Review 'Capone', Akhir Tragis Sang Gangster Bengis | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Vertical Entertainment

Review 'Capone', Akhir Tragis Sang Gangster Bengis

Ceknricek.com -- Halo Moviegoers! Sudah hampir tiga bulan saya tidak menulis review film seperti yang biasa saya lakukan sebelumnya. Ya, pandemi virus korona (coronavirus atau COVID-19) memang membuat alternatif film-film baru begitu terbatas.

Praktis, film Hollywood baru terakhir yang beredar di bioskop tanah air ialah Bloodshoot (2020) yang rilis pada awal Maret lalu. Adapun review terakhir yang saya tulis di Ceknricek.com ialah The Invisibile Man (2020) yang dipublikasikan pada 27 Februari lalu.

Baca Juga: Review 'The Invisible Man', Adaptasi Brilian Disempurnakan Totalitas Moss

Pandemi COVID-19 memang memukul hampir semua sendi kehidupan, termasuk dunia film. Jika biasanya film baru tayang setiap minggunya, kali ini satu persatu perilisan film baru diundur. Beberapa bahkan ada yang memutuskan untuk diluncurkan secara digital melalui video on demand (VOD).

Salah satu film yang sejatinya dirilis di teater namun terpaksa dirilis secara VOD ialah Capone (2020). Film yang didistribusikan oleh Vertical Entertainment ini mulai bisa diunduh (baik secara resmi ataupun ilegal tentunya) sejak Selasa (12/5).

Vertical Entertainment

Bagaikan segelas air di tengah padang gurun, kehadiran Capone cukup menyegarkan para pencinta film khususnya pencinta film barat. Namun, rasanya memang segelas air kurang cukup untuk menghilangkan dahaga sepenuhnya. Itulah gambaran yang saya rasakan setelah menonton film berdurasi 104 menit ini.

Meski totalitas sang aktor utama, Tom Hardy (Al Capone) tak perlu diragukan lagi, namun harus diakui film ini kurang berhasil untuk dianggap sebagai film biopik yang akan dikenang. Hal ini disebabkan karena minimnya latar belakang historis maupun latar belakang karakter yang coba diceritakan dari film ini.

Sesuai judulnya, maka Capone akan menceritakan kisah dari salah satu gangster Amerika yang paling ditakuti khususnya di era Depresi Amerika (1920-1930), Al Capone. Berbeda dengan film bertema Al Capone terdahulu, The Untouchables (1987) yang menceritakan masa kejayaan dari sang gangster, maka Capone justru terfokus dari tahun terakhir masa hidup sang gangster.

Jadi lupakan sejenak adegan tembak-tembakan ala gangster Amerika. Pasalnya kalaupun ada adegan kekerasan, maka dalam film ini hanya diceritakan sebagai halusinasi dari Al Capone, yang menjelang masa akhirnya mengalami demensia total akibat penyakit neurosifilis yang dideritanya.

Vertical Entertainment

Melalui film ini kita akan dibawa ke dalam gambaran tragis dari sang gangster bengis, khususnya di masa-masa akhir hidupnya. Dirinya sudah tidak ditakuti lagi. Keluarganya pun hanya mau bertahan dengannya dengan harapan Al Capone memberi tahu uang jutaan dolar yang disembunyikan entah dimana.

Film ini juga coba menunjukkan bahwa di balik kebengisannya, ternyata Al Capone memiliki penyesalan atas apa yang dirinya pernah lakukan. Hal ini tertuang dari bagaimana Capone selalu terngiang siaran teleplay radio yang menceritakan Kisah Saint Valentine's Day Massacre, aksi pembantaian paling kejam yang pernah dilakukannya.

Begitu pula dengan penyesalannya ketika harus melihat anak buah yang sudah dikenalnya (Johnny, diperankan oleh Matt Dillon) sejak kecil harus ditusuk berkali-kali karena dianggap berkhianat. Salah satu adegan berkesan bagi saya ialah ketika Capone berhalusinasi dengan senapan Thompson emasnya lalu menembaki para pengkhianat sambil mengenakan popok dewasa.

Vertical Entertainment

Adegan itu seolah-olah menggambarkan upaya sang raja kejahatan mengais sisa kejayaannya. Seolah sang gangster berusaha menjadi dirinya yang dulu, begitu ditakuti, meski fakta keadaan dirinya hanyalah orang dewasa berpikiran anak kecil.

Semua gambaran yang ingin disajikan sang sutradara, Josh Trank (juga sebagai penulis skenario) sebenarnya cukup berhasil disampaikan. Hal ini berkat kejeniusan dari Tom Hardy. Aktor Inggris itu berhasil menampilkan kebengisan di balik ketidakberdayaan sang gangster.

Peraih Nominasi Best Supporting Actor dalam Academy Awards 2016 ini juga berhasil menunjukkan sisi manusiawi (setidaknya yang tersisa) dari Al Capone. Semua itu disempurnakan dengan make up yang brilian, yang membuat Hardy memang tampak mirip dengan Capone yang asli di masa tuanya.

Vertical Entertainment

Di luar dari totalitas Hardy dan make up yang brilian, maka sebenarnya film ini terkesan biasa-biasa saja. Dari sisi skenario cerita juga kurang berhasil menjaga pace agar penonton tetap mengikuti alur cerita dari awal hingga akhir.

Begitu pula dengan aspek sinematografi dan tata suara yang kurang berhasil menambahkan efek "Wow" untuk para penonton. Pada akhirnya, Capone sebenarnya cukup menghibur dan menyegarkan, namun belum bisa menghapus dahaga dari rasa haus akan film-film Hollywood berkualitas.

Mungkin memang butuh segelas air lainnya untuk menghapus dahaga itu. Semoga pandemi COVID-19 ini bisa segera berakhir ya moviegoers!

BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini


Editor: Thomas Rizal


Berita Terkait