Ceknricek.com -- Salah ketik bukan masalah sepele. Adalah Alimin Jamhuri. Gara-gara salah ketik, tahanan titipan Mahkamah Agung RI atas kasus tindak pidana korupsi itu statusnya tetap tahanan karena belum dieksekusi oleh kejaksaan.
Peristiwa itu terjadi Juli 2018. Berdasarkan putusan MA pasal 226 KUHP Nomor 640 K/Pid.sus/2017/17 Mei 2017, Alimin dijatuhi hukuman penjara empat tahun dan pidana denda Rp200 juta. Akan tetapi ada kesalahan ketik dalam petikan tersebut tertulis “dua ratus ribu rupiah”. Gara-gara salah ketik nasib lelaki itu tak beranjak dari status tahanan.
Cerita lainnya, terjadi pada April 2004. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sempat membebaskan Agus Budio Santoso dari jerat hukum gara-gara jaksa salah dalam mengetik pasal. Agus diadili karena kasus pembobolan Bank Mandiri Cabang Mampang Prapatan, Jakarta, sebesar Rp120 miliar. Dalam dakwaan jaksa mencantumkan Pasar 2 Undang Undang No. 31 Tahun 199 tentang korupsi. Hanya saja, jaksa tidak mencantumkan ayatnya.
Sumber: Borneonews
Padahal dalam pasal tersebut ada dua ayat yang memiliki kualifikasi hukum berbeda, dengan ancaman hukuman yang berbeda pula. Dalam ayat 1 dinyatakan, antara lain, setiap orang yang melakukan perbuatan korupsi dipidana dengan penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Sedangkan ayat 2 diatur adanya ancaman hukuman mati bagi terdakwa kasus korupsi.
Karena kekuranglengkapan itu, akhirnya hakim menilai dakwaan yang dibuat jaksa tersebut kabur, tidak cermat dan tidak jelas. Agus pun dapat vonis bebas.
Salah ketik atau saltik dan dalam bahasa Inggris typo, bisa terjadi pada siapa saja. Saltik bisa membahayakan nasib orang. Bisa membuat kerugian moril maupun material. Jika duit saltik, ditambah nol satu saja, juta berubah menjadi miliar, miliar menjadi triliun dan seterusnya.
Saltik Omnibus Law
Nah, belakangan ini saltik bisa menjadi kambing hitam. Bisa menjadi tameng bagi para petinggi. Saltik pun menjadi tren. Musim. Paling gres tentu saltik pada Omnibus Law rancangan undang-undang atau RUU Cipta Kerja.
Dalam RUU Ciker itu disebutkan presiden memiliki kewenangan mengubah UU melalui peraturan pemerintah atau PP. Aturan itu dituangkan dalam BAB XIII Ketentuan Lain-lain RUU Cipta Kerja Pasal 170. Inilah yang mengundang polemik. Aturan seperti itu jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945. Kedudukan PP di bawah UU. Tidaklah mungkin PP bisa mengubah UU.
Sumber: Detik
Menko Polhukam, Mahfud MD, terkaget-kaget dengan itu. Eks Ketua Mahkamah Konstitusi ini menduga ada kekeliruan dalam pengetikan dokumen tersebut. "Berulang kali salah ketik digunakan sebagai alasan oleh pejabat terkait," sindir anggota Ombudsman RI, Alvin Lie, dalam Twitter pribadinya, Senin (17/1).
Baca juga: Menko Polhukam Mahfud: Salah Ketik Omnibus Law Cuma Satu Pasal
Alvin tak bisa menerima dalih Mahfud. Lebih malang lagi, kata dia, adalah nasib juru ketik yang hanya melaksanakan perintah. Tetapi, ketika ada kesalahan semua menjadi salah mereka. "Dokumen kebijakan pemerintah yang dikecam publik, mereka yang disalahkan," ujarnya.
Sumber: Twitter @Alvinlie
Said Didu dalam akunnya juga mengkritisi Mahfud. Ia lalu mengurai apa itu salah ketik. Menurut eks Sekretaris Kementerian BUMN ini, salah ketik adalah salah huruf dalam kata. Ada juga salah kata, yakni “salah kata dalam kalimat dengan makna yang sama”. Ada satu lagi. Salah pikir/sengaja. “Salah beberapa kata dalam kalimat atau paragraf yang pengertian berbeda”.
Said Didu boleh jadi ingin mengatakan bahwa yang terjadi bukan saltik melainkan lebih parah dari itu: salah pikir. Soalnya, kesalahan yang terjadi pada RUU Ciker sangat banyak sehingga sulit dijelaskan sebagai salah ketik.
Sumber: Lensaindonesia
Wikipedia menerjemahkan saltik adalah kesalahan yang dibuat pada saat proses mengetik. Istilah ini mencakup kesalahan karena kegagalan mekanis atau slip tangan atau jari, tetapi tidak termasuk kesalahan yang timbul akibat ketidaktahuan penulis, seperti kesalahan ejaan.
Beberapa saltik dapat dengan mudah dikenali, seperti misalnya mengetik 'hujan' menjadi 'hjuan'. Tetapi dalam beberapa kasus, saltik dapat mengubah arti kata atau bahkan arti dari kalimat, sebuah kasus yang sering dijumpai dalam bahasa Indonesia. Contohnya, kata 'ketika' yang ditulis menjadi 'ketiak' mengandung arti yang sangat jauh berbeda.
UU KPK
Dalam penyusunan draf Revisi UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disahkan secara terburu-buru juga ada salah ketik. Kesalahan itu baru diketahui setelah draf RUU KPK disahkan menjadi UU KPK lewat sidang Paripurna DPR pada 17 September 2019.
Sumber: Istimewa
Kesalahan terdapat di bagian penulisan Pasal 29. Pimpinan KPK ditulis harus memenuhi persyaratan paling rendah 50 tahun. Namun, tulisan angka 50 tahun tidak sesuai dengan keterangan yang ada di dalam kurung. Dalam kurung menyebutkan "empat puluh tahun".
Pada saat diketahui ada typo, menurut Menteri Pratikno, UU itu belum diteken oleh Presiden Joko Widodo.
Formula E
Sebelumnya, kasus pengakuan salah ketik juga terjadi pada surat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kepada Menteri Sekretariat Negara Pratikno perihal penyelenggaraan Formula E. Dalam surat itu, Anies mengaku sudah mendapatkan rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Saat dikonfirmasi, Ketua TACB DKI Jakarta, Mundardjito, membantah. Ia menegaskan tak pernah memberikan rekomendasi hal tersebut. Ia juga mengaku tidak pernah diikutsertakan dalam rapat ataupun perihal Formula E.
Baca juga: Ketua MPR Harap Omnibus Law Bisa Jamin Regulasi yang Jelas
Sekretaris Daerah DKI, Saefullah, menyebut itu salah ketik. Harusnya bukan TACB melainkan TSP (Tim Sidang Pemugaran).
TACB berwenang hanya untuk menilai sebuah benda bersejarah. Sementara TSP berwenang untuk menangani khusus bidang pemugaran. “Harusnya kalau ada kekeliruan naskah, salah input yang mengetik kali ya, diperbaiki saja," kata Saefullah, Jumat (14/2).
Bertentangan dengan UUD
Kembali ke proyek Omnibus Law. Dalam Pasal 170 RUU Cilaka menyebutkan presiden bisa mengubah UU lewat peraturan pemerintah (PP). Regulasi itu tertuang dalam BAB XIII Ketentuan Lain-lain RUU Cipta Kerja. Pasal 170 berbunyi:
Sumber: Istimewa
Ayat (1)
Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.
Ayat (2)
Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (3)
Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Baca juga: Omnibus Law Cilaka
Mahfud berpendapat materi di atas tidaklah mungkin. "Kalau lewat Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) kan sejak dulu. Kalau undang-undang diganti dengan Perppu itu sejak dulu bisa. Sejak dulu sampai kapan pun bisa tapi kalau isi undang-undang diganti dengan PP, diganti dengan Perpres (Peraturan Presiden) itu tidak bisa. Mungkin itu keliru ketik," kata Mahfud.
Sumber: Istimewa
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, mengatakan eksekutif tidak perlu kembali merevisi pasal yang salah ketik itu. Perbaikan bisa dilakukan di DPR karena draf RUU sudah disetor ke legislatif.
Di balik saltik ini, para pejabat tinggi yang terhormat itu mempertontonkan kerja mereka yang ngawur, serampangan, ceroboh, dan asal. Celakanya, presiden maunya buru-buru. Presiden ingin RUU Ciker ini segera disahkan menjadi UU “sapu jagat”. Jika keinginan-keinginan seperti itu dituruti, kerja DPR pun akan main kebut dan ugal-ugalan. Benar-benar celaka kalau begitu.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar