Ceknricek.com -- Jika ada yang bilang komisoner Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu adalah manusia setengah dewa, tentu saja berlebihan. Bahwa mereka dituntut menjadi dewa setengah manusia, boleh jadi memang begitu. Faktanya, komisioner KPU menjadi tumpuan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menjaring pemimpin. Kuasanya amat besar. Tak harus suci. Komisioner dituntut jujur dan pantang disogok. Apalagi sogokan uang receh.
Sayangnya, mendapati sosok seperti itu tidaklah mudah. OTT terhadap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, saat menerima suap telah menggiring kesan publik bahwa komisioner KPU selain doyan nasi juga gemar suap-suapan. Wahyu adalah wajah KPU. OTT terhadapnya membuat kredibilitas KPU remuk. Kepercayaan masyarakat terhadap hasil-hasil pemilu sebelumnya menjadi luntur. Semua bisa diatur. Mainkan…
Selama ini, publik hanya bergunjing soal komisioner dan penyelenggara pemilu yang kerap offside dan selalu dibantah karena tak ada bukti valid. Namun, penangkapan Wahyu seakan telah menjadi penegas bahwa penyelenggara pemilu gemar main mata dalam urusan politik praktis.
Foto: Ashar/Ceknricek.com
Kasus Wahyu telah membuka mata semua orang bahwa untuk menjadi anggota legislatif mesti “main duit”. Meraih suara terbanyak tak menjamin bisa duduk di Senayan. Seorang calon anggota legislatif wajib tajir melintir. Bahkan uang sogok untuk satu orang di KPU saja nyaris Rp1 miliar. Belum lagi sogok untuk pengurus partai politik. Duit besar ini dikeluarkan setelah caleg babak belur menabur duit ke calon pemilih selama pileg. Begitulah caleg yang diperankan Harun Masiku.
Kini, di saat akan digelar pilkada serentak, publik makin ragu bahwa KPU dari berbagai tingkatan bisa terbebas dari interest politik.
Empat Tersangka
Seperti kita tahu, kasus Wahyu terkait penetapan pengganti caleg terpilih dari PDI-P, Nazarudin Kiemas, yang meninggal pada Maret 2019. Jika mengacu UU Pemilu, pengganti Kiemas adalah caleg dengan perolehan suara terbanyak setelah Kiemas. Di daftar perolehan suara, caleg dengan suara terbanyak kedua adalah Riezky Aprilia.
Foto: Ashar/Ceknricek.com
Namun, pada Juli 2019, salah seorang pengurus DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memerintahkan kuasa hukum partai untuk menguji materi Peraturan KPU terkait penetapan calon terpilih ke Mahkamah Agung atau MA. MA mengabulkan sebagian gugatan yang memberi diskresi kepada partai politik untuk menetapkan caleg yang terbaik sebagai pengganti.
Atas dasar penetapan MA ini, PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan Harun Masiku sebagai pengganti. Hanya saja, pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky sebagai pengganti. Bukan Harun.
Baca Juga: OTT KPK, Membongkar Perseteruan Jokowi vs Mega Jilid 2?
Lantaran itu, PDI-P kembali mengajukan permohonan fatwa MA dan mengirimkan surat berisi penetapan caleg. Saeful dan Agustiani melakukan lobi agar Harun bisa jadi pengganti antar waktu atau PAW. Kemudian, dokumen dan fatwa MA yang diperoleh Saeful diberikan kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun.
Wahyu sebagai salah satu komisioner pun menjadi aktor yang dalam kasus ini diharapkan menjadi jalan tengah untuk membuka peluang dilantiknya caleg yang menjadi pilihan partai, bukan caleg yang sesuai aturan UU.
Sumber: Istimewa
Maka, seperti yang sudah terjadi. Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK terlebih dahulu mengendus praktik ini yang pada akhirnya berhasil menangkap tangan Wahyu beserta empat orang lainnya dalam kasus suap. KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka, yakni Wahyu dan Agustiani Tio Fridelina yang diduga sebagai penerima suap serta Harun Masiku dan Saeful yang diduga berperan sebagai pemberi suap.
Agustiani merupakan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) 2008-2012 yang disebut orang kepercayaan Wahyu. Harun adalah bekas calon anggota legislatif (caleg) DPR pada Pemilu 2019 dari PDI-P, sedangkan Saeful merupakan staf Sekretariat DPP PDI-P.
Deretan Korupsi KPU
Tidak ada manusia setengah dewa di KPU. Kasus Wahyu hanyalah salah satu saja dari kasus-kasus korupsi KPU sebelumnya. KPU perdana, yang diisi oleh sosok nonpartisan juga sudah bergelimang kasus suap dan korupsi. Dari tujuh komisioner KPU periode 2001-2005, empat diantaranya terjerat kasus hukum.
Nazaruddin Sjamsuddin, Sumber: Liputan6
Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin terjerat korupsi dana taktis KPU. Akademisi ini divonis 7 tahun penjara pada 14 Desember 2005. Nazaruddin terbukti bersalah dalam pengadaan asuransi bagi petugas Pemilu 2004 dan dalam pengelolaan dana rekanan KPU, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp14,1 miliar. Pada Maret 2008 Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia ini bebas bersyarat setelah menjalani 2/3 hukumannya.
Komisioner KPU, Mulyana W Kusuma, juga begitu. Ia tertangkap tangan setelah berupaya menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK sebesar Rp300 juta pada 8 April 2005. Hakim memvonis Mulyana 2 tahun 7 bulan, plus denda Rp50 juta, pada 12 September 2005.
Mulyana W Kusuma, Sumber: Liputan6
Mulyana terbukti bersalah telah menyuap auditor BPK, Khairiansyah Salman. Ia juga dinyatakan bersalah karena melakukan korupsi pengadaan kotak suara Pemilihan Umum 2004.
Baca Juga: Wahyu Setiawan Resmi Mundur dari KPU
Komisioner KPU lainnya adalah Daan Dimara. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor memvonis Daan 4 tahun penjara pada 2006 silam. Ia dinyatakan bersalah karena melakukan korupsi pengadaan segel surat suara pemilihan umum legislatif 2004.
Daan Dimara, Sumber: Liputan6
Lalu, Rusadi Kantaprawira. Komisioner KPU yang menjabat pada 2001 ini divonis 4 tahun penjara plus denda Rp200 juta. Rusadi dinyatakan bersalah karena melakukan korupsi pengadaan tinta dalam Pemilu 2004.
Selain komisioner, sejumlah pejabat KPU juga divonis bersalah terkait pelaksanaan Pemilu 2004 silam. Mereka yang divonis antara lain Wasekjen KPU, Susongko Suhardjo, Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin, Wakil Kepala Biro Keuangan Mohammad Dentijk. Susongko divonis pengadilan 2 tahun 6 bulan penjara, Hamdani 4 tahun, dan Dentijk 18 bulan penjara.
Itu terjadi di pusat. Komisioner KPU tingkat daerah yang terlibat suap dan korupsi dan divonis besalah, lalu masuk penjara, jauh lebih banyak lagi.
Tak ada lembaga yang imun terhadap korupsi. Termasuk KPU. Kini, tugas KPU adalah kembali memoles lembaga ini dari persepsi buruk publik. OTT terhadap Wahyu Setiawan hendaknya menjadi penyadar bagi penyelenggara pemilu untuk kembali ke jalan yang benar. Mereka mestinya menyadari bahwa dirinya adalah manusia pilihan. Tindakan korupsi adalah perilaku yang terkutuk.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar