Sejarah Hari Ini: Pembunuhan Tujuh Jenderal dan Dalih Pembantaian Massal | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Sejarah Hari Ini: Pembunuhan Tujuh Jenderal dan Dalih Pembantaian Massal

Ceknricek.com -- Tepat pada tanggal hari ini, 54 tahun lalu, 1 Oktober 1965 pukul 07.00 WIB, siaran warta berita radio membacakan sebuah pengumuman khusus yang menyatakan terjadi sebuah gerakan militer dalam tubuh Angkatan Darat.

Disebutkan dalam warta tersebut bahwa "Gerakan 30 September" yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Syamsuri, Komandan Batalion Tjakrabirawa telah menawan anggota "Dewan Jenderal" yang didukung oleh Central Intelegen of America (CIA). 

Para jenderal itu kemudian menjadi sasaran pasukan Tjakrabirawa karena berusaha untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno lewat sebuah kudeta pada 5 Oktober dalam peringatan Hari Angkatan Bersenjata.

Foto: Istimewa

Pembunuhan Tujuh Jenderal

Pada 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad (Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat) kemudian menyatakan pidato singkat lewat radio. The Smilling General itu menyatakan bahwa suatu gerakan kontra revolusioner telah menahan enam Jenderal, termasuk Panglima Angkatan Darat.  

Ketujuh jenderal itu disebut Soeharto diambil di rumahnya pada pagi buta. Mereka adalah Letjen Ahmad Yani (menteri Panglima Angkatan Darat), Jenderal Suprapto, Mayor jenderal S.Parman, Mayor Jenderal M.T. Haryono, Brigadir Jenderal D.I. Pandjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutojo Siswomiharjo.

Foto: Istimewa

Tentara yang melakukan penyergapan itu mengatakan pada dewan dewan jenderal bahwa mereka dipanggil untuk menghadap ke Istana Presiden. Hampir semua jenderal menyangkal kebenaran itu, namun mereka tetep diringkus dan diseret ke luar rumah. 

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Tragedi 1965, Peristiwa Gerakan 30 September

Dalam proses tersebut tiga orang (Ahmad Yani, Haryono, dan Pandjaitan) dibunuh dengan peluru atau bayonet, sedangkan lainnya dibawa hidup-hidup. Sementara itu, Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan. 

Meskipun demikian, putrinya, Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan dia, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan. Keenam Jenderal dan Letnan itu kemudian dibawa ke suatu daerah yang disebut Lubang Buaya, Jakarta Timur. 

Di tempat itu, mereka yang masih hidup kemudian dibunuh. Mayatnya dijebloskan ke dalam sebuah sumur sedalam 12 meter dangan lebar 75 sentimeter yang sudah tidak digunakan lagi.

Pada 3 Oktober 1965, Letnan Satu Faisal Tanjung dan Letnan Dua Sintong Pandjaitan, diperintahkan oleh Soharto untuk bergerak ke Lubang Buaya. Sebelumnya, Resimen Komandio Angkatan Darat (RPKAD) mendapat kabar bahwa di situlah posisi jenderal yang terculik. 

Informasi ini berasal dari pengakuan Agen Polisi II Soekitman yang ikut terculik tapi kemudian kabur. Kawasan itu pun didisir oleh mereka, selain juga mendapat kebar dari warga tentang sebuah sumur yang sudah ditimbun dengan tanah. Dibantu warga, mereka pun menggali sumur tersebut. 

Foto: Istimewa

“Pada kedalaman 8 meter, terciumlah bau menyengat. Penduduk yang menggali meminta naik karena tidak tahan dan mengganggu pernapasan. Setelahnya, salah seorang anak buah Sintong ikut turun dan melihat kaki manusia yang mencuat ke atas. Yakinlah pasukan elite itu bahwa di situlah jenazah para jenderal terculik berada,” tulis Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (hlm. 130-131).

Setelah dilakukan penggalian, jenazah para Jenderal itu kemudian diangkat dengan menggunakan alat selam milik KKO (Marinir). Pengangkatan yang dilakukan antara tengah hari sampai sore, pada 4 Oktober 1965 itu lalu membuahkan hasil dengan diketemukannya ketujuh jenazah. 

Foto: Istimewa

Jenazah itu kemudian dibawa ke RS Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto untuk dilakukan otopsi. Namun, pasca pengangkatan beredar kabar bahwa jenazah yang dibunuh sebelumnya disilet-silet dan disiksa secara keji, bahkan dicongkel matanya.

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Mengenang Tragedi Semanggi II

Kabar tersebut kemudian dibantah oleh dr. Liaw (salah satu tim otopsi), kepada Alferd Ticolalu dalam wawancara untuk Indoprogress. “Saya tahu bahwa di surat-surat kabar itu jenderal-jenderal itu disiksa, dianiaya segala. Disiksa apa itu. Dari sebab itu saya mau cari apa benar ada bukti-bukti itu atau nggak. Antara lain matanya dicukil segala. Nah, waktu itu saya lihat kok nggak ada yang dicukil matanya.” 

Dalih Pembantaian Massal

Dengan tidak adanya Yani, karena telah menjadi salah satu korban gerakan 30 September, Soeharto kemudian mengambil alih Komando Angkatan Darat pada hari yang sama tatkala ia mengumumkan warta lewat radio RRI. Beberapa hari kemudian juga dibentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di bawah komando Soeharto.

Kopkamtib bertugas untuk mengidentifikasi, menangkap, dan mengusut semua yang bertanggungjawab dan terlibat di dalam Gerakan 30 September. Pada 17 Oktober, dalam sebuah instruksinya kemudian diumumkan bahwa tanggal 1 Oktober 1965, yakni dimana gerakan 30 September dihancurkan, selanjutnya akan diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancsila.

Foto: Istimewa

Secara khusus Kopkamtib  bertanggung jawab untuk membersihkan aparatur sipil pemerintah dari orang-orang yang diduga terlibat gerakan teresbut. Soeharto menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G-30-S, dan selanjutnya ia menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai tersebut. 

Baca Juga: 5 Sudut Ibukota Yang Menjadi Saksi Tragedi G/30S PKI

Tentara Soeharto kemudian menangkapi satu setengah juta lebih orang Indonesia. Semuanya dituduh terlibat dalam G-30-S. Tidak hanya itu, rakyat pun didorong untuk tidak memberi ampun kepada para pelaku peristiwa gerakan 30 September. Mereka secara terang-terangan disebut sebagai penghianat, setan, pembunuh anak-anak, dan perempuan-perempuan sundal.

Markas Komunis Hancur oleh amukan massa. Sumber: Getty images

Dalam sejarahnya, peristiwa ini kemudian menjadi salah satu pertumpahan darah terburuk di abad kedua puluh di Indonesia. "Ratusan ribu orang dibantai Angkatan Darat dan milisi yang berafiliasi dengannya, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, dari akhir 1965 sampai 1966," tulis John Rossa dalam bukunya, Dalih pembunuhan Massal (hlm.5). Namun Rossa sendiri di catatan kakinya menyebut jumlah itu sebagai angka terkecil dari informasi sebuah komisi yang dikuasai perwira militer.

Sementara itu menurut Pramoedya Anata Toer, masih mengutip buku yang sama, dalam Memoar Oei Tjoe Tat, bahwa secara pribadi Ia menyebutkan kepada Soekarno, jumlah sebenarnya mendekati 500.000 atau 600.000 korban pembantaian, yang semuanya dituduh terlibat dalam gerakan 30 September.

BACA JUGA: Cek OPINI, Opini Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini. 



Berita Terkait