Berharap Banyak dari CPO | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Asia.nikkei.com

Berharap Banyak dari CPO

Ceknricek.com -- Membuka tahun 2020 harga crude palm oil atau CPO cenderung menguat. Pada Jumat, 3 Januari 2020 harga minyak nabati ini untuk kontrak pengiriman tiga bulan di Bursa Malaysia Derivative Exchange berada di level RM3.120. 

Sejak kuartal terakhir tahun 2019, harga CPO sudah melesat. Salah satu pemicunya, kebijakan India memangkas pajak impor minyak sawit dari 40% menjadi 37,5%. Pajak berbagai produk olahan minyak sawit juga dipangkas dari 50% menjadi 45%. Reuters melaporkan kebijakan ini diprediksi bakal meningkatkan permintaan minyak sawit India.

Berharap Banyak dari CPO
Sumber: CNBC

Baca Juga: Peru Tertarik Belajar Kembangkan Industri Minyak Sawit Dari Indonesia

"Impor minyak sawit olahan akan melonjak dalam beberapa bulan mendatang karena kesenjangan bea masuk antara minyak mentah dan minyak sawit telah menyempit menjadi 7,5% dari 10% sebelumnya." kata BV Mehta, Direktur Eksekutif Asosiasi Pelarut Extractors (SEA), sebuah Badan perdagangan yang berbasis di Mumbai. 

Selama ini, India mengandalkan impor untuk memenuhi 70% kebutuhan konsumsi minyak nabati. Jumlah tersebut naik dari 44% pada 2001-2002. Menurut data yang dikumpulkan oleh SEA, impor minyak kelapa sawit menyumbang hampir dua pertiga dari total impor minyak nabati India atau setara dengan 15 juta ton. 

Di pasar global, minyak sawit bersaing dengan minyak kedelai dan minyak bunga matahari. Begitu juga di pasar India. Negeri Hindustan ini mengimpor soy oil terutama dari Argentina dan Brasil, dan minyak bunga matahari dari Ukraina dan Rusia.

Prospektif

Selain pemangkasan pajak impor CPO oleh India, sentimen positif juga datang dari Indonesia dan Malaysia. Ketua Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalbar, Mukhlis Bentara, menyebutkan sejak akhir tahun 2019 dan memasuki awal tahun 2020 produksi dua negara penghasil utama CPO ini menurun. Penurunan terjadi sejak Oktober lalu. “Harga terdongkrak karena produksi turun," ujarnya, seperti dilaporkan Antara, dari Pontianak, Jumat (3/1). 

Stok CPO Indonesia dan Malaysia menipis karena produksi tandan buah segar atau TBS turun. Penurunan TBS akibat sebagian tanaman yang sudah tua. Sudah begitu, dua negara ini juga menerapkan kebijakan penggunaan biodiesel dalam negeri. Program biodiesel ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu konsumen terbesar CPO.

Berharap Banyak dari CPO
Sumber: Mitrapol

Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara eksportir CPO terbesar di dunia. Pada tahun ini, Indonesia menerapkan kebijakan B20, yakni kewajiban pemakaian biodiesel sebesar 20% dalam kandungan bahan bakar untuk kendaraan tertentu. Ke depan, secara bertahap Indonesia berencana untuk terus memperbesar porsi biodiesel dalam pencampuran bahan bakar dengan adanya program B30, B50, sampai B100. Nantinya, penggunaan CPO semakin diprioritaskan untuk konsumsi dalam negeri.

Berharap Banyak dari CPO
Sumber: CNBC

Baca Juga: Presiden Jokowi: Kebijakan B20 Hemat Anggaran Negara US$5,5 Miliar per Tahun

Penawaran CPO dari Malaysia juga berkurang karena adanya faktor cuaca di daerah Sabah, sebagai wilayah penghasil CPO, yang mengakibatkan rendahnya pemupukan dan hasil CPO. Dampaknya adalah akan berkurangnya penawaran CPO untuk pasar dunia dalam beberapa tahun mendatang.

Di sisi lain, permintaan CPO dunia diproyeksikan meningkat karena semakin kompetitifnya harga CPO sebagai pengganti dari minyak bumi, utamanya didorong oleh peningkatan permintaan dari China dan India. China juga meningkatkan permintaan CPO karena menurunnya impor kedelai dari AS sebagai salah satu komoditas perang dagang antara China dan AS.

Sejumlah pakar dalam Indonesia Palm oil Conference 2019 juga memprediksi harga CPO tahun 2020 akan lebih baik dari tahun lalu.

Kinerja Menurun

Membaiknya harga CPO di pasar internasional menjadi harapan kalangan industri kelapa sawit. Soalnya, selama tahun lalu pebisnis CPO babak belur. Senior Vice President PT Astra Agro Lestari Tbk., Tofan Mahdi, mengatakan selama 2019 harga CPO kurang menguntungkan. Laba bersih Astra Agro anjlok 90,11% secara tahunan menjadi Rp111,18 miliar per kuartal III-2019. Pada periode sama tahun sebelumnya, perusahaan ini masih membukukan laba bersih sebesar Rp1,12 triliun.

Penurunan laba tersebut karena harga jual rata-rata CPO selama 2019 yang jatuh. "Sepanjang kuartal I hingga III tahun 2019 harganya masih rendah," terang Tofan kepada Kontan.co.id, belum lama ini.

Berharap Banyak dari CPO
Sumber: Istimewa

Baca Juga: Ironi Kelapa Sawit: Keruh di Hulu, Bersih di Hilir

Bukan hanya Astra Agro saja yang kurang beruntung. PT Mahkota Group Tbk. juga mencatatkan pendapatan yang menurun sepanjang kuartal III 2019. Berdasarkan laporan keuangan kuartal III, pendapatan MGRO turun 6,8% year on year (yoy) menjadi Rp1,36 triliun dari sebelumnya Rp1,46 triliun.

Pendapatan yang menurun diikuti dengan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk yang juga menyusut cukup dalam sebesar 46,83% yoy, dari sebelumnya Rp45,41 miliar menjadi Rp24,14 miliar.

Masalahnya, tantangan utama atas prospek peningkatan permintaan CPO adalah potensi perlambatan perekonomian global. Jika tahun depan ekonomi masih melambat, maka juga ada risiko bahwa permintaan dunia akan CPO tidak banyak berubah dari tahun lalu.

BACA JUGA: Cek Berita AKTIVITAS PRESIDEN, Informasi Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini. 


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait