Ceknricek.com--Pernyataan Presiden Presiden Prabowo Subianto di depan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat ini perlu mendapat garis bawah. Beliau berjanji untuk mengabdi kepada seluruh rakyat Indonesia termasuk yang tidak memilihnya. Kata yang tidak memilihnya perlu digaris bawahi. Karena ini akan menjadi koreksi langsung terhadap sepuluh tahun gaya pemerintahan sebelumnya. Dimana dalam sepuluh tahun terakhir benang marah keterbelahan bangsa sangat terasa. Pendukung Jokowi atau bukan.
Saya pernah terlibat dialog kecil dengan Pak Jusuf Kalla atau Pak JK di sela-sela sebuah acara. Beliau waktu itu mau dicalonkan lagi jadi wapres sehingga harus melakukan judicial review karena beliau sudah dua kali jadi wapres. Belakangan judicial review itu dibatalkan karena, otomatis, akan membuka peluang SBY untuk mencalonkan diri. Mereka ketakutan kalau SBY nyalon lagi mengingat elektabilitasnya masih tinggi. Pak JK bertanya pada saya,” Bagaimana keberhasilan Pemerintahan Jokowi Man?” Pak JK bertanya pada saya dengan menyebut Man yang merupakan ujung nama saya Nurjaman.
“Tidak berhasil Pak!” Kata saya setengah berseloroh.
“Kenapa Man? Kita sudah kerja keras.” kata Pak JK dengan nada yang agak meninggi. Mungkin Beliau agak tersinggung mengingat lima tahun terakhir pemerintahan Jokowi bersamanya.
“Kerja kerasnya salah kali Pak.” Kata saya sekenanya.
“Jadi apa yang salah Man?” Pak JK semakin penasaran.
“Relawan. Pemerintahan Jokowi memelihara relawan. Kalau keberhasilan lain debatable.” Jawab saya.
“Ada apa dengan relawan Man?” Tanya Pak Jk semakin antusias.
Akhirnya saya jelaskan panjang lebar ke Pak JK bahwa kelemahan pemerintahan Jokowi ini adalah memelihara relawan. Bahkan keberadaan relawan ini dilembagakan. Ada kongres Relawan segala yang dihadiri oleh Presiden Jokowi. Sehingga tampilah relawan menjadi kekuatan pembela presiden yang militan. Di mata relawan pemerintahan Jokowi tidak pernah salah. Bahkan sering dikesankan para relawan ini kebal hukum. Relawan ini tampil menjadi pilar kekuatan tersendiri sebagai pembela presiden.
Ketika masa kampanye tujuan Jokowi dan relawan sama. Menjadikan Jokowi sebagai presiden. Tapi ketika Jokowi sudah jadi Presiden maka, harusnya, Jokowi menjadi milik semua rakyat Indonesia baik memilihnya maupun yang tidak memilihnya. Presiden Jokowi harus mengabdi kepada seluruh rakyat. Bukan presiden relawan.
Tetapi relawan berbeda. Ketika Jokowi Presiden para relawan memaknainya bahwa hanya para relawanlah yang paling berhak berada di sebelah presiden untuk menikmati keberkahan kekuasaan. Sedangkan para mantan lawan ketika kampanye dulu tidak boleh mendekat ke pemerintahan. Para mantan lawan tidak boleh ikut cawe-cawe di pemerintahan. Jadi rekrutmen pemerintahan ukuran utamanya relawan atau bukan relawan. Kalau ada mantan lawan kampanye mendekat ke pemerintahan para relawan akan dengan lantang meneriakinya.
Merekrut relawan tidak boleh? Tentu saja boleh tapi harus tetap mengedepankan merit system. Jangan karena mentang-mentang dia relawan maka akan dicarikan jabatan yang cocok. Bukan karena kebutuhan jabatan lalu dicari orangnya. Maka jadilah, salah satunya, komisaris-komisaris BUMN menjadi ladang ucapan terima kasih kepada relawan.
Relawan di negara biangnya demokrasi cukup mengantar presiden ke gerbang kekuasaan. Setelah itu akan berkata,”Kami bubar Bapak presiden. Setelah ini kami akan menjadi pengkritik anda kalau salah.” Mereka tidak melembagakan diri apalagi nagih-nagih jabatan. Mereka akan menjadi pengkritik bahkan oposisi untuk presiden yang mereka pilih.
Nah di negeri +62 ini, dalam sepuluh tahun terakhir, para relawan ini dilembagakan bahkan seperti memiliki legitimasi. Peran relawan dalam membela pemerintahan Jokowi seperti hidup mati saja. Diperparah lagi dengan gerakan para pendengung alias buzzer. Para pendengung ini bisa menyerang siapa saja yang mengkritik pemerintahan Jokowi. Pembelaan mereka ini melebihi peran para pendukung koalisi pemerintahan yang ada di DPR.
Ketika saya masih aktif di televisi. Kalau bikin talkshow tentang kebijakan pemerintahan cukup mengundang pembuat kebijakan, anggota DPR pendukung dan anggota DPR lawannya. Paling ditambah pengamat yang benar-benar mengerti tentang topik ini. Tetapi, ketika era Jokowi, dialog itu belum dianggap sempurna kalau belum memasukan relawan. Jadi betapa strategisnya relawan itu.
Pernah teman saya orang bule Amerika bertanya sama saya. Apakah relawan itu partai? Tentu saya jawab bukan. Kok begitu berkuasa di negeri anda. Waduh susah juga menjawabnya. Karena memang relawan itu tidak ada di struktur pemerintahan. Hanya ada di era pemerintahan Jokowi. Dan saya yakin kepres untuk relawan ini tidak ada. Mungkinkah didaftarkan di Dirjen AHU Kementerian Kumham sebagai organisasi masa. Kurang tahu saya.
Pernah saya bilang ke para relawan Jokowi yang saya kenal untuk membubarkan diri. Jawaban mereka ingin menjaga Jokowi agar tidak jatuh ke tangan konglomerat hitam. Waduh. Bukankah Jokowi sudah berteman dengan konglomerat itu. Dari unggahan foto kita bisa melihat para konglomerat itu berbicara dengan presiden. Dari para konglomerat atau oligarki itu apakah ada yang hitam atau putih. Hanya para relawanlah yang tahu.
Akhirnya Pak JK pun mengakui bahwa Beliau pun pernah mengajak Pak Jokowi untuk membubarkan relawan. Waktu itu, kata Pak Jk, pertama kali duduk berdua dengan Pak Jokowi setelah dinyatakan menang tapi belum dilantik. Tapi Pak Jokowi menolak dengan alasan takut PDIP menarik dukungan. Jadi relawan dijadikan pengganti dukungan partai-partai politik. Maklum Jokowi tidak punya partai politik.
Maka ketika Presiden Prabowo dalam pidato pelantikannya menyatakan bahwa akan menjadi presiden untuk seluruh rakyat. Maka ini akan menjadi koreksi terhadap pemerintahan Jokowi selama sepuluh tahun yang digandoli oleh relawan. Kalau apa yang disampaikan Presiden Prabowo itu jadi kenyataan maka benang merah keterbelahan bangsa selama sepuluh tahun akan hilang dengan sendirinya. Wallahu ‘alam.
#Nurjaman Mochtar/Wartawan Senior/ Dewan Pakar PWI
Editor: Ariful Hakim