Ceknricek.com -- Tahun 1905, para kecu dan gali yang berada di sekitaran Pasar Laweyan, Solo seringkali membuat resah para pengrajin batik serta pedagang yang berada di pasar tersebut. Pasalnya, kecu-kecu itu seenaknya saja menjarah kain batik yang sedang diijemur di halaman rumah para pengrajin.
Menyikapi hal ini, Samanhoedi bersama teman-temannya mendirikan sebuah organisasi ronda untuk tolong menolong melawan para kecu yang membuat Pasar Laweyan tidak aman. Perkumpulan itu ia beri nama Rekso Roemekso. Kelak, di tangan Tirto Adhi Soerjo, ormas ini menjadi organisasi modern pertama di Indonesia.
Sarekat Dagang Islam
Pada era Hindia Belanda, sebuah organisasi massa wajib memiliki badan hukum, jika tidak, mereka terancam dibubarkan oleh aparat kemanan. Kondisi ini membuat Samanhoedi selaku penggagas Rekso Roemekso menjadi cemas karena organisasinya akan dicap ilegal oleh pemerintahan.
Namun, tidak berselang lama datanglah sebuah pertolongan dengan datangnya Djojomargoso, seorang pegawai kepatihan, ke rumahnya di Jalan Radjiman, Solo. Ia memberi tahu bahwa dirinya memiliki kenalan yang dapat membantu Samanhoedi mengusahakan Rekso Roemekso memperoleh legalitas.
Sumber: Wiki
Baca Juga: Hari Ini Dalam Sejarah: Muhammadiyah Resmi Berdiri
Sosok yang dimaksud Djojomargoso adalah Marthodarsono, yang pernah menjadi redaktur di Medan Prijaji, Koran milik Tirto Adhi Soerjo. Singkat cerita, menurut Takhasi Shiraisi (1976:56) dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1916, Tirto kemudian bersedia membantu menyusun anggaran dasar Rekso Roemekso.
Tirto yang pada waktu itu ada di Batavia dan aktif dengan organisasinya Sarekat Dagang Islamiyah (SDI) tiba di Solo, Januari 1912. Rekso Roemekso kemudian ditata kembali oleh sang pemula pers pribumi ini, dan diberi nama yang baru: Sarekat Dagang Islam.
Organisasi awal Rekso Roemekso yang menurut Wikipedia berdiri tepat hari ini 114 tahun yang lalu itu, kemudian beralih rupa menjadi SDI cabang Surakarta dengan anggaran dasar rumah tangga yang diteken langsung oleh Tirto Adi Soerjo pada tanggal 11 November 1911.
Sumber: Navirimagazine
Dikutip dari Shiraisi (2007:57), dalam AD/ART itu disebutkan tujian SDI Solo yaitu:
“…. membuat anggota perkumpulan sebagai saudara satu sama lain, memperkuat solidaritas dan tolong menolong di antara umat Islam, dan mencoba mengangkat rakyat untuk mencapai kemakmuran, kesejahteraan, dan kejayaan raja melalui segala cara yang tidak bertentangan dengan hukum negara dan pemerintahan.”
Lambat laun organiasai resmi ini kemudian menjadi bentuk perlawanan dalam melawan dominasi para pedagang keturunan Tionghoa di Solo, yang memiliki perkumpulan serupa, Kong Sin. Permusuhan dengan organisasi ini juga sempat pecah di jalanan kota Solo pada akhir 1911 hingga awal 1912 di Solo.
Perpecahan SI
Setelah Rekso Roemekso berubah nama menjadi Sarekat Dagang Islam, Samanhoedi pun mulai meluaskan perhimpunannya tersebut. Selain menjadi benteng utama dari pedagang Tionghoa, SDI juga bertugas menghadang misi Kristenisasi.
Dari sinilah Samanhoedi mengambil prakarsa untuk membentuk organisasi yang membawa manfaat dan memberi perlindungan (Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, 1984:124). Namun, seiring membesarnya jumlah anggota SDI membuat Samanheoedi ingin lepas dari bayang-bayang Tirto Adhie Soerjo.
Sumber: Istimewa
Pecah kongsi antara mereka berdua terjadi tatkala Samanheoedi mengklaim bahwa SDI adalah gagasan dan proyeknya sendiri tanpa dibantu oleh Tirto. Untuk menyikapi hal ini, karena dirinya kurang baik dalam mengelola organisasi, Samanhoedi meminta bantuan Tjokroaminoto dan merumuskan ulang AD/ART yang dibuat oleh Tirto.
Sumber: Wikipedia
Baca Juga: Imam Al-Ghazali Sang Hujjatul Islam
Kepada Samanhoedi, Tjokrioaminoto kemudian menyarankan untuk mengubah nama Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam saja pada 1912. Menurutnya, hal ini bertujuan untuk menjaring massa yang lebih luas dan tidak hanya bergerak di bidang ekonomi karena hanya difokuskan pada para pedagang dan dapat bergerak di bidang lainnya, yakni politik.
Berkat kecakapan Tjokroaminoto organisasi itu kemudian berkembang pesat. Cabang-cabang mereka bermunculan dengan lahirnya cabang pertama dari Kudus pada 1912 dan disusul Madiun, Ngawi, Ponorogo, Semarang, dan tempat-tempat di Pulau Jawa lainnya. Kesuksesan ini diraih berkat jaringan yang diimiliki oeleh Tjokroaminoto di berapa wilayah Hindia Belanda.
Sumber: Berdikarionline
Tjokroaminoto sendiri kemudian terpilih sebagai ketua SI dalam kongres keduanya di Yogyakarta, 19-20 April 1914. Dari sinilah ia kemudian mengambil alih kendali organisasi tersebut, (Van Niel, 1984:150). Namun, percik-percik konflik internal mulai muncul kembali dan mencapai puncaknya dengan pecahnya SI menjadi dua kubu, yakni SI Merah dan SI Putih tatkala Tjkroaminoto menjabat sebagai ketua.
SI Merah yang dimotori oleh Semaoen dan kawan-kawan. Dari SI cabang Semarang inilah yang pada akhirnya nanti menjelma menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara itu, SI Putih pimpinan Tjokroaminoto berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) pada 1921 dan kembali mengubah namanya menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1929. (Ed: FRI)
BACA JUGA: Cek POLITIK, BeritaTerkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.