Peran Kemenkes dalam Kematian Aulia, Bau Busuk yang Coba Ditutupi dengan Penghargaan | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Peran Kemenkes dalam Kematian Aulia, Bau Busuk yang Coba Ditutupi dengan Penghargaan

Ceknricek.com--Baru-baru ini muncul berita terkait dengan Pemberian Penghargaan oleh menkes kepada almarhumah dr. Aulia Risma Lestari (ARL) sebagai Pahlawan di dunia kedokteran (https://www.tvonenews.com/channel/news/238939-menkes-berikan-penghargaan-untuk-alm-dokter-aulia). Hal ini sungguh tidak mengherankan, mengingat peran menkes sebagai polisi, Jaksa dan sekaligus sebagai Hakim yang menjatuhkan hukuman, sejak awal kasus ini terjadi, bahkan sebelum dimulainya penyelidikan oleh kepolisian. Masyarakat luas mesti tahu bahwa segera setelah terjadinya peristiwa meninggalnya dr. ARL pada tanggal 13/8/2024, menkes langsung merespon cepat dengan Surat No. TK. 02.02/D/44137/2024, tgl 14/8/2024 tentang Pemberhentian Program Anestesi Undip di RS Dr.Kariadi, Semarang. Dalam surat tersebut jelas tertulis dugaan perundungan yang mengakibatkan terjadinya Bunuh Diri dr. ARL.

Tentang sebab kematian dan keterkaitannya dengan bullying, perlu pembuktian berdasarkan penyelidikan yang mendalam oleh polisi. Sampai dengan hari Jum’at 16/8/2024 Kapolrestabes Semarang menyatakan tidak ada bukti terkait perundungan dalam kematian dr. ARL (https://youtu.be/8vwS3bkVfvo?si=WWAEMhH8ociykbet).

Kita semua sepakat, bahwa bullying dalam bentuk apapun ringan mapun berat adalah musuh bersama yang harus dicegah dan diperangi. Apalagi bila sampai terjadi kematian, maka ini termasuk ranah pidana, dan harus ada individu/ pelaku yang bertanggung-jawab. Kepolisian adalah institusi negara yang paling berwenang, setelah mengumpulkan barang bukti dan keterangan, untuk menyatakan sebab kematian serta ada tidaknya keterkaitan dengan bullying.

Bunuh diri adalah sebuah kejadian kematian yang tidak wajar, dan Kepolisian adalah pihak yang paling bertanggung-jawab untuk melakukan penyelidikan dan dari fakta-fakta yang ada tentang sebab kematian dan keterkaitannya dengan peristiwa bullying. Bahkan pada hari Kamis tgl 15/8/2024 dari pihak keluarga, melalui pengacaranya (bukan pengacara yang disiapkan oleh menkes, Misyal Akhmad) membantah bahwa kematian dr. ARL disebabkan oleh bunuh diri (https://www.detik.com/jateng/berita/d-7494074/keluarga-bantah-mahasiswi-kedokteran-undip-tewas-bunuh-diri).

Rasanya tidak mungkin bantahan Susyanto selaku Pengacara Keluarga pada tgl. 16/8/2024 ini dilakukan tanpa sepengetahuan/ persetujuan keluarga dr. ARL. Sebagai pemeluk Islam yang taat, ARL dan keluarganya tahu bahwa Bunuh Diri adalah perbuatan Dosa Besar yang tidak terampuni. Sehingga tuduhan menkes bahwa dr. ARL meninggal akibat bunuh diri ini berpotensi besar menyebabkan tekanan jiwa sampai meninggalnya Ayahanda dr. ARL yang kebetulan memang sedang sakit, beberapa waktu kemudian. Dan terakhir, dari pihak Kepolisian menyatakan bahwa sebab kematian dr.ARL adalah pemakaian obat anti nyeri/ pelemas otot dengan dosis yang berlebih.(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240817173502-20-1134313/polisi-sebut-over-dosis-obat-suntik-di-kematian-dokter-muda-ppds-undip).

Meski dari pihak Undip, melalui Siaran Pers No. 647/UN7.A/TU/VIII/2024 tg 15/8/2024 telah membantah terjadinya perundungan, tetapi tetap saja bahwa surat menkes No. TK.02.02/D/44137/2024 adalah sebuah Framing Buruk dan Tuduhan tanpa bukti kepada Institusi Universitas Diponegoro.

Beban Finansial Peserta didik PPDS, menkes yang Selalu Ingkar Janji, dan Beasiswa bak Pinjol

Kalau mahasiswa Kedokteran adalah para lulusan SMU yang belum berkeluarga dan hidupnya masih bergantung sepenuhnya pada orang tua, sementara para peserta didik PPDS/Residen ini berusia 26-36 tahun, umumnya baru memulai kehidupan berkeluarga dengan 1-3 anak yang masih balita. Jadi para peserta didik PPDS adalah mereka yang punya tanggungjawab finansial untuk kehidupan keluarga dan anak-anaknya. Apalagi program PPDS ini berlangsung penuh waktu, artinya peserta didik tidak punya kesempatan untuk sambil bekerja paruh waktu sebagai dokter umum misalnya.

Setelah diterima, peserta didik wajib membayar uang Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) yang bervariasi antara 25-150 juta, dan biaya pendidikan sesuai UKT/ SPP yang ditetapkan oleh masing-masing universitas. Saat ini besaran UKT sekitar 15-30 juta per semester, selama 7-11 semester, atau 150-300 juta selama masa pendidikan, tergantung bidang ilmu nya. Sulit rasanya mencari negara lain di dunia, dimana peserta didik PPDS harus mengeluarkan biaya begitu besar.

Situasi seperti ini pernah terjadi di USA sekitar 60-70 tahun yang lalu, akan tetapi saat ini seorang peserta didik PPDS memperoleh insentif sekitar USD 5000 di USA, USD 1000 di Brasil, dan Afrika Selatan, USD 500-700 di India dan Filipina (@pandemictalks, 9/8/2020). Di Indonesia, kewajiban RS Pendidikan untuk memberi insentif kepada peserta didik PPDS sudah ada sejak lebih dari 10 tahun lalu, berdasarkan UU No. 20-2013 pasal 31. Tetapi semua RS Vertikal, tempat para PPDS ini dipekerjakan secara gratis, selalu saja berkelit dengan seribu satu macam alasan, seperti soal status kepegawaian para PPDS tersebut, insentif tidak harus berbentuk materi, peraturan pelaksanaan yang belum ada, dan banyak lagi.

Dalam 10 tahun terakhir ini, kemenkes menawarkan skema beasiswa pendidikan spesialis untuk bidang-bidang tertentu guna memenuhi kekurangan SDM dokter spesialis untuk RSUD yang membutuhkan. Beasiswa atau Tunjangan Belajar (Tubel) spesialis ini diberikan dalam 2 komponen, komponen biaya sekolah (Sumbangan Pengembangan Institusi/ SPI dan UKT/SPP) yang dibayarkan langsung ke institusi pendidikan, dan komponen biaya hidup yang ditransfer ke rekening peserta didik setiap semester. Jumlah yang dibayarkan ke Institusi adalah SPI (bervariasi antara 25-100 juta sekali saja) dan UKT/SPP (bervariasi antara 15-30 juta/ semester). Bantuan biaya hidup, sesuai Permenkeu No. 83/PMK.02/2022, sebesar 20.690.000/ tahun ditransfer langsung ke rekening peserta didik setiap semester.

Terkait dengan Tubel ini, calon PPDS mendaftar sebagai peserta melalui RSUD untuk bidang spesialisasi yang dibutuhkan oleh RSUD tsb. Bisa jadi pilihan bidang spesialisasi ini tidak sesuai dengan passion/ keinginan peserta didik, melainkan mengikuti bidang spesialis yang paling dibutuhkan oleh RSUD. Saat mendaftar, ybs mesti membuat pernyataan a.l. Tidak akan mundur dari program, dan bila mengundurkan diri akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan (SE No. HK.02.02/F/1845/2024).

Permenkes No.37-2022 tentang denda bagi penerima Tubel, dan Kematian dr. ARL

Sanksi terkait Tubel ini termuat dalam Permenkes No.37-2022 tentang Bantuan Biaya Pendidikan Kedokteran dan Fellowship. Pada pasal 55 ayat 2, tertulis sanksi bagi yang mundur atau tidak menyelesaikan pendidikan diharuskan mengembalikan biaya pendidikan sebesar 5x (Lima Kali) jumlah biaya yang telah dikeluarkan selama masa pendidikan bagi peserta program dokter spesialis, dan 10x (Sepuluh Kali) bagi peserta program dokter Subspesialis. Terlihat di sini menkes menganggap para penerima beasiswa/ tubel ini seolah telah menyerahkan hak hidupnya kepada kemenkes sehingga mereka tidak punya pilihan selain menyelesaikan PPDS nya atau membayar denda sebesar 5-10 kali biaya yang sudah mereka terima.

Di Undip, dari 1055 PPDS, ada 109 penerima tubel kemenkes. Sedangkan di Unair, dari 1875 PPDS, ada 246 penerima tubel. Tentu saja selalu akan ada mereka yang pilihan bidang spesialis nya tidak sesuai dengan keinginan hati, memilih karena terpaksa demi mendapatkan beasiswa karena tidak punya dukungan finansial dari orang tua maupun mertua. Bisa pula terjadi, karena suatu sebab, misalnya sakit yang mengganggu tugas/ proses belajarnya, dan mereka terpaksa tidak dapat menyelesaikan studi, maka pilihannya adalah mundur tapi harus bayar denda bak hutang pada rentenir/ lintah darat, atau mati agar bebas dari sanksi bayar ‘pinjaman’ dengan bunga 500-1000% (sesuai Permenkes 37-2022). Coba bandingkan dengan beasiswa LPDP yang tidak mewajibkan pengembalian bagi yang mundur karena sakit, dan bagi yang gagal studi hanya mengembalikan sesuai jumlah yang sudah diterima tanpa ada tambahan bunga sepeserpun (https://tinyuri.com/PengunduranDiriLPDP).

Negara (baca: menkes) tidak boleh menganggap mereka yang terpaksa mundur/ tidak bisa menyelesakan studi sebagai orang yang salah dan punya maksud jahat sehingga mesti dihukum berat membayar denda dengan bunga yang jauh lebih besar dari bunga Pinjol. Untuk PPDS Undip dengan masa studi 2 tahun, besarnya dana yang mesti dikembalikan bisa mencapai 750 juta, betapa mengerikan. Sebagaimana kita ketahui, ada banyak kejadian bunuh diri, bahkan kematian sekeluarga yang diduga kuat terkait dengan beban pinjaman on-line alias pinjol.

Bagi penerima tubel kemenkes, kewajiban mengembalikan dana 5-10 kali lipat bila studi tidak selesai, bisa jadi merupakan beban berat dan penyebab utama stres yang kemudian mendorong keinginan untuk mengakhiri hidup. Almarhumah dr. ARL, saat akhir semester 2, pernah menyampaikan kepada dosennya terkait keinginan untuk mengundurkan diri dari program PPDS, tetapi hal ini ditolak oleh sang ibu karena kewajiban pengembalian Tubel yang jumlahnya sekitar 400 juta rupiah. Kenginan untuk mundur ini menyeruak lagi saat akhir semester 4, terkait dengan sakit yang dideritanya sehingga mengganggu mobilitasnya. Lagi-lagi keinginan mundur ini tidak disetujui oleh sang ibu, karena beban pengembalian denda Tubel yang semakin tinggi, mendekati 750 juta rupiah, Astaghfirullahaladzim.

Kematian dr. ARL: Collateral Damage akibat Jam Operasional Kamar Bedah 24 jam

Hampir semua RS pendidikan adalah RS Vertikal milik kemenkes, yang secara hirarki langsung berada di bawah Dirjen Yankes. Jadi, beban kerja para PPDS selama mengikuti proses magang/ pendidikan amat tergantung pada banyaknya pasien yang dirawat di RS Vertikal tersebut. Sebagian RS Vertikal bahkan membuka layanan 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, dan pasti ini akan berimbas langsung pada semakin bertambahnya eksploitasi para PPDS terkait jam kerja dan beban kerjanya. Pernyataan banyak dirut RSV yang mengatakan bahwa RSV bisa beroperasi tanpa ada tenaga kerja gratis alias budak PPDS adalah omong kosong alias hoaks.

Di satu sisi, kemenkes menganggap para PPDS/ Residen jam kerja nya berlebih, hingga rentan untuk dieksploitasi dan banyak yang mengalami stress, tapi disaat yang sama kemenkes menjadikan RS Vertikal seolah BUMN Kesehatan sebagai sumber revenue pemerintah (sebagaimana Pemda yang menjadikan RSUD sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah). Tuntutan menkes agar penghasilan RS Vertikal semakin meningkat, telah memaksa RS untuk menambah jam kerja dan jumlah layanan, tanpa diikuti penambahan jumlah dokter spesialis, perawat, dan nakes lain.

Tuntutan agar RSV meningkatkan revenue bagi sang juragan ini, di RS Dr Kariadi, direalisasikan dalam bentuk Surat Edaran (SE) No. HK.02.03/1.1/7206/2021, tanggal 21 September 2021, tentang Jam Pelayanan Tindakan Operasi Elektif/ Terprogram dan Emergensi di Instalasi Bedah RS Dr. Kariadi. Dengan SE ini, jam operasional kamar bedah berubah menjadi 24 jam dengan 3 (tiga) shift Perawat Kamar Bedah (sebelumnya hanya 2 shift). Jika sebelumnya operasi di luar jam kerja hanya untuk kasus emergensi/ gawat darurat, maka dengan SE ini tidak ada lagi batas antara jam kerja dengan di luar jam kerja.

Dokter Spesialis Anestesi bertugas mengelola tindakan bius dan mendampingi semua dokter yang melakukan pembedahan (Spesialis Bedah, Bedah Saraf, Bedah Tulang, Bedah Jantung, Bedah Onkologi, Bedah Digestif, Bedah Anak, Obstetri dan Ginekologi, Mata, dan THT). Di RS Kariadi, ada 16 Kamar Bedah Terprogram, 2 Kamar Bedah Emergensi, dan 4 Kamar Bedah Day Surgery (operasi yang tanpa rawat inap), jadi total ada 22 Kamar Bedah dengan total 120-140 tindakan operasi setiap hari. Belum lagi tanggung-jawab mengawasi lebih dari 40 pasien ICU, menerima pasien UGD dengan kegawatan tinggi (Label Merah), pasien anak yang perlu foto MRI, serta pasien- pasien yang akan menjalani terapi Radiasi (Radioterapi). Padahal jumlah dokter spesialis anestesi cuma ada 18 orang saat itu.

Saat selesai operasi dan menunggu shift operasi berikutnya, dokter bedah sudah bisa pergi untuk menyelesaikan tugas lain di Poli Rawat Jalan misalnya, tapi para PPDS anestesi didampingi para mentor-nya harus bekerja keras untuk memulihkan kesadaran pasiennya sebelum dikirim ke Ruang Rawat Inap atau ke ICU. Setelah itu sudah ada shift operasi berikutnya oleh dokter bedah yang lain. Akibatnya, PPDS Anestesi sama sekali tidak punya waktu untuk meninggalkan pasien yang sedang diawasinya, di kamar bedah maupun di ruang pemulihan, sekedar untuk makan-pun susah, apalagi beristirahat, apalagi dengan operasional kamar bedah 24 jam. Setidaknya, situasi ini diduga kuat punya andil terhadap beban Fisik dan Psikis yang dialami oleh para PPDS bidang spesialis yang terkait dengan Kamar Bedah, dan dr. ARL adalah Korban Meninggal dari system kerja RSV yang Tidak Manusiawi, demi mengejar tuntutan sang Juragan.

Penghargaan dr. ARL : Upaya Cuci Tangan menkes menutupi kesalahan sistem RS Vertikal dan Permenkes 37/2022 yang lebih jahat dari Pinjol dan Lintah Darat.

Tahun lalu, seorang dokter spesialis Paru yang bertugas di Nabire, Papua, dr. Mawartih Susanty, meninggal dibunuh setelah sebelumnya diperkosa (https://www.detik.com ; 15 April 2023). Awal April 2024, seorang dokter di Lombok tengah, dr. Lalu Wisnu Aditya Aliwardana, meninggal karena perahunya terbalik dihantam ombak (https://www.kompas.id; 19 April 2024). Lalu ada seorang dokter berinisial MR, yang ditemukan meninggal Gantung diri di ruang praktek di Baturaja, OKU, Sumatera Selatan. Kasat Reskrim Polres OKU, Iptu Yudhistira mengatakan bahwa dugaan sementara penyebabnya karena depresi akibat beban kerjanya terlalu berat (https://www.detik.com; 25 Oktober 2024).

Awal April lalu, seorang dokter Dwi Fatimahyen, 27 th, meninggal dunia setelah menabrak tiang listrik di pinggir jalan di Muaro Jambi. Kecelakaan ini terjadi karena korban dikejar oleh warga dan polisi, dan diteriaki ‘maling’, padahal mobil yang dikendarainya terbukti mobil miliknya sendiri (https://www.cnnindonesia.com; 3 April 2024). Berikutnya, pertengahan Mei 2024, Lettu Marinir dr. Eko Damara, 30 tahun, yang bertugas di daerah konflik di Yahukimo, Papua Pegunungan, dikabarkan meninggal karena bunuh diri. Penyebab kematian dr. Eko diragukan oleh keluarga karena ada kejanggalan berupa luka lebam dan sulutan api rokok di jenazah dr. Eko, apalagi tanpa autopsi dan penyelidikan hukum (https://www.kompas.id; 16 Mei 2024).

Semua berita diatas adalah tentang kematian tidak wajar dari para dokter yang sedang bertugas di berbagai daerah. Apapun status kepegawaiannya, mereka adalah para pejuang kemanusiaan yang meninggal dalam tugas, seperti dialami oleh ribuan dokter dan nakes yang meninggal saat pandemi Covid-19. Pertanyaannya adalah apakah berita tentang para pejuang kemanusiaan yang meninggal secara tidak wajar tersebut terlewatkan begitu saja dari para buzzer di sekitar menkes, sehingga mereka tidak layak untuk memperoleh perhatian dan penghargaan sebagai Pahlawan Kesehatan seperti yang diberikan kepada dr. ARL ?

Pertanyaan berikutnya, mengapa menkes memilih memberikan penghargaan kepada seseorang yang ‘dengan segala hormat’ menyerah dengan mengakhiri hidup? (semoga kelak terbukti bahwa kematian almarhumah tidak akibat bunuh diri, sebagaimana diwajibkan oleh kemenkes). Mengapa penghargaan ini tidak diberikan kepada tenaga kesehatan yang terus berjuang memberikan edukasi, inspirasi, dan semangat hidup kepada masyarakat marginal? Jelas kasat mata (dalam bahasa jawa: Ceto Welo-welo) adanya kejanggalan dalam pemberian penghargaan pada almarhumah dr. ARL ini, apalagi saat diketahui bahwa sang Pengacara keluarga dari kemenkes, Misyal Ahmad, tiba-tiba namanya muncul sebagai anggota Dewan Pengawas sebuah RSV Kemenkes di Sulawesi Selatan.

Ketika tragedi dijadikan panggung untuk pencitraan diri dibalik kegagalan pencapaian target-target pembangunan kesehatan bagi rakyat banyak, ketika pengadaan teknologi kesehatan canggih (Cath lab, PET Scan, Laboratorium Genomik) dijadikan topeng untuk menutupi angka Kusta yang masih nomor 3 di dunia, angka TBC yang masih nomor 2 setelah India, dan angka Scabies yang sukses di peringkat pertama dunia, maka tidak ada lagi posisi atau jabatan apapun yang layak di amanatkan kepada sang juragan yang sama sekali tidak amanah ini.

#Zainal Muttaqin, pengampu Pendidikan Spesialis, Guru Besar Ilmu Bedah Saraf


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait