Oleh Dr. Bahrul Ilmi Yakup
12/04/2019, 21:38 WIB
Ceknricek.com -- Mahkamah Konstitusi atau sering juga disebut “Mahkamah atau MK” dalam sistem dan struktur ketatanegaraan di berbagai negara menempati posisi strategis sebagai pengemban kekuasaan yudisial. Senalar dengan itu, di Indonesia MK mengemban peran dan fungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman atau judicial power.
Berbagai negara membuat pengaturan berbeda terhadap MK. Ada negara yang mengatur MK sebagai lembaga pengadilan khusus, seperti Indonesia, Austria dan Jerman. Ada pula negara yang mengatur MK sebagai bagian dari lembaga pengadilan (court) pada umumnya, sebutlah Amerika Serikat yang mengatur kekuasaan menguji undang-undang (judicial review) dipegang oleh Mahkamah Agung (Supreme Court).
Pembedaan pengaturan terhadap MK muncul, baik karena by design dalam sebagai wujud constitutional policy atau open legal policy seperti Indonesia. Atau oleh karena implikasi praktik peradilan seperti Amerika Serikat.
Adanya pembedaan pengaturan tersebut secara filosofis dan teoritis sebetulnya bersumber dan bermula dari adanya perbedaan fungsi pengadilan antara court of justice dengan court of law. Court of justice yang dalam terminologi lain disebut sebagai judex factie dan court of law yang disebut juga dengan terminologi judex juris, memang mengemban fungsi yang berbeda.
Foto: Ashar/Ceknricek.com
Court of justice diberi wewenang memeriksa dan mengadili suatu peristiwa hukum sebagai obyek penerapan hukum, sehingga pengadilan berperan sebagai penegak hukum. Dalam melaksanakan perannya sebagai court of justice, pengadilan membuat putusan yang menentukan kedudukan suatu peristiwa hukum sehingga pengadilan harus memproduksi amar putusan yang memastikan benar atau salah suatu peristiwa hukum berikut pelakunya.
Sedangkan court of law berfungsi menjaga konsistensi norma aturan hukum yang bersifat berjenjang atau hierarkis, sebagai materialisasi asas hukum lex superiori derogate lege inferiori. Dalam konteks inilah maka sebagian sarjana melabel MK sebagai the guardian of the constitution (penjaga Konstitusi).
Oleh karena itu, di beberapa negara yang konsisten merujuk azas filosofis dan teoritis pemilahan pengadilan, memosisi MK hanya sebagai pengemban wewenang judicial review semua jenis perundang-undangan sebagai manifestasi fungsi MK sebagai the guardian of the constitution.
Baca Juga: Teater Politik di MK
Pengaturan MK di Indonesia mengalami anomali filosofis dan teoritik. Di Indonesia, MK justru mengemban 2 fungsi sekaligus, baik sebagai court of justice maupun sebagai court of law. Anomali tersebut berlanjut kepada ranah pengujian perundang-undangan yang membagi dan membatasi wewenang MK hanya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan Mahkamah Agung memegang wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Anomali pengaturan demikian menunjukkan inkonsistensi pengaturan yang merugikan kepentingan publik. Ambiguitas dan pencampuran wewenang MK sebagai judex factie sekaligus sebagai judex juris telah menyebabkan banyak pihak keliru bahkan mengalami kesulitan dalam membaca serta memahami putusan MK. Banyak justiabelen menggunakan nalar sesat dalam membaca dan memahami putusan sebagai judex juris dalam perkara pengujian undang-undang dengan menggunakan pakem nalar putusan judex factie. Padahal, nalar putusan judex factie sangat berbeda dengan nalar putusan judex juris.
Sumber: BBC
Pembedaan peran dan fungsi serta wewenang antara court of justice dengan court of law membawa implikasi pada pola putusan yang dibuatnya. Pada court of justice, pertimbangan hukum putusan (ratio decidendi) hanya berfungsi sebagai sandaran faktual dan hukum dari amar putusan yang menyebabkan pertimbangan hukum dan amar putusan sebagai satu kesatuan terintegrasi.
Oleh karena itu, pada putusan court of justice, bagian putusan yang paling penting dan determinan adalah amar putusannya, yang umumnya berbunyi mengabulkan, menolak, atau tidak menerima.
Baca Juga: Berharap Keadilan Hakim MK
Amar putusan court of justice harus bersifat konkrit dan limitatif. Oleh karena itu, putusan court of justice memerlukan proses lanjutan, yaitu eksekusi atau pelaksanaan, baik oleh jaksa untuk perkara pidana, oleh ketua pengadilan negeri untuk perkara perdata, atau oleh pejabat terhukum untuk perkara tata usaha negara yang bersifat administratif.
Sedangkan pada putusan court of law, pertimbangan hukum (ratio decidendi) dan amar putusan merupakan bagian yang bersifat kompartemental yang memungkinkan pertimbangan hukum putusan MK dalam pengujian undang-undang dapat membuat dan memberi norma terpisah dengan norma amar putusan. Oleh karena itu, dalam praktiknya cukup sering muncul amar putusan MK berbunyi menolak permohonan, namun dalam pertimbangannya MK mengubah atau mengafirmasi norma tertentu yang terkait dengan permohonan.
Sumber: Tribunnews
Pertimbangan hukum MK yang berisi pengubahan atau afirmasi terhadap norma hukum tertentu bersifat mengikat, baik secara konstitusional maupun hukum (constitutional-legal binding). Oleh karena itu, pertimbangan MK merupakan wujud interpretasi atau pemaknaan MK terhadap suatu norma terkait.
Sifat kompartemental antara pertimbangan hukum dengan amar putusan MK membuat pertimbangan hukum atau putusan MK sama-sama mengikat, baik dalam ihwal antara pertimbangan hukum dengan amar bersifat bersinergitas atau konvergensitas, maupun dalam hal muncul trade off atau kontradiktif antara pertimbangan dengan amar putusan. Artinya MK dapat mengubah norma dalam pertimbangan, meskipun perubahan norma itu tidak dituangkan dalam rumusan amar putusan, oleh karena permohonan pemohon ditolak.
Dalam hal demikian, norma pertimbangan hukum putusan MK merupakan norma yang mengikat sejak putusan diucapkan vide Pasal 47 Undang-Undang No.23 Tahun 2004 yang diubah dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2011.
*Dr. Bahrul Ilmi Yakup, SH.MH.CGL, Dosen Pascasarjana
Pengampu Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dan
Ilmu Perundang-Undangan
BACA JUGA: Cek HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini