Rencana IPO Tokopedia, Semoga Bukan Untuk Bakar Uang | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Katadata

Rencana IPO Tokopedia, Semoga Bukan Untuk Bakar Uang

Ceknricek.com -- Di saat bursa sedang “cemas”, Tokopedia berencana menjala dana murah di lantai bursa. Sejumlah media memberitakan unicorn--usaha rintisan dengan valuasi US$1 miliar--ini mulai melakukan pembicaraan dengan bakal investor potensial terkait dengan pendanaan putaran akhir sebelum perusahaan memasuki pasar saham.

Pada Rabu (16/10), Bloomberg memberitakan Tokopedia yang didanai oleh Softbank Vision Fund dan Alibaba Group Ltd., tengah mempertimbangkan rencana mencatatkan nama perusahaan di bursa efek. Hanya saja, CEO Tokopedia, William Tanuwijaya, belum terus terang soal ini. Ia tidak secara lebih detail kapan akan menawarkan sahamnya ke publik atau Initial Public Offering (IPO).

Sumber: Kabar Bisnis

Saat ini, Gross Merchandise Value (GMV) Tokopedia mencapai Rp222 triliun atau setara US$16 miliar. Jumlah ini naik tiga kali lipat dibandingkan dengan 2018. Pada tahun lalu GMV Tokopedia mencapai Rp73 triliun. Di sisi lain, jumlah pelapak di marketplace ini mengalami pertumbuhan menjadi 6,4 juta pada 2019. Lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang 5 juta pelapak.

Riset yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menemukan bahwa Tokopedia diperkirakan berkontribusi hingga Rp170 triliun bagi ekonomi Indonesia pada 2019.

Kontribusi itu tidak hanya terjadi di Pulau Jawa, tetapi juga di daerah. Di Sulawesi Utara sebesar Rp160 miliar, Aceh Rp262 miliar, Kalimantan Timur Rp399 miliar, Sumatera Utara Rp2,79 triliun, dan Bali Rp822 miliar.

Baca Juga: Rhenald Kasali: Jangan Terjebak Antara Disrupsi dan Resesi

Wakil Direktur LPEM FEB UI Kiki Verico sebelumnya mengungkapkan, selain dampak langsung terhadap perekonomian Indonesia, hasil riset tersebut menemukan bahwa Tokopedia turut menambah total pendapatan rumah tangga sebesar Rp19,02 triliun, atau setara dengan peningkatan pendapatan sebesar Rp441 ribu untuk semua angkatan kerja Indonesia.

Kemudian, pendapatan rumah tangga tercatat meningkat Rp19 triliun atau setara dengan naiknya pendapatan senilai Rp441.000 untuk setiap angkatan kerja di Indonesia.

Kehadiran platform tersebut juga telah meningkatkan literasi digital di Indonesia. Fungsi edukasi yang dijalankan perusahaan berhasil menambah lapangan kerja menjadi 857 ribu pada 2018 dan diperkirakan bertambah menjadi 1,136 juta pada tahun ini.

Selain itu, kehadiran Tokopedia sebagai platform mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif serta memecahkan masalah asimetrik informasi melalui mekanisme platform, dimana sebanyak 90% pengguna Tokopedia mengatakan platform memberikan akses yang lebih luas terhadap beragam pilihan produk.

Sumber: SindoNews

Pertumbuhan tersebut didorong oleh naiknya jumlah penjual dari sekitar 5 juta pada 2018, menjadi 6,4 juta pada tahun ini. Dari jumlah itu, sekitar 86,5% merupakan pedagang baru dan 94 di antaranya masuk kategori ultra mikro, dengan omzet di bawah Rp100 juta per tahun.

Para pedagang ini tersebar di 96% kota/kabupaten, dengan pemasaran lebih dari 200 juta jenis barang ke seluruh Indonesia. Sementara itu, jumlah pengguna aktif Tokopedia mencapai 90 juta orang.

Berdampak Sistemik

Itu hanya Tokopedia. Padahal Indonesia memiliki lima unicorn. Selain Tokopedia, ada Gojek, Bukalapak, Traveloka, dan yang terbaru Ovo. Startup yang belum menyandang unicorn juga banyak.

lustrasi: Alfiardy/Ceknricek.com

Peran begitu besar unicorn dan usaha rintisan ini terhadap perekonomian sangat besar. Itu sebabnya, jika terjadi masalah di bisnis ini dampaknya akan sangat dahsyat. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira, mengingatkan unicorn berpotensi menghilangkan lapangan pekerjaan apabila likuiditas atau prospek bisnisnya menurun. Hal tersebut juga bakal berdampak sistemik pada perekonomian nasional.

Baca Juga: Unicorn: Antara Bakar Duit dan Masa Depan Abu-abu

Sumber: Gatra

Itu bisa terjadi karena banyaknya tenaga kerja yang bergantung pada startup e-commerce. Apabila likuiditas perusahaan menurun hingga bangkrut, maka para pekerja yang bergantung pada perusahaan-perusahaan di sektor digital itu bakal menjadi pengangguran. "Dampaknya cukup sistemik kepada tingkat pengangguran negara nantinya," ujar Bhima saat dihubungi Katadata, Senin (14/10).

Bhima melanjutkan, sudah ada tanda-tanda permasalahan pada keuangan perusahaan unicorn. Ia mencontohkan Bukalapak yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mayoritas pegawai Bukalapak yang diputus pekerjaannya merupakan bagian pelayanan pelanggan (customer service). Padahal jika perusahaan semakin besar dan konsumennya semakin banyak, jumlah customer service seharusnya ditambah bukan dikurangi.

"Jadi ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa tingkat kesehatan di unicorn menurun," ujarnya.

Apa yang dikatakan Bhima masuk akal. Apalagi banyak startup unicorn yang disuntik modal investor asing dari negara yang tengah mengalami perlambatan ekonomi, seperti Jepang, Amerika Serikat (AS), negara-negara di Eropa, hingga China. Krisis di negeri para investor itu akan berimbas kepada suntikan modal untuk bakar uang kepada startup di Indonesia.

Pada saat ini startup bisa bertahan dengan posisi merugi karena ada suntikan investor asing tersebut. Kondisi ini jelas berbahaya sehingga perlu diantisipasi oleh pemerintah.

Baca Juga: Saatnya Investor Beralih dari Unicorn ke Kuda Zebra

Startup yang kerap melakukan 'bakar uang' tidak mendapatkan untung. Startup tersebut justru 'bakar uang' dengan harapan mendapat investor untuk mendanai perusahaan mereka. Namun, jika terjadi resesi ekonomi dan modal ventura yang membiayai startup terkena dampaknya, maka sistem 'bakar uang' pun bakal berhenti.

Ini mengakibatkan bubble technology seperti di AS tahun 2000. Akhirnya banyak startup yang tidak bisa bertahan dan akhirnya collapse. “Jadi cara itu memang tidak sehat," tutur Bhima.

Di sisi lain, ada sektor yang tidak terkena dampak sistemik dari buruknya kinerja startup unicorn. Salah satunya adalah sektor keuangan. Pasalnya, masih sedikit perbankan yang memberikan pembiayaan kepada startup unicorn.

Begitu juga sektor pasar modal. Sebab, belum ada unicorn yang melantai di bursa saham atau melaksanakan IPO.

Dilansir dari Databoks, pendanaan dari investor yang masuk ke ekonomi digital kawasan Asia Tenggara (ASEAN) sepanjang semester I 2019 mencapai US$7,6 miliar atau setara Rp106 triliun. Dari jumlah dana tersebut, yang masuk ke unicorn mencapai US$5,1 miliar atau sekitar 67% dari total pendanaan.

Bhima menyarankan tiga hal kepada pemerintah untuk menghindari terjadinya dampak sistemik dari buruknya kinerja startup atau unicorn. Pertama, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) maupun Bank Indonesia (BI) disarankan untuk mengawasi investasi asing di sektor digital.

Sumber: SindoNews

"Apabila ada gejala penurunan yang cukup tajam, maka harus degera dikoordinasikan dengan pemerintah," ujarnya.

Selain itu, ia juga menyarankan agar pemerintah mengawasi investasi sektor digital lebih ketat dari sebelumnya. Kedua, mencegah terjadinya pengangguran yang meningkat secara signifikan.

Dari sisi pemerintah, menurutnya, perlu menyiapkan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya. "Kalau ada perusahaan ojek online yang tutup, lalu jutaan driver-nya menjadi pengangguran, maka pemerintah harus menyerap mereka ke sektor lain," ujarnya.

Ketiga, peran penting Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengawasi persaingan usaha yang tidak sehat antar perusahaan. "Bakar uang yang tidak sehat, perlu diteliti apakah melanggar persaingan usaha yang fair  atau tidak di antara para kompetitor," ujar Bhima. 

Apabila startup terus bersaing lewat sistem saat ini, maka berpotensi terjadinya oligopoli. Hal ini bakal berdampak pula pada sulitnya pemain baru untuk masuk ke sektor tersebut, apalagi industri sudah menjadi tidak lagi sehat. 

"Jadi perlu kajian KPPU untuk melakukan kajian dari berbagai sisi, apakah bakar-bakar uang ini kondisi industri yang sehat atau tidak. Bisa dicegah dari sana," ujarnya.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi serta Usaha Kecil Menengah (UKM) Kementerian Koordinator Perekonomian Rudy Salahuddin juga berpendapat perlunya mewaspadai sistem bakar uang yang selama ini kerap dilakukan oleh beberapa startup.

Sumber: Busines Today

Eks Menteri Keuangan Chatib Basri juga mengingatkan sudah saatnya perusahaan digital berupaya mencapai keuntungan untuk menjaga keberlanjutan perusahaan. Bisnis perusahaan digital yang kini masih bertumpu pada upaya menggenjot GMV dengan memberikan subsidi pasar atau 'bakar uang' membutuhkan pendanaan terus menerus. Padahal, perusahaan tak bisa terus menerus bergantung pada pendanaan dalam menjalankan bisnis.

"Kalau suatu hari terjadi resesi global, sumber pendanaan akan menurun. Kalau tiba-tiba tidak berhasil mendapat pendanaan, tidak bisa membakar uang, ini risikonya akan sistemik," ujarnya.

Rencana IPO Tokopedia adalah langkah baik. William Tanuwijaya menekankan, persaingan yang harus dilakukan yakni dengan inovasi. Bukan hanya dengan kabar uang. William menekankan bahwa pelaku startup jangan mudah terlena. Dia mencontohkan perusahaan teknologi besar yang dulunya menguasai pasar namun kini harus menghilang.

"Musuh terbesar ya kita sendiri. Jika kita ga berinovasi kita akan mati. Yahoo dulu perusahaan internet terbesar di dunia. Kemudian Blackberry. Dulu, Orang yang ga pakai BB akan dinilai ketinggalan zaman. Sekarang orang yang pakai Blackberry dinilai ketinggalan zaman. Kemudian Nokia dulu 40% pangsa pasar, kemana sekarang?," ujarnya.

BACA JUGA: Cek HUKUM, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait