanpa reformasi mendasar dalam kebijakan fiskal dan tata kelola sumber daya alam, Indonesia berisiko terjebak dalam kolonialisme gaya baru. Kekayaan alam dikuasai segelintir elite sementara rakyat menanggung beban pembangunan melalui pajak konsumsi. Ini bukan hanya pengkhianatan terhadap konstitusi, tetapi juga terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia.
RM 27 Desember 2024
Editor: Ariful Hakim