Ceknricek.com -- Kemampuan ekspor negeri ini masih terbilang letoy. Bagaimana tidak, selama 10 bulan berturut-turut ekspor Indonesia terus tertekan. Pada Senin (16/9), Badan Pusat Statistik atau BPS melansir data terbaru ekspor kita sampai Agustus. Hasilnya sungguh mengecewakan. Ekspor bulan kedelapan itu lebih buruk ketimbang bulan sebelumnya. Bahkan juga di bawah Agustus tahun sebelumnya.
Menurut BPS, nilai ekspor Indonesia pada Agustus adalah US$14,28 miliar. Turun 9,99% secara year-on-year (YoY). Angka ini memperpanjang rekor koreksi ekspor menjadi 10 bulan berturut-turut. Rantai terpanjang sejak Oktober 2014-Juli 2016.
Foto: Istimewa
Bila dibanding bulan lalu, angka ekspor pada Agustus 2019 itu juga lebih buruk. Angka ekspor Agustus menurun 7,6% dibanding Juli 2019, yakni dari US$15.454,2 juta menjadi US$14.280,3 juta.
Foto: Istimewa
Ekspor nonmigas turun 3,20%, dari US$13.846,6 juta menjadi US$13.404,9 juta. Ekspor migas turun lebih tajam lagi, yakni 45,48% dari US$1.605,6 juta menjadi US$875,4 juta. Komposisi ekspor nonmigas sebesar 93,87% dari total keseluruhan nilai ekspor.
Biang kerok turunnya ekspor, menurut Kepada BPS Suhariyanto, karena harga komoditas ekspor utama yang anjlok. Harga batu bara, misalnya, amblas 44% YoY, minyak sawit mentah (CPO) turun 19,42% YoY, dan karet merosot 6,25% YoY.
Baca Juga: HGU Tetap Jadi Rahasia Negara
Ketiga komoditas itu adalah andalan ekspor Indonesia. Sepanjang Januari-Agustus, ekspor bahan bakar mineral (yang sebagian besar adalah batu bara) menyumbang 14,84% dari total ekspor non-migas. Sementara kelompok lemak dan minyak hewan/nabati (yang didominasi CPO) menyumbang 10,69%. Kemudian karet dan barang dari karet berkontribusi 4,07%. Tiga kelompok itu saja sudah mencakup hampir sepertiga ekspor non-migas Tanah Air.
Industri Pengolahan
BPS juga merilis data ekspor Agustus 2019 untuk industri pengolahan yang turun 4,62% secara tahunan (yoy) dan secara bulanan (mtm) turun 2,40%. Nilai ekspor industri pengolahan pada Agustus 2019 sebesar US$11,24 miliar. Penurunan nilai ekspor industri pengolahan disumbang oleh turunnya ekspor peralatan komunikasi lain, juga penurunan ekspor industri pakaian jadi atau konveksi.
Foto: Istimewa
Beberapa komoditas lain yang menurun untuk nonmigas adalah; produk kimia tercatat US$74,5 juta atau 18,53%, karet dan barang dari karet sebesar US$72,8 juta atau 11,74%, mesin dan peralatan listrik sebesar US$69,6 juta atau 8,19%, serta alas kaki US$47,7 juta sebesar 12,08%.
Foto: Istimewa
“Selain industri pengolahan ada beberapa ekspor nonmigas mengalami pertumbuhan yakni perhiasan misalnya permata sampai US$168,8 juta atau 25,31%," ungkap Suhariyanto.
Foto: Istimewa
Selain perhiasan permata, ekspor nonmigas lain yang tumbuh adalah timah sebesar US$42,4 juta atau 64,65%, bahan kimia anorganik sebesar US$39,0 juta atau 55,47%, benda-benda dari besi dan baja US$33,8 juta atau 35,22% serta lemak minyak nabati ataupun hewani sebesar US$16,1 juta atau 1,17%.
Foto: Istimewa
Selama Januari-Agustus 2019, ekspor dari golongan 10 barang memberikan kontribusi 47,82%, terhadap total ekspor nonmigas. Sementara itu dari sisi pertumbuhan ekspor 10 golongan barang turun 9,36% terhadap periode yang sama 2018.
Foto: Istimewa
Neraca Perdagangan
Di sisi lain, BPS mencatat neraca perdagangan Agustus 2019 surplus tipis sebesar US$85,1 juta. Pada Agustus 2019 itu ekspor tercatat US$14,28 miliar, sementara impornya tercatat sebesar US$14,20 miliar.
Foto: Istimewa
Secara kumulatif, pada Januari-Agustus 2019 masih neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar US$1,81 miliar. "Tentu ini tantangan yang harus dipikirkan dengan matang. Meskipun ini bukan upaya yang mudah melihat kondisi internal dan eksternal," ujar Suhariyanto.
Foto: Istimewa
Sebelumnya, Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, mengatakan kinerja perdagangan Indonesia diperkirakan masih akan terganggu pada tahun depan lantaran perang dagang antara AS dan China diprediksi masih akan berlanjut.
Foto: Istimewa
Baca Juga: Perang Dagang AS-China, Buka Peluang Ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam
“Saya rasa perang dagang AS dan China masih sulit berhenti dan eskalasinya justru akan meningkat pada tahun depan. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi kita terutama dalam memacu ekspor,” jelasnya.
Kalangan usaha juga memperkirakan pelemahan kinerja perdagangan RI masih akan terus terjadi hingga akhir tahun ini, sehingga kinerja sektor industri masih belum membaik. Itu sebabnya, Wakil Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Benny Soetrisno, mendesak agar pemerintah segera merelaksasi aturan ekspor, terutama untuk produk manufaktur di tengah kondisi perekonomian global yang masih melambat.
Relaksasi dibutuhkan agar laju ekspor kembali tumbuh dan impor terhadap barang-barang yang produktif, terutama untuk sektor industri kembali pulih.
Foto: Istimewa
Dia mengaku khawatir, laju impor bahan baku penolong dan barang modal yang mulai tumbuh pada Juli, akan kembali terkoreksi pada sisa akhir tahun ini lantaran industri masih kesulitan untuk melakukan ekspor. Pasalnya, menurutnya, saat ini masih terdapat pelaku industri yang belum terlalu yakin untuk berekspansi secara lebih jauh.
Dia juga meminta pemerintah mempercepat pembentukan perjanjian dagang bilateral dan membentuk kesepakatan dagang secara nonformal kepada sejumlah negara mitra dagang baru. Di sisi lain secara jangka pendek, dia menyarankan agar pemerintah menurunkan bunga pembiayaan ekspor yang tergolong masih tinggi.
Baca Juga: Ekspor Nikel: Luhut Mau Mengacak-acak UU?
Tanpa ada terobosan baru dari pemerintah, dia khawatir laju ekspor dan impor Indonesia akan terus melemah hingga akhir tahun. Akibatnya, industri domestik akan turut terkoreksi kinerjanya, sehingga menekan laju pertumbuhan nasional.
Foto: Istimewa
Wakil Ketua Umum Bidang Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Johnny Darmawan, juga mengatakan dengan kondisi perekonomian global yang masih mengalami tekanan, laju pertumbuhan industri dalam negeri belum akan terlalu ekspansif dan sebaik tahun lalu. Dia mengatakan, para pelaku sektor manufaktur RI akan cenderung memanfaatkan pasar domestik terlebih dahulu.
Foto: Istimewa
Alhasil, dia memperkirakan, defisit neraca perdagangan RI masih akan terjadi hingga akhir tahun. Pasalnya, industri dalam negeri akan tetap terus mengimpor bahan baku penolong dan barang modal, hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. “Maka dari itu, saya harap ada terobosan baru dari pemerintah untuk memacu ekspor. Kalau tidak ada terobosan baru, defisit akan terus terjadi karena pasar ekspor terus menyempit dan industri akan terus mengandalkan pasar dalam negeri saja,” jelasnya.
Foto: Istimewa
BACA JUGA: Cek SENI & BUDAYA, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.