Ceknricek.com -- SALAH satu kaidah utama dalam menegakan hukum ialah adanya penghormatan terhadap nilai-nilai etika dan moral bagi yang "mengoperasionalkan" hukum itu sendiri (law enforcement).
Jadi, dibutuhkan integritas dan perilaku yang kredibel , sehingga mampu menerapkan / diteladani dalam hal - hal penerapan hukum di pusaran kehidupan masyarakat seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Mengapa demikian, karena esensinya hukum tidak dapat dijalankan dengan baik dan benar, tanpa adanya perilaku yang terpuji dan beradab bagi yang menjalankannya. Sebagaimana dipahami penegakan hukum mengandung supremasi nilai etika dan moral di dalamnya.
Dengan demikian, etika atau filsafat tingkah laku yang berbicara tentang masalah norma - norma hidup bersama, yaitu bagaimana bersikap mencerminkan tindak tanduk yang baik, serasi dalam hidup antar pribadi serta tidak melanggar nilai etika dan moral selaku pemangku kepentingan (jabatan). Seperti saudara Firli Bahuri dalam kapasitas sehari-hari selaku Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melakukan pertemuan dengan Mentan SYL di lapangan bulu tangkis. Di mana tamu tersebut diketahui punya perkara yang sementara di lakukan proses pemeriksaan di tingkat penyelidikan KPK.
Dalam konteks moralitas, pertemuan tersebut menjadi sesuatu yang tak elok dipandang atau sangat "menganggu" dalam ukuran kepantasan etika dan penegakan marwah lembaga KPK yang nota bene selaku pemberantas korupsi. Akibatnya, pertemuan tersebut "mencederai" keluhuran harkat dan martabat lembaga yang seharusnya menimbulkan "kewibawaan" dalam pemberantasan korupsi dan di mata pencari keadilan.
Dalam kaitan ini, moralitas dalam pengertian pandangan Immanuel Kant: dipahami sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma , yakni apa yang dipandang sebagai kewajiban kita. Moralitas barulah dapat diukur ketika seseorang mentaati hukum secara lahiriah karena kesadaran bahwa hukum itu adalah kewajiban dan bukan lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum.
Namun, dari kasus merebaknya "tragedi" dialog lapangan bulu tangkis ini, sejatinya "dunia hukum" kita menunjukkan "potret buram" integritas pejabat aparat penegak hukum kita atau kita memang sedang mengalami degradasi kepercayaan yang menunjukkan secara clear bahwa betapa buruknya moralitas aparat penegak hukum yang ada.
Penegakan hukum tidak lagi mengandung supremasi nilai, yaitu kewibawaan, kepastian hukum, dan keadilan. Akan tetapi, kredibilitas hukum terkesan memiliki "kehampaan" nilai yang pada gilirannya berkorelasi dengan ketidakadaan efek jera. Sebab dengan fakta demikian, tak ada lagi suasana "sakralisasi" yang diperlihatkan lembaga ini (KPK) karena membicarakan kasus yang ditangani bisa di bicarakan di mana saja dan kapan saja.
Nah, dampak dari foto pertemuan yang beredar, kini berbagai pertanyaan menyeruak ke publik: bukankah sikap yang dipertontonkan Ketua KPK ini bukan pelemahan akuntabilitas horizontal yang bisa dilihat dan diakses langsung ?
Karena itu, keprihatinan mendalam atas situasi bangsa yang abai terhadap korupsi semestinya "menggugah" sikap dan moralitas kita semua. Apalagi bangsa Indonesia tengah melakukan proses seleksi Pilpres. Hiruk pikuk membicarakan kepemimpinan nasional seharusnya juga membicarakan kesalehan individu pemimpin. Bangsa ini tak boleh gagal melansir kultur kesalehan sosial yang cekatan / tangguh menangkis kebobrokan moral dan menghadirkan integritas moral yang terpuji.
Jakarta, 10 Oktober 2023
#Abustan, Sosiolog/penulis
Editor: Ariful Hakim