Ceknricek.com -- Setelah kemerdekaan Indonesia berjalan selama 3 bulan dan diskusi mengenai masa depan politik Indonesia semakin menghangat, timbullah gagasan untuk mendirikan sebuah partai politik Islam.
Pada 7-8 November 1945, tepat hari ini 74 tahun silam, para pemimpin Islam kemudian mengadakan sebuah kongres besar yang melibatkan semua organisasi Islam di Indonesia, di gedung Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah, Yogyakarta.
Tanggal pembukan kongres (7 November) itu kemudian menandai hari lahir Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang sempat mewarnai percaturan politik dan jejak awal demokrasi Indonesia.
Majelis Syuro Muslimin Indonesia
Cikal bakal partai Masyumi sebenarnya berasal dari Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 1937 yang saat itu dibentuk untuk menyatukan umat Islam di Indonesia dalam menghadapi siasat politik pemerintahan Belanda.
MIAI pun terus berkegiatan hingga Jepang masuk ke Indonesia yang mengaku sebagai saudara tua dan pembebas orang Asia dari kolonialisme Belanda. Sudah tentu saja kedatangan mereka disambut dengan hangat. Namun topeng akhirnya terkuak, Dai Nippon ternyata memerintah dengan otoriter dan menutup organisasi itu.
Sumber: Republika
Perlawanan pun kembali dilakukan oleh orang Indonesia, apalagi beberapa bulan setelah kedatangannya mereka menangkap KH. Hasyim Asyari karena menolak membungkuk ke arah matahari terbit (sikerei) untuk menghormat kepada kaisar.
Tidak hanya itu, semua surat kabar setelah kedatangan Jepang juga dilarang terbit dan hanya beberapa saja yang diizinkan terbit atas seizin mereka. Sementara itu, semua organisasi masyarakat juga dilarang beraktivitas dengan dibubarkannya Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Pelajar Islam Indonesia (PII).
Baca Juga: Dewan Dakwah: Politik Masyumi Lewat Dakwah
Melihat gelombang protes yang semakin meluas karena kesalahan strategi politiknya terhadap organ Islam, Jepang segera mengubah kebijakan politiknya dengan kembali membebaskan KH. Asyari dan segera memasukkan Islam di Indonesia sebagai bagian dari politik perang dengan sebutan Lingkaran Kesejahteraan Bersama Asia.
Federasi MAI kemudian diizinkan kembali bernapas pada 1942, namun lambat laun Jepang kembali melihat organisai tersebut sebagai sebuah ancaman baru karena berhasil menyaingi Shumubu atau Biro Urusan Agama yang menjadi organ resmi Jepang untuk pengendalian Islam di daerah.
Pada waktu inilah Jepang lalu berpaling pada kelompok nasionalis di Indonesia yang kemudian malah dimanfaatkan oleh mereka untuk menggunakan fasilitas yang disediakan pemerintahan Jepang dalam mempropagandakan kemerdekaan. Mau tidak mau Jepang kembali lagi mendekati kelompok Islam.
Sumber: Istimewa
Pada November 1943, pemerintahan balatentara Jepang kemudian mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang juga berfungsi seperti MIAI sebagai konfederasi organisasi-organisasi Islam. Fungsi utama organisasi ini, selain menjadi wadah aspirasi umat Islam, tentu saja melayani kepentingan Jepang.
Dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral (2013) sejarawan Perancis Remy Madinier menegaskan: “Masjumi menjadi wahana baru bagi Jepang untuk mereorganisasi masyarakat Islam Indonesia agar mendukung kepentingan mereka” (hlm. 48). Masyumi sendiri pada waktu itu mencakup dua jenis keanggotaan, pertama organisasi agama yang legal di mata Jepang, kedua para kiai dan ulama yang diberi rekomendasi dari Shumubu.
Baca Juga: Akhir Kisah Partai Pelanjut Masyumi
Dari sinilah NU dan Muhammadiyah kemudian mendapat jatah paling besar dalam Masyumi oleh Jepang karena organisasi itu yang mendapat izin resmi dari pemerintah. Angin segar ini kemudian sedikit memberi kebebasan pada para ulama untuk mengadakan kegiatan-kegiatan terhadap masyarakat.
Remy Madinier, peneliti tentang Masyumi, mengutip Republika, (7/11/19) menyebutkan bahwa selama kurun waktu setahun lebih (1944-1945), Masyumi mampu melakukan hal yang tak pernah bisa diwujudkan perkumpulan Islam mana pun.
Meski demikian keberhasilan yang terjadi di luar dalam menyikapi isu sosial dan keagamaan tidak menutup kemungkinan konflik di internal Masyumi, seperti dalam situasi represi pemerintahan Belanda, umat Islam di zaman pendudukan Jepang susah bersatu dan terganjal kepentingan di internal organisasi. Dari sinilah muncul ikhtiar untuk membentuk sebuah partai politik.
Merajut Persatuan dalam Partai Politik
Pada tanggal 23 Agustus 1945, atau kurang dari seminggu setelah kemerdekaan diproklamasikan, Presiden Soekarno mengusulkan adanya pembentukan organisasi resmi sebagai pembantu presiden tetapi memiliki fungsi sebagai partai dan parlemen, yang kelak akan dikenal sebagai Komite Nasional.
Bersamaan dengan itu, Soekarno juga ingin membentuk partai tunggal yaitu Partai Nasional Indonesia sebagai motor perjuangan rakyat di lapangan dalam segala situasi. Para tokoh lain yang menginginkan kehidupan berdemokrasi pun menentang keras ide tersebut.
Sumber: Wikipedia
Baca Juga: Jejak Masyumi dalam Bulan Bintang
Muhammad Sjahrir kemudian berusaha mengumpulkan dukungan dari anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) agar mengeluarkan tuntutan supaya Komite Nasional dirombak hingga memiliki kekuatan legislatif. Sekitar 50 orang dari 150 anggota KNIP kemudian menyambut positif usulan Syahri, maka Soekarno lalu menyetujui usulan dari Syahrir tersebut.
Kemudian terbitlah Maklumat Negara Republik Indonesia no. X ditandatangani oleh Wapres Mohammad Hatta pada 16 Oktober 1945. Sistem parlementer mulai dilaksanakan dan membuka kesempatan partai-partai politik untuk turut serta di legislatif. Suara terbanyak akan mendominasi kabinet. Pada 3 November 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang isinya merupakan anjuran untuk mendirikan partai politik.
Berbagai kalangan pun menyambutnya dengan antusias termasuk umat Islam yang segera mengadakan Kongres Umat Islam Indonesia pada 7-8 November 1945 di Yogyakarta. Sekitar lima ratus tokoh-tokoh dan utusan hadir dalam pertemuan ini dan memilih nama Partai Masyumi. Namun, pemilihan ini bukan merujuk pada Majelis Syuro Muslimin Indonesia di masa Jepang, ketimbang nama lain yang diusulkan, yakni Partai Rakyat Islam.
Sumber: Tempo
Sebagaimana disebutkan dalam Anggaran Dasar, Masyumi memiliki tujuan: terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan orang-seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Illahi. Beberapa organisasi yang di masa Jepang berafiliasi dengan Masyumi menjadi anggotanya. Organisasi Islam lainnya kemudian ikut bergabung. Selain organisasi, Masyumi juga menerima anggota perorangan.
Dualisme keanggotaan ini didasarkan pertimbangan untuk memperbanyak anggota dan “agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat, tanpa ada yang merasa tidak diwakili,” tulis Deliar Noer dalam Partai Islam di Pentas Nasional. Dengan sistem keanggotaan semacam itu, banyak yang memprediksikan bahwa Masyumi akan memenangi pemilihan umum. Namun, sistem ini juga punya kelemahan.
Menurut George McT Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, sistem tersebut akan menjadikan Masyumi “partai politik terbesar di Indonesia tapi kurang terorganisasi” atau dalam istilah Sjafruddin Prawiranegara, ketua terkemukanya “seekor gajah yang mengidap beri-beri”.
Meski demikian pada Pemilu 1955 Masyumi sempat mendapat perolehan suara terbanyak setelah PNI pada pemilu pertama di Indonesia, sehingga mendapatkan 57 kursi legislatif dan 112 kursi anggota konstituante, semua itu berasal dari 10 daerah pemilihan dari total 14 daerah pemilihan yang ada.
BACA JUGA: Cek BUKU & LITERATUR, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar