Ceknricek.com --Menghadapi gempuran media sosial, para wartawan yang merasa termasuk media pers “ arus utama” atau pers mainstream, sebelumnya dengan sedikit pongah menandaskan, media pers arus utama tak bakalan mungkin disingkirkan oleh media sosial. Ada dua alasan yang menjadi landasan kepercayaan diri yang tinggi itu. Pertama, dibanding dengan media sosial, selama ini media pers arus utama diyakini lebih lengkap dan mendalam liputannya. Lantas kedua, media pers arus utama dipercaya jauh lebih akurat ketimbang media sosial!
Dalam kaitan dengan berita yang kiwari (saat ini) sedang “booming”,@ yaitu soal wabah virus covid 19, apakah kebanggaan atas dua kelebihan itu masih nampak? Hampir nol!
Baca Juga : Pada Moral Agama (wan) Kita Bertumpu
Sampai sekarang, begitu banyak problem pelaksanaan pencegahan covid 19, baik pada tataran perencanaan, koordinasi maupun dalam tataran di lapangan, tetapi sepanjang pengetahuan saya, tak ada satu pun media pers arus utama yang melakukan investigasi reporting terhadap problem itu. Bahkan yang sekedar menyuguhkan deep reporting terhadap problem-problem itupun tak ada.
Kalau pun ada laporan panjang lebar, di pers cetak maupun televisi, paling terhadap informasi yang bersifat umum dan mudah digapai. Padahal sejak proses minta rujukan di Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) sudah menimbulkan kekhawatiran karena yang mau minta surat rujukan, tidak peduli status penyakitnya, sudah banyak yang bercampur dengan yang lain. Disini mungkin saja jadi salah satu sumber penularan penyakit.
“Gue justru stres waktu mau minta surat rujukan di Puskesmas,” kata seorang teman.
Baca Juga: Lockdown Sumatera
Perlakuan rumah sakit kepada pasien PDP juga banyak yang bermasalah, mulai ditolak dan ada yang kabarnya dipungut biaya mahal. Kabarnya ada yang sampai sehari Rp 25 juta. Juga bagaimana bisnis alat-alat kesehatan dan bahkan APD yang dari datang Cina “made in” Indonesia. Kenapa perlu didatangkan dari Cina kalau pabriknya di Indonesia, wakaupun pemiliknya perusahaan China juga?
Foto: Istimewa
Nah, menjadi pertanyaan yang wajar, perusahaan mana gerangan yang paling mengambil keuntungan? Kenapa begitu? Siapa saja pemilik atau pemegang saham perusahaan itu? Bagaimana Indonesia yang sudah dinyatakan tertutup bagi pendatang negara tertentu, orang asing bisa masih bebas keluar masuk negeri ini?
Demikian juga ada sekitar 500 hoaks atau berita palsu soal wabah virus covid 19 cuma dalam waktu tiga minggguan. Dan seterus dan seterusnya, begitu banyak masalah. Tapi apa yang dilakukan oleh media pers arus utama? Hampir nol!
Baca Juga : Dewan Guru Besar FKUI : Butuh Aturan Tegas untuk Diam di Rumah.
Adapun yang dilaporkan media pers arus utama informasi yang sebenarnya sudah diketahui khalayak umum. Informasi yang dapat dengan mudah dipungut di media sosial atau dari wawancara formal pejabat. Dalam hal ini, tak heran, faktanya, bukannya media sosial yang banyak mengutip dari media pers arus utama, tapi sebaliknya semakin banyak media pers arus utama yang mengutip dari media sosial. Lalu apa lagi yang masih dibanggakan para wartawan media pers arus utama?!
Naluri melakukan investigasi reporting boleh jadi sudah luntur di media pers arus utama. Kemalasan untuk mencari data yang sesungguhnya mungkin sudah menjerat di leher media pers arus utama.
Foto: Istimewa
Kebaharuan dan fakta yang dijadikan kebanggaan media pers arus utama sebelumnya, sekarang sudah jadi semu. Akurasi yang begitu diangung-agungkan kiwari sudah hampir jadi legenda belaka. Kelengkapan data dan peristiwa yang sebelumnya menjadi bagian darah daging, kini kemungkinan tinggal jadi bahan kuliah atau pengajaran di kampus-kampus jurnalistik atau di lembaga pelatihan dan pendidikan media pers arus utama.
Faktanya, berita media pers arus utama hampir tidak ada bedanya dengan media sosial. Media pers arus utama pun tidak melakukan konfirmasi atau verifikasi terhadap 500-an hoaks soal virus covid 19 yang bergentangan dan terus bertambah banyak. Paling yang ada cuma kebiasaan mengaduk “pendapat” para narasumber, yang itu pun tidak diikuti dengan pembeberan data.
Baca Juga : APD Langka,Dewan Guru Besar FKUI Rekomendasikan RI Tiru Inggris
Fakta ini memberikan beberapa makna. Dunia media pers arus utama yang sekarang sedang menukik menuju dasar, teoritis, sudah mendekati titik nadir. Keruntuhan “surau pers kami” hanya tinggal menunggu dalam hitungan yang tak lama lagi. Berbagai apologia yang menjadi pemikiran dan landasan para wartawan media pers arus utama, kini jelas sudah tak relevan dan tidak valid lagi.
Fakta-fakta di seputar liputan wabah virus covid 19 membuktikan, hampir tak ada kelebihan apapun media pers arus utama dari media sosial. Ekosistem penyebaran informasi sudah berubah total. Sumber informasi terbuka dari segala penjuru, kapan saja. Ketidakmampuan media pers arus utama menghadapi gempuran media sosial, bukan semata-mata karena faktor kemajuan teknologi informasi (yang memang memiliki dampak luar biasa), tetapi pada akhirnya terutama lantaran kelemahan dalam diri media pers arus utama sendiri. Mitos untuk mengungkap kebenaran yang dahulu ada hampir di semua wartawan, kini sudah susut. Sikap skeptis yang mempertanyakan setiap informasi dewasa ini menipis ditindih oleh pandangan perlunya antisipasi kecepatan sebagai pemadu utama.
Baca Juga : RI Kewalahan Tangani COVID-19,Dewan Guru Besar FKUI Sarankan Tiru Korsel
Pada sisi lain, media pers arus utama sebagai “cominicator of hope” atau pembawa pesan harapan, juga nyaris tak terlihat. Media pers arus utama tak lebih dari media sosial berlomba-lomba menyebarkan berita yang menakutkan dan mencekam, tanpa ikut melaporkan sisi yang optimis. Kalau pun ada yang seperti itu jauh dari memandai sama sekali.
Kita saatnya kita menginsafi peranan media pers arus utama memang bukan saja menyusut, tetapi juga telah hampir tiba pada titik terakhir. Tak perlu sedu sendan. Kita tetap bukan binatang jalang dari kumpulan terbuang, tetapi kita para wartawan yang sebelumnya selalu mencatat sejarah, akan dicatat sebagai bagian dari sejarah. Wabah virus covid 19 bukan hanya menyadarkan kita betapa bahaya dan ganasnya virus itu bagi kesehatan kita, tetapi juga sekaligus menyadari kita dunia media pers arus utama sudah berara di ambang “kematian.”
Wina Armada Sukardi, wartawan senior dan pakar hukum dan etika pers.
BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini