Bom Waktu Mobil Listrik | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Indopolitika

Bom Waktu Mobil Listrik

Ceknricek.com -- Peraturan presiden (perpres) mengenai kendaraan listrik sudah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mulai diberlakukan 12 Agustus lalu. Isi perpres ini antara lain soal pemberian insentif dan lainnya. Ada juga nanti diterbitkan peraturan pemerintah yang mengatur masalah pajak.

Dalam Pasal 8 ayat 1 perpres itu, tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) diatur secara betahap dan berkelanjutan. Antara tahun 2019 hingga 2021, minimum TKDN-nya ditetapkan sebesar 35%. Periode selanjutnya, antara 2022 hingga 2023 minimum TKDNya 40% dan mulai tahun 2030 dan seterusnya minim TKDN dipatok 80%. Tata cara penghitungan TKDN  ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian dengan melibatkan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.

Pada saat ini, industri komponen mobil listrik nasional belum berjalan. Tak pelak, ada beberapa komponen utama yang belum bisa dibuat di Tanah Air sehingga harus didatangkan dari luar negeri. Komponen yang mesti diimpor adalah baterai, komputer, dan motor.

Itu sebabnya, dalam perpres diatur soal impor komponen mobil listrik (moblis) yang belum mampu diproduksi di Indonesia. Pasal 11 menyatakan bahwa industri komponen mobil listrik dapat mengimpor komponen dalam keadaan terurai tidak lengkap (incomplete knock down) atau terurai lengkap (completely knock down). Kementerian Perindustrian yang akan menentukan kedua jenis skema impor komponen tersebut.

Sumber: Youtube

Baca Juga: Presiden Jokowi Dorong DKI Jakarta Beri Insentif Mobil Listrik

Meski komponen-komponen utama itu, terutama baterai, awalnya mesti diimpor, tapi ke depan pemerintah akan “mewajibkan” industri dalam negeri untuk memproduksinya di sini. Pasalnya, selain biaya impor yang tinggi, produksi baterai di sini juga merupakan langkah penguasaan teknologi. Nantinya seluruh industri mobil listrik, baterai itu harus dibuat di lokal.

Infrastruktur

Sebelumnya, pihak Istana berharap instrumen dan kelengkapan pendukung mobil listrik bisa segera direalisasi. Infrastruktur recharging, misalnya, akan sangat diperlukan. Maklum saja, mobil listrik tentu saja tak sama dengan ponsel yang langsung dicolok, selesai. “Mesti ada stasiun pengisian listrik umum," ujar Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko, saat mengumumkan tentang telah ditandatanganinya Perpres mengenai mobil listrik oleh Presiden.

Sumber: Saibumi

Sebelum ini, Ketua Umum Gabungan Asosiasi Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi juga menyebut bila Indonesia ingin fokus ke kendaraan listrik murni baterai harus mempersiapkan infrastrukturnya terlebih dahulu.

"Mobil listrik bukan teknologi yang terlalu jauh, misalnya mobil listrik itu kan termasuk yang namanya hybrid. Kalau hybrid tidak perlu dicolokin, tinggal dijalankan saja bergantian saling mengisi," ujar Nangoi dalam seminar "Indonesian Automotive Readiness Towards Industry 4.0" pada saat pameran GIIAS.

Plug-in Hybrid mungkin oke, kata Nangoi, karena kalau dalam kondisi terjelek dia bisa dipakai karena combustion engine-nya masih bisa jalan. “Namun, mobil pure listrik atau electric vehicle itu dikhawatirkan kalau infrastruktur belum terbentuk bahaya, karena kalau di tengah jalan kehabisan listrik bisa bubar nanti," tambahnya.

Jadi kunci utama untuk penggunaan mobil listrik adalah harus tersedia terlebih dahulu fasilitas pendukung mobil listrik, seperti stasiun pengisian daya. Seperti di Jepang, sebelum mengaplikasikan penggunaan mobil listrik mereka mempersiapkan fasilitas pendukung mobil listrik terlebih dahulu.

Sementara itu, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), menyatakan kesanggupan untuk membangun infrastruktur dan menyediakan pasokan listrik untuk mobil listrik. Penguasa setrum di Indonesia ini sudah berpengalaman menyediakan fasilitas kelistrikan untuk transportasi massal kereta listrik. Hanya saja, untuk mobil, yang menjadi isu utama permasalahan adalah adanya dua standarisasi alat pengisi daya yaitu Jepang dan Eropa. Standar ini yang akan dipakai untuk menentukan mobil di Indonesia.

Pembangunan SPLU (Stasiun Pengisian Listrik Umum) tidak memakan waktu dan biaya yang besar. Dibandingkan dengan SPBU yang membutuhkan dana Rp3 miliar, membangun SPLU tidak tidak ada separohnya. Juga kalau membangun SPBU membutuhkan waktu dua tahun, sedang SPLU seminggu bisa selesai.

Sumber: CNN

Executive Vice President Corporate Communication and CSR PT PLN, I Made Suprateka menyebut, PLN sudah siap mengembangkan unit charging station dan fast charging station. "Saat ini fast charging station sedang dalam penelitian dan pengembangan oleh kami," ungkap Made.

Proyek pengerjaan fast charging station, menurut Made, akan memakan biaya kurang lebih Rp1 miliar per unit. Made yakin dengan tersebarnya stasiun pengisian daya ini akan menjawab kebutuhan pemilik mobil listrik. "Misalnya orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi lain, tidak lagi khawatir mencari tempat pengisian," katannya.

Sumber: OkeZone

Baca Juga: Jalur Lambat Mobil Listrik

Pada saat ini tempat pengisian daya listrik umum tidak banyak tersebar di Indonesia. Bahkan di Ibu Kota Jakarta saja masih sangat minim. Memang, sudah ada beberapa SPBU yang telah memiliki fasilitas pengisian daya listrik. Namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Menurut PLN, perusahaan pelat merah ini kini telah memiliki 5.420 stasiun pengisian daya yang tersebar di 1.982 titik.

Kondisi tersebut sangat berbeda dengan di Eropa. Berdasarkan data dari European Alternative Fuel Observatory, setidaknya ada 150.000 titik pengisian daya listrik yang tersebar di seluruh daratan Eropa.

Belanda tercatat sebagai pemilik titik pengisian terbanyak, yaitu sebesar 37.000 unit, disusul Jerman dengan jumlah 26.200 unit. Adapun Perancis dan Inggris memiliki titik pengisian masing-masing sebanyak 24.700 unit dan 18.200 unit.

Subsidi

Selain infrastruktur, mobil listrik membutuhkan subsidi atau insentif. Subsidi, menjadi hal yang paling diperlukan untuk mendorong pertumbuhan penggunaan mobil listrik. Pasalnya, saat ini harga baterai untuk kendaraan listrik berada di kisaran US$200/Kwh, menurut Direktur Penelitian konsultan Wood Mackenzie Sushant Gupta.

Sementara satu mobil listrik ukuran sedang (mobil penumpang biasa) rata-rata menggunakan kapasitas baterai 60 Kwh untuk menempuh jarak 250-300 mil. Dengan demikian, rata-rata harga baterai untuk satu mobil listrik mencapai US$12.000 atau setara dengan Rp168 juta (asumsi kurs Rp14.000/US$). Dalam kondisi tersebut, harga mobil listrik akan lebih mahal sekitar 30-35% dibanding mobil konvensional apabila tidak disubsidi.

Chaikal Nuryakin, peneliti dari Institute for Economic and Social Research Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, mengatakan subsidi sangat penting untuk mereduksi jarak harga antara mobil listrik dan mobil konvensional.

Sumber: Autonet Magz

Baca Juga: Luhut: Pemerintah Akan Beri Kelonggaran Soal Impor Mobil Listrik

Hasil survei para peneliti dari Universitas Indonesia, subsidi yang diberikan minimal Rp44 juta untuk satu mobil ramah lingkungan. Nilai subsidi itu berlaku untuk mobil ramah lingkungan yang diproduksi di dalam negeri. "Ini harganya harus sekitar Rp221 juta (setelah subsidi). Dengan harga itu ya harus ada insentif dari pemerintah sekitar Rp44 juta," kata Chaikal dalam sebuah seminar otomotif mobil listrik Indonesia-Jepang di kantor Kementerian Perindustrian.

Selain insentif yang diterima konsumen, pemilik kendaraan ramah lingkungan harus menerima keuntungan lain. Ia mengapresiasi PLN yang akan memberi potongan harga tarif listrik di malam hari untuk pemilik mobil listrik. "Makanya supaya bisa, kita harus dapat insentif selain pajak," ujarnya.

Berkaca pada negara-negara Eropa, pengguna mobil listrik mendapat insentif yang cukup besar dari pemerintah. Contoh paling menonjol Norwegia. Pembeli mobil listrik di sana tidak perlu membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di Indonesia, PPN dipatok 10%. Kalau ditiadakan akan sangat besar dampaknya pada harga jual mobil.

Selain itu, pemilik mobil listrik di Norwegia bebas pajak registrasi. Di Indonesia, pajak registrasi mobil kelas menengah berada di kisaran 1 juta-an per tahun. Di Tiongkok juga ada banyak insentif bagi pengguna mobil listrik, dan sebaliknya disinsentif untuk mobil nonlistrik.

Hanya saja, benarkah mobil listrik ramah lingkungan? Nagoi mengingatkan salah satu pertimbangan mobil listrik ialah baterai. Bila tidak ditangani dengan baik, tentunya seperti bom waktu yang bisa mencemari lingkungan. Mobil electric vehicle sangat bersih tapi setelah dipakai sekian tahun, used battery menjadi masalah. “Anda bayangkan kalau di Indonesia pemakaian mobil 1,3 juta pada 10 tahun lagi, setiap tahun 1 juta mobil harus dibuang," ungkap Nangoi.

Bandingkan saja dengan bus listrik yang beratnya tiga ton, baterainya saja hampir 2 ton. “Itu baterainya saja. Bisa dibayangkan baterai yang di-recycle kalau tidak betul-betul itu bahaya, karena seolah-olah seperti pemakaian tidak ada emisi, tapi setelah pemakaian 10 tahun kemudian mobil ini menghasilkan emisi yang luar biasa, dalam bentuk baterai itu kan beracun," jelasnya.

Di sisi lain, mobil listrik memang tak mengeluarkan polusi namun polusi tentunya dipindahkan ke pembangkit listrik. Apalagi kalau pembangkit listrik itu menggunakan PLTU batu bara.

Lauri Myllyvirta, aktivis Greenpeace International, pernah  mengatakan, penggunaan batubara menyebabkan 60 ribu orang Indonesia meninggal tiap tahun. Ini karena polusi batubara menyebabkan kanker paru, stroke, penyakit pernafasan dan persoalan lain terkait pencemaran udara.

BACA JUGA: Cek HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait