Ceknricek.com -- Wacana amendemen UUD 1945 kian menguat. Belakangan ini pemimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR mendatangi tokoh masyarakat organisasi massa, dan pimpinan partai politik. Pada 16 Desember lalu, mereka bertandang ke kantor PP Muhammadiyah untuk bertemu Haedar Nashir di Gedung Pusat Dakwah, Jakarta Pusat. Selain Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, para pimpinan yang menyertai adalah Wakil Ketua MPR Asrul Sani, Hidayat Nur Wahid, dan Zulkifli Hasan.
Para pemimpin MPR ini ingin mendapat masukan terkait rencana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pertemuan itu sendiri mereka sebut sebagai “silaturahmi kebangsaan”.
Sumber: Kompas
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyambut baik ide amendemen. Ia berpendapat amendemen UUD 1945 diperlukan, tetapi terbatas untuk menghidupkan Garis Besar Haluan Negara atau GBHN. “Visi-misi presiden terpilih itu tidak boleh lepas dari GBHN,” ujarnya. Hanya saja, Haedar mengatakan bahwa untuk sampai pada GBHN yang representatif, perlu ada kajian yang mendalam dan tidak tergesa-gesa.
Sumber: Liputan6
Bagi Haedar, ada konsekuensi penguatan MPR guna menghidupkan GBHN, yaitu sebagai lembaga yang menetapkannya. Namun, fungsi MPR tidak boleh melenceng dan melebihi batas. Terlebih sampai harus memiliki wewenang memilih presiden seperti masa Orde Baru. Bukan hanya itu, Muhammadiyah tidak setuju presiden dan wakil presiden bisa menjabat sampai tiga periode.
Pindah Ibu Kota
Kekhawatiran Haedar cukup beralasan. Soalnya, sejumlah partai juga sudah mewacanakan amendemen lebih luas lagi, tak sekadar soal GBHN. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, menghendaki komisi anti korupsi dimasukkan dalam UUD. PKS ingin perdebatan lembaga penyidik atau pencegahan korupsi ini sebagai ad hoc harusnya sudah selesai dengan cara masuk dalam konstitusi.
Baca Juga: GBHN untuk Tanggapi Perubahan dan Ancaman
Partai Nasional Demokrat (NasDem) lebih ekstrim lagi. Partai ini menginginkan amendemen UUD mengubah batasan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Sekretaris DPR Fraksi NasDem Saan Mustopa mengatakan fraksinya mengusulkan amendemen menyeluruh terhadap UUD 1945.
Sementara itu, Partai Golkar ingin memasukkan perihal pemindahan ibu kota. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan amendemen UUD 1945 perlu mewadahi keinginan tersebut. Sebab, menurut Bambang, apabila ibu kota baru negara hanya didasarkan pada payung hukum berupa undang-undang (UU), tentu akan sangat rentan untuk digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU ibu kota juga berpotensi dibatalkan melalui peraturan presiden pengganti undang-undang (perppu). Tentu skenario ini hanya akan terjadi apabila presiden setelah Joko Widodo nanti berpandangan bahwa pemindahan ibu kota tak diperlukan.
Sumber: Tribun
Pendapat Bambang itu mendapat dukungan Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah. Ia menyebutkan setidaknya terdapat sembilan UU yang harus direvisi untuk memindahkan ibu kota. Namun, apabila masyarakat mengajukan judicial review atau uji materi ke MK dan dikabulkan, pemindahan ibu kota pasti dibatalkan. Oleh karena itu, menurut politikus PDI Perjuangan itu, selain menghidupkan kembali GBHN sebagai arah pembangunan bangsa, diperlukan pasal pada konstitusi demi menjaga program pemerintah yang sudah ada.
Wakil Ketua MPR, Jazilul Fawaid, menjelaskan sejauh ini MPR baru masuk pada tahap menyerap aspirasi dari semua kalangan, baik stakeholders maupun publik tentang perlu atau tidaknya amendemen. “Jadi, yang kami tanyakan adalah perlu tidak amendemen terbatas GBHN? Ternyata, muncul berbagai pandangan,” katanya. “Ada yang melihat perlu amendemen GBHN, tapi juga perlu amendemen terkait dengan pemilihan,” lanjutnya.
Sumber: tribun
Tak Ada Garansi
Apa yang dilakukan MPR kali ini sejatinya melanjutkan proses kerja MPR masa 2014–2019. Wacana amendemen muncul di penghujung masa jabatan lembaga tinggi negara itu. Kala itu, mengapung wacana amendemen terbatas terkait GBHN. Wacana itu didasarkan pada hasil badan kajian atau lembaga kajian yang merupakan alat kelengkapan MPR RI. Sampai masa periode (2014–2019) ini habis, amendemen tidak berjalan. Hasilnya hanya sebatas rekomendasi. Mayoritas fraksi mendorong GBHN diatur dalam UUD sehingga perlu amendemen.
Kini, sepuluh pimpinan MPR memandang bahwa rekomendasi dari jajaran pemimpin MPR yang lama terkait amendemen ini perlu mendapatkan masukan dari sejumlah pihak. Itulah sebabnya dilakukan silaturahmi kebangsaan.
Baca Juga: Bamsoet: Amandemen UUD 45 Bisa Dilakukan jika Ada Konsensus Nasional
Pendapat Haedar yang menghendaki amendemen sebatas GBHN tak jauh berbeda dengan pendapat Ketua MPR RI Periode 1999–2004 Amien Rais. Menurutnya, GBHN perlu karena GBHN adalah out line atau tema-tema penting yang harus diikuti oleh seluruh anak bangsa dan pemerintahnya.
“Alasan kita tidak boleh ikut GBHN karena ekonomi jalan cepat, itu saya kira alasan abal-abal karena tidak mungkin membangun ekonomi tanpa ada rujukan. Kalau tidak ada rujukan seperti sekarang ini, yang kecil makin sengsara dan yang besar makin tak terbendung besarnya. Jadinya, Indonesia seperti sebuah corporate state, tempat korporasi memegang kekuasaan ekonomi, memegang tengkuk kekuasaan politik, bahkan menentukan kehidupan hukum, dalam arti menghancurkan hukum,” tulis Amien Rais dalam pengantar buku Padamu Negeri yang ditulis sejumlah anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) periode 2014–2019.
Hanya saja, Ketua Fraksi PAN Hanafi Rais justru mengingatkan dahulu MPR mempunyai kewenangan merumuskan GBHN karena kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara yang mempunyai kewenangan mengangkat dan meminta pertanggungjawaban presiden. Dengan kedudukan MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara, GBHN tidak akan efektif.
Sumber: RMOL
Apa yang dikatakan Hanafi juga masuk di akal. Pasalnya, pada saat ini MPR tidak akan bisa meminta pertanggungjawaban pelaksanaan GBHN kepada presiden. Menghidupkan kembali GBHN dalam sistem presidensial justru akan mengacaukan sistem itu sendiri. Kalau mengacu pada mekanisme yang ada pada masa Orde Baru, MPR menyusun GBHN dan presiden yang dipilih oleh MPR melaksanakan GBHN serta mempertanggungjawabkannya kepada MPR.
Di dalam sistem presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, apakah presiden harus melaksanakan dan mempertanggungjawabkan GBHN yang disusun oleh MPR (DPR bersama Dewan Perwakilan Daerah atau DPD)? Berbeda dengan rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah yang disusun presiden bersama DPR. Untuk menghidupkan kembali GBHN, mekanismenya adalah melalui amendemen UUD.
Sumber: Kompas
Lebih jauh lagi, tidak ada yang bisa menggaransi amendemen akan dilakukan hanya terbatas pada perkara menghidupkan kembali GBHN. Sebab, menghidupkan GBHN itu otomatis akan mengubah sistem pemerintahan, hubungan antarlembaga negara, tugas negara, dan fungsi lembaga negara.
Menghidupkan kembali GBHN tidak akan mungkin tanpa diikuti dengan perubahan kewenangan, bahkan kedudukan MPR. Dalam dinamika dan konfigurasi politik saat ini, ide menghidupkan kembali GBHN adalah kunci untuk membuka kotak pandora yang arah dan tujuannya sangat kuat, yaitu menggugat kembali hasil-hasil amendemen UUD 1945 dan ujung-ujungnya kembali kepada UUD 1945 “asli”.
Sumber: IndinesiaInside
Menghidupkan kembali GBHN bisa mengubah kedaulatan yang ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD menjadi kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR.
Pastinya, UUD mensyaratkan amendemen hanya bisa dilakukan jika ada usulan tertulis dari satu per tiga anggota MPR. Artinya, di dalam usulan tersebut, disebutkan pasal mana yang harus diamendemen.
Tahapannya, misalkan dari sepuluh atau dari sembilan fraksi dan satu kelompok DPD menyepakati, katakanlah pasal terkait GBHN, berarti harus dimulai dari satu per tiga anggota MPR mengusulkan secara tertulis perlunya amendemen tentang GBHN. Setelah itu, pimpinan menerima usulan itu untuk kemudian dibawa ke dalam rapat paripurna. Rapat paripurna itu juga harus disetujui oleh dua per tiga anggota MPR.
Menurut Jazilul, sekarang ini tahap-tahapnya adalah memberikan kesempatan kepada jajaran pemimpin partai politik, fraksi, serta masyarakat umum yang mau mengusulkan amendemen. Usulan ini ada yang tertulis dan ada yang belum tertulis, tetapi nanti pasti harus melampaui satu per tiga anggota MPR yang ikut bertanda tangan mengusulkan. Jadi silakan saja mengusulkan.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini