Ceknricek.com -- Banda Neira 1 Februari 1936. Kapal Fommel Haut melepaskan jangkarnya di pelabuhan kecil itu setelah menempuh perjalanan dari Boven Digoel, Papua. Dari kapal itu turunlah dua lelaki mengenakan jas yang sedikit pudar warnanya. Mereka adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir.
Sementara itu, seorang anak kecil berusia 8 tahun yang tengah mandi di dermaga bersama teman-temannya keheranan bertanya-tanya, “wajah mereka pucat, pastilah buangan dari Digoel,” pikirnya.
Setelah didekati sosok lelaki cukup kecil, Sutan Sjahrir menanyakan di mana rumah Cipto Mangunkusumo. Bocah itu kemudian mengantarkan kedua sosok tersebut ke rumah yang dimaksud. Bocah tadi adalah Des Alwi Aboebakar, yang kelak dikenal sebagai sejarawan dan tokoh diplomasi ulung dari Indonesia.
Des Alwi Membawa Buku Hatta
Pertemuan sekilas dengan tokoh nasional itu kelak membuat Des kecil yang saat itu duduk di kelas dua ELS (Europsche Lagere School) jadi sering bermain ke rumah pengasingan Bung Hatta dan Sjahrir.
Sumber: Istimewa
Baca Juga: Mengenang Gerrit Agustinus Siwabessy: Bapak Atom Indonesia
"Ketika masa masuk sekolah tiba, saya lihat kedua tuan itu sudah tinggal di rumah yang keren di dekat sekolah saya. Maka saya mampir untuk bicara-bicara. Kemudian saya perkenalkan mereka dengan tokoh-tokoh setempat dan keluarga saya di Banda."
Memang, dua tokoh itu sedang dalam masa pengasingan di Banda Neira oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka menyusul dua tokoh lain, yakni Ciptomangunkusumo dan Iwa Kusuma Sumantri.
Des Alwi sendiri, bocah kelahiran 17 November 1927, putra pasangan Halijah dan Aboebakar ini kelak diangkat sebagai anak angkat oleh dua tokoh tersebut, selama masa pembuangan mereka di Banda Neira.
Sumber: Istimewa
Enam tahun berlalu di Banda Neira, pada 1942, setelah menjalani pengasingan dan meluangkan waktu untuk mengajar anak-anak di pulau tersebut, Hatta dan Sjahrir kembali diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.
Pada waktu itu, Ambon telah jatuh ke tangan Jepang. Kapal terbang Amerika Catalina terbang ke Banda untuk menjemput dua tawanan tersebut. Pagi buta 31 Januari 1942, Hatta dan Sjahrir terbang ke Surabaya dengan membawa tiga orang anak keturunan Baadila, yakni Mimi, Lili, dan Ali.
"Ada dua peti besar buku-buku Pak Hatta yang tidak bisa terangkut. Ibu saya juga keberatan saya ikut terbang. Maka kemudian diputuskan, saya akan ikut kapal, sekalian menjaga buku Pak Hatta, namun kapal tak kunjung datang,” ungkap Des dikutip dari Intisari.
Sumber: Istimewa
Singkat cerita, Des yang baru berusia 14 tahun itu tiba juga di Ambon. Di sana ia mendengar ada kapal Jepang yang akan ke Surabaya. Dengan berbekal kenekatan, ia memberanikan diri menghadap komandan marinir Jepang yang menguasai seluruh Ambon.
Sang komandan yang sedang minum teh, membaca nama "Hatta" di surat jalan yang ditunjukkan Des. Dikiranya itu nama Jepang. Izin pun keluar.
Masuk Sekolah Radio atas Permintaan Hatta
Selama di Jawa, Des sempat disekolahkan di sekolah teknik IVEVO (Instituut voor Electrotechnische Vak Opleiding) di Salemba. Setelah lulus pada tahun 1945, ia lalu disekolahkan oleh Bung Hatta di sekolah Radio di Surabaya.
Sumber: Istimewa
Baca Juga: Mengenang Agus Salim: The Grand Old Man Indonesia
Waktu itu Des tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Hatta ketika memasukkannya di sekolah teknik radio dan dibayari ongkosnya oleh Bung Hatta. Baru kemudian dia menyadari bahwa “radio ternyata begitu penting untuk bisa mengetahui semua perkembangan di dunia luar.”
Pada zaman pendudukan Jepang, Des pun kerap berurusan dengan radio. Tatkala Sjahrir harus pindah rumah ke Jalan Maluku 19, Des lah yang mengurus kepindahan radio ilegal milik Sjahrir secara diam-diam dengan cara naik delman pada siang hari bolong.
“Pada usia 16 tahun, aku sudah bisa membuat radio gelap untuk memantau siaran radio asing,” sepengakuannya dalam Pertempuran 10 November 1945 (2012:28).
Dalam buku tersebut, Des juga mengaku pernah ikut Djohan Sjahroezah, keponakan Sjahrir, yang pernah tinggal di sekitar Paneleh, Surabaya dan sempat ditawari masuk Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang) meskipun dia tidak mau menerimanya.
Des Alwi jugalah salah satu orang yang mula-mula mendengar kabar menyerahnya Jepang pada Sekutu di ruang depan Studio Jakarta pada 15 Agustus 1945 siang. Pada saat itu, Kaisar Jepang tengah berpidato dan menyinggung penyerahan tanpa syarat terhadap Sekutu.
Diplomat Ulung hingga Kematian
Setelah kemerdekaan Des Alwi sempat dikirim belajar di Regent Street Polytechnic dan British of Technology London sambil praktik kerja di BBC pada tahun 1947. Dua tahun berselang, ia sempat menjadi salah satu staf delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB) yang membantu Kolonel Simatupang dan Mayor M.T. Haryono.
Sumber: Istimewa
Baca Juga: Mengenang Arthur Rimbaud, Si Anak Angin dari Prancis
Pada masa konfrontasi antara Indonesia-Malaysia tahun 1965-1975, ia bertugas sebagai Dinas Diplomatik yang terlibat dalam Operasi Khusus Tim Penyelesaian Konfrontasi itu. Dari sinilah peran Des berhasil menjadi perantara "sulit" dalam ketegangan antara Indonesia-Malaysia.
Selain menjadi diplomat Des juga merupakan sejarawan yang menulis buku-buku sejarah seperti Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon dan Ternate dan Tidore: Masa Lalu Penuh Gejolak.
Sumber: Istimewa
Des Alwi tutup usia pada 12 November 2010, tepat hari ini 9 tahun lalu, di Jakarta. Goenawan Moehammad dalam majalah Tempo edisi 15 November 2010 menuliskan dalam Catatan Pinggir tentang sosoknya:
"Des Alwi adalah seonggok sejarah Indonesia dalam miniatur yang padat. Juga berwarna-warni. Jika kita lihat lelaki ini duduk di bawah pohon ketapang berumur 100 tahun yang menaungi halaman hotelnya di Banda Neira, jika kita ingat sosok yang tambun tinggi itu sudah ada di tempat itu pada 1936 dan, sebagai anak kecil, melihat Hatta dan Syahrir jadi orang buangan yang turun dari kapal dengan paras pucat, kita bisa iri kepadanya: begitu banyak yang telah dilihatnya, begitu beragam pengalamannya, begitu pas ia di Pulau Maluku itu. Begitu “Indonesia”. (Dari berbagai Sumber)
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar