Sejarah Hari Ini: Tragedi 1965, Peristiwa Gerakan 30 September | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Sejarah Hari Ini: Tragedi 1965, Peristiwa Gerakan 30 September

Ceknricek.com -- Tepat pada tanggal hari ini, 54 tahun yang lalu, 30 September 1965, terjadi tragedi berdarah yang membawa dampak besar-besaran, sekaligus menjadi lembar paling hitam dalam narasi sejarah modern Indonesia.

Jelang 1 Oktober 1965 dini hari, terjadi penculikan  dan pembantaian terhadap enam perwira tinggi Markas Besar Angkatan Darat (MBAD), dan seorang ajudan Menteri Pertahanan. Peristiwa itu kemudian disebut kudeta yang dituduhkan secara masif bahwa PKI sebagai dalangnya.

Peristiwa ini (oleh Orde Baru) kemudian dikenal sebagai Gestapu atau Gerakan September 30. Sementara menurut versi Soekarno, gerakan ini disebut sebegai gerakan Satu Oktober alias Gestok. 

Peristiwa G30S dalam Berbagai Versi

Ketika orang berbicara mengenai Peristiwa G30S 1965, secara umum narasi yang dibangun adalah peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh PKI untuk meng-komuniskan Indonesia lewat sebuah kudeta berdarah dengan dibunuhnya tujuh perwira Angkatan Darat, hingga kemudian dibuang ke Lubang Buaya.

Peristiwa yang hingga kini masih menyimpan misteri itu kemudian mendorong lahirnya banyak spekulasi, di samping manipulasi dan distorsi terhadap sejarah hitam bangsa Indonesia. Peter Kasenda dalam buku Sukarno Marxisme & Leninisme Akar pemikiran Kiri & Revolusi Indonesia, menuliskan sebagai berikut: 

“Pada 30 September 1965 melalui batalion Tjakrabirawa, PKI telah melancarkan kudeta dengan jalan membunuh tokoh-tokoh tertinggi militer Indonesia di Jakarta, dan kekejaman itu kemudian berlanjut di Lubang Buaya," tulis Peter--(2014. hlm: 239).

Peter Kasenda juga menyebutkan bahwa PKI (selanjutnya) dipandang sebagai satu-satunya “dalang” dari peristiwa keji tersebut. Hal ini semakin "ditebalkan" melalui propaganda film Penghianatan G30S/PKI (selanjutnya disebut penghianatan saja) besutan Arifin C.Noer.

Foto: Istimewa

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Mengenang Tragedi Semanggi II

Materi dari sejarah resmi tersebut seolah-olah kemudian  menjadi pembenaran atas terjadinya pembantaian massal di hampir seluruh wilayah Indonesia ataupun dalih terhadap pendirian kamp kerja paksa di Pulau Buru jilid II.

Sukarno sendiri dalam Pidato Nawaksara mengatakan, peristiwa G30S merupakan pertemuan tiga sebab. Yakni, pimpinan PKI yang keblinger, subversi nekolim, dan oknum yang tidak bertanggung jawab. “Jadi, dalangnya tidak tunggal dan merupakan perpaduan unsur dalam negeri dengan pihak asing,” kata Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengutip Historia. 

Sementara itu, dari berbagai penelitian, setidaknya ada lima versi terkait pelaku G30S: PKI, konflik internal Angkatan Darat, Soekarno, Soeharto, dan unsur asing CIA (Dinas Intelejen Amerika Serikat).

PKI

Menyatakan PKI sebagai satu-satunya dalang peristiwa G30S adalah versi rezim Orde Baru. Literatur pertama dibuat sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh bertajuk Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968). Intinya menyebut skenario PKI yang sudah lama ingin mengkomuniskan Indonesia. Buku ini juga jadi acuan pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer.

Foto: Istimewa

Selain itu, rezim Orde Baru kembali mengunci sejarah tersebut dengan kembali meluncurkan buku resmi yang kedua dengan pengarang yang sama, (Buku Putih) yakni Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994).

Konflik Internal Angkatan Darat

Sejarawan Cornell University, Benedict ROG Anderson dan Ruth McVey mengemukakan dalam A Preliminary Analysis of the October 1 1965, Coup in Indonesia atau dikenal sebagai Cornell Paper (1971), bahwa peristiwa G30S merupakan puncak konflik internal Angkatan Darat.

Dalam Army and Politics in Indonesia (1978), sejarawan Harold Crouch pun mengatakan, menjelang tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi. Kedua faksi ini sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Sukarno.

Kelompok pertama adalah Faksi Tengah yang loyal kepada Soekarno, dengan pimpinannya Letjen TNI Ahmad Yani. Namun, mereka menentang kebijakan Bung Karno terkait persatuan nasional lewat demokrasi terpimpinnya dalam penyatuan Nasakom (nasionalis, agama, komunis). Yani tidak setuju karena komunis ikut di dalamnya.

Kelompok kedua adalah Faksi Kanan dimana kelompok ini bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernafaskan Sukarnoisme. Dalam faksi ini terdapat Jenderal TNI A.H. Nasution dan Mayjen TNI Soeharto.

Baca Juga: Sejarah hari Ini: Tragedi Berdarah Tanjung Priok 

Peristiwa G30S yang berdalih menyelamatkan Sukarno dari kudeta Dewan Jenderal, sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama “Faksi Tengah” untuk melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan Angkatan Darat. 

Selain mendukung versi itu, W.F. Wertheim menambahkan, Sjam Kamaruzaman yang dalam Buku Putih terbitkan Sekretariat Negara disebut sebagai Kepala Biro Chusus Central PKI adalah “agen rangkap” yang bekerja untuk D.N. Aidit dan Angkatan Darat.

Sukarno

Setidaknya ada tiga buku yang menuding Presiden Sukarno terlibat dalam peristiwa G30S: Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965 (2004); Antonie C.A. Dake, The Sukarno File, 1965-67: Chronology of a Defeat (2006) yang sebelumnya terbit berjudul The Devious Dalang. Sukarno and So Called Untung Putsch: Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko (1974). Serta Lambert Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno.

Menurut Asvi, ketiga buku tersebut “mengarah kepada de-Sukarnoisasi yaitu menjadikan presiden RI pertama itu sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September dan bertanggung jawab atas segala dampak kudeta berdarah itu.”

Ketika buku tersebut terbit di Indonesia dengan judul Sukarno File (2005), keluarga Sukarno protes keras dan menyebutnya sebagai pembunuhan karakter terhadap Sukarno. Untuk menyanggah buku-buku tersebut, Yayasan Bung Karno kemudian  menerbitkan buku Bung Karno Difitnah pada 2006. Cetakan kedua memuat bantahan dari Kolonel CPM Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen Tjakrabirawa.

Soeharto

Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V, Kolonel Abdul Latief dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1999) mengungkapkan bahwa dia melaporkan akan adanya G30S kepada Soeharto di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Jakarta pada 28 September 1965, dua hari sebelum operasi dijalankan.

Inilah Yang Dilakukan Soeharto Saat Malam G30S PKI. Sumber: Istimewa

Bahkan, empat jam sebelum G30S dilaksanakan, pada malam hari 30 September 1965, Latief kembali melaporkan kepada Soeharto--saat itu sedang berada di rumah sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto untuk menjenguk Tommy yang tersiram sup panas--bahwa operasi menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal akan dilakukan pada dini hari 1 Oktober 1965. Menurut Latief, Soeharto tidak melarang atau mencegah operasi tersebut.

Fakta bahwa Soeharto bertemu dengan Latief dan mengetahui rencana G30S namun tidak melaporkannya kepada Ahmad Yani atau AH Nasution, kemudian menjadi titik masuk bagi analisis “kudeta merangkak” yang dilakukan oleh Soeharto. Alih-alih menggunakan peristiwa G30S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Soekarno (sambil mencegah kudeta) untuk  melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan.

CIA 

Keterlibatan Amerika Serikat melalui operasi CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) dalam peristiwa G30S telah terang benderang diungkap berbagai sumber. Peter Dale Scott, profesor dari University of California, menulis US and the Overthrow of Sukarno 1965-1967 yang diterbitkan dengan judul CIA dan Penggulingan Sukarno (2004). Menurut Dale, CIA membangun relasi dengan para perwira Angkatan Darat dalam Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Salah satu perwiranya adalah Soeharto.

Foto: Istimewa

Baca Juga: 5 Sudut Ibukota Yang Menjadi Saksi Tragedi G/30S PKI

Sumber lain Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati (2001) karya wartawan Belanda Willem Oltmans. Juga buku Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S (2006) karya sejarawan Baskara T. Wardaya.

Sejarawan John Roosa juga mengungkap bahwa pada akhir 1965 Amerika Serikat memberikan perangkat komunikasi radio lapangan yang sangat canggih ke Kostrad. Antenanya dipasang di depan markas besar Kostrad. Wartawan investigasi, Kathy Kadane dalam wawancaranya dengan para mantan pejabat tinggi Amerika Serikat di akhir 1980-an menemukan bahwa Amerika Serikat juga telah memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut.

BACA JUGA: Cek OPINI, Opini Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini. 



Berita Terkait