Era Apa-apa Mesti Izin   | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
sumber: Okezone

Era Apa-apa Mesti Izin  

Ceknricek.com -- Era kini, adalah era apa-apa mesti izin. Tak hanya majelis taklim. Dagang ecek-ecek di dalam jaringan atau daring juga mesti izin. Usaha mikro kecil dan menengah atau UMKM, jika ingin berjualan di lapak online mesti mengajukan izin dulu. Nggak bisa asal jualan saja. Mulai kini, dagang online tak bisa coba-coba.

Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). PP ini baru saja diteken Presiden Joko Widodo pada 20 November lalu dan mulai berlaku sejak diundangkan 25 November 2019.

Soal aturan bahwa pelapak di toko online wajib memiliki izin usaha tertulis pada pasal 15. Di situ diatur pelaku usaha wajib memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan perdagangan online. Pengajuan izin usaha itu dapat melalui Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS).

Artinya, pelaku usaha atau online shop yang selama ini berjualan di Bukalapak, Tokopedia, Shopee, dan lainnya wajib memiliki izin usaha, yang bisa diakses melalui sistem perizinan berusaha elektronik. "Surat izin usaha ini memang suatu kewajiban," tegas Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto, Sabtu (7/12).

Khusus izin UMKM, Menteri Agus berjanji pemerintah akan memberikan kemudahan. UMKM menjadi prioritas. "Lebih dipermudah dari sebelum-sebelumnya. Jadi tidak perlu khawatir, memang sudah ada formatnya," tambahnya.

Sumber: Gatra

PP itu menyebutkan bahwa PMSE bisa merupakan pelaku usaha, konsumen, pribadi, atau instansi baik di dalam maupun luar negeri. Penyelenggara PMSE seperti Shopee, Bukalapak, Tokopedia, Lazada dan e-commerce lainnya juga diatur dalam PP ini.

PP mewajibkan pelaku usaha memenuhi persyaratan untuk melakukan PMSE. Di antaranya izin usaha, izin teknis, Tanda Daftar Perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kode etik bisnis (business conduct) atau perilaku usaha (code of practices), standardisasi produk barang dan/atau jasa. Kode etik bisnis adalah aturan etis untuk melakukan perdagangan secara jujur dan menjunjung semangat kompetisi yang sehat, baik yang berlaku internal maupun eksternal.

Pukul Rata

Ketua Umum Indonesia e-Commerce Association (idEA), Ignatius Untung, mempertanyakan apakah mereka yang baru mencoba berjualan dengan menawarkan 1-2 produk di e-commerce harus memiliki izin usaha?

Sumber: Istimewa

Baca Juga: Tarik Ulur Pajak E-commerce

Pemerintah harus mengklasifikasikan dahulu dari pelaku usaha online itu sendiri. Karena, pelaku usaha dalam e-commerce belum dikategorikan secara spesifik. "Jika ada orang yang mendapatkan hadiah, katakanlah itu sebuah hape (ponsel), lalu ia jual di e-commerce, apakah mereka harus mendaftarkan izin usaha," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (5/12).

Ignatius menjelaskan, dampak dari peraturan itu untuk pelaku usaha yang menjajakan barangnya di e-commerce bisa jadi akan berpindah platform ke sosial media. "Yang nggak mau ikut bisa mundur atau kabur ke sosmed," ujarnya.

Tujuan pemerintah memberlakukan peraturan PMSE itu sendiri, pada dasarnya ingin mengetahui seberapa besar pelaku usaha yang menjajakan barangnya di e-commerce. "Kalau orang jualan yang tidak punya izin kan bisa kita merasa dirugikan karena bisa saja orang asing yang menjalankan. Ini kan juga tidak baik untuk usaha kita," kata Menteri Agus.

Jika begitu adanya, Ignatius menyarankan kebijakan perdagangan online ini harusnya dipukul rata saja. Bukan hanya pada platform e-commerce namun juga di sosmed seperti Facebook atau Instagram. Ia mengatakan kalau itu tidak terjadi maka tujuan dari peraturan PMSE tidak akan terealisasikan. "Pada akhirnya pemerintah nggak dapet data kalau itu terjadi," tambahnya.

Pelaku Usaha Luar Negeri

PP Nomor 80 Tahun 2019 ini memuat 19 bab dan 82 pasal. Regulasi ini juga memberi payung hukum bagi konsumen untuk mengadukan perdagangan melalui sistem elektronik ke Mendag jika merasa dirugikan. Hal itu tertuang dalam Pasal 18. “Dalam hal PMSE merugikan konsumen, konsumen dapat melaporkan kerugian yang diderita kepada Menteri," demikian bunyi Pasal 18 Ayat 1. PMSE yang dilaporkan konsumen harus menyelesaikan pelaporan. Jika tidak, mereka akan masuk dalam daftar prioritas pengawasan pemerintah.

Sumber: Istimewa

PP ini juga mengatur mengenai definisi pelaku usaha luar negeri yang berjualan daring alias pelapak e-commerce asing. Pelaku usaha luar negeri pada perdagangan melalui sistem elektronik meliputi pedagang luar negeri, penyelenggara, dan penyelenggara sarana perantara luar negeri.

Pada pasal 7, tertulis bahwa pelaku usaha luar negeri yang secara aktif berjualan secara elektronik kepada konsumen di wilayah Indonesia, serta memenuhi kriteria tertentu, dianggap telah memenuhi kehadiran secara fisik (physical presence) dan melakukan kegiatan usaha di wilayah Indonesia. 

Kriteria tersebut mengacu pada kehadiran ekonomi secara signifikan alias significant economic presence, antara lain jumlah transaksi, nilai transaksi, jumlah paket pengiriman, dan/atau jumlah trafik atau pengakses.

Sumber: Tempo

Dengan demikian, PMSE luar negeri yang memenuhi kriteria significant economic presence tersebut wajib menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia yang dapat bertindak sebagai dan atas nama pelaku usaha luar negeri tersebut.

Baca Juga: Survei MarkPlus, Inc: Rata-rata Perempuan Indonesia 1-2 Jam Belanja Lewat E-commerce

Ketentuan mengenai penunjukan perwakilan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada, demikian diatur dalam pasal 7 ayat 4. 

Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tertentu significant economic presence tersebut bakal diatur lebih rinci melalui peraturan menteri. Menteri yang dirujuk dalam PP ini ialah Menteri Perdagangan. 

Perpajakan

Selanjutnya, pada pasal 8 dinyatakan bahwa terhadap kegiatan usaha PMSE, berlaku ketentuan dan mekanisme perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) diatur mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi maupun badan asing yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatannya di Tanah Air.

BUT menjadi salah satu subjek pajak penghasilan. Dalam regulasi itu, BUT berupa kehadiran fisik yang dapat meliputi cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, gudang, ruang promosi dan penjualan, pertambangan atau wilayah kerja pertambangan, hingga keberadaan orang atau badan selaku agen atau pegawai dari perusahaan asing tersebut. 

Hal tersebut sebelumnya juga telah dinyatakan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Pemerintah akan segera mengubah definisi BUT menjadi berdasarkan significant economic presence sebagai landasan pemajakan untuk kegiatan usaha elektronik.

Sumber: Jawa Pos

Menteri Sri juga pernah menegaskan bahwa ketentuan pajak yang berlaku untuk penjual melalui sistem elektronik tersebut sama dengan aturan pajak yang telah berlaku di Indonesia. “Tujuannya persamaan level playing field atas pelaku usaha dan transaksi perdagangan konvensional dan elektronik, jadi tarif pajaknya pun tetap sama dengan yang sudah ada,” katanya.

Naik Kelas

Sejumlah marketplace mengingatkan agar PP ini tidak menghambat UMKM naik kelas. Pemerintah hendaknya mempertimbangkan kembali aturan yang tidak sejalan dengan upaya mendorong kemudahan berbisnis dan pertumbuhan UMKM baru. “Aturan ini tidak sejalan dengan visi Republik Indonesia untuk mendorong kemudahan berbisnis dan pertumbuhan UMKM baru,” kata Vice President of Corporate Communications Tokopedia, Nuraini Razak.

Nuraini Razak. Sumber: Media Indonesia

Baca Juga: Perempuan dan Revolusi Digital

Hanya saja, Head of Legal and Regulatory Blibli.com, Yudhi Pramono, menjelaskan perusahaannya sudah menerapkan sistem kurasi atau proses Know Your Customer (KYC) untuk para mitra penjual yang telah dan akan berjualan di Blibli.com.

Para merchant wajib memiliki syarat kelengkapan dokumen seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan surat izin usaha jika ada. Blibli.com sudah memenuhi beberapa syarat sebagaimana diatur dalam PP e-commerce tersebut.

Menurut Yudhi, regulasi anyar itu memperjelas hubungan hukum privat dalam proses PMSE. “PP ini juga mengatur pelaku usaha di luar negeri yang aktif melakukan penawaran atau penjualan kepada konsumen di Indonesia,” katanya, seperti dikutip Katadata, Kamis (5/12). 

Kementerian Perdagangan berjanji akan menggelar sosialisasi PP Nomor 80 Tahun 2019 ini pada tanggal 9 Desember 2019 mendatang.

Pastinya, PP ini jelas bakal merepotkan. Di sisi lain, sejauh ini belum ada edukasi terhadap UMKM mengenai hal ini. Edukasi penting soalnya background pelaku usaha online datang dari berbagai kalangan. Jumlah pelapak di marketplace tidak sedikit. Jutaan. Bukalapak saja mengklaim memiliki 5 juta merchant dengan 2 juta transaksi per hari.

Selama ini, lantaran kemudahan dalam berbisnis online, pengusaha yang awalnya sampingan atau coba-coba, akhirnya bisa jadi usaha serius dan kemudian memiliki izin.

Perusahaan e-commerce yang model bisnisnya Consumer to Consumer (CtoC) pun harus melakukan penyesuaian terkait verifikasi pedagang. Sebab, hanya mitra skala besar dan memiliki izin yang diperbolehkan. Ini jelas tidak sejalan dengan misi mendorong pemerataan ekonomi secara digital, termasuk mendorong lahirnya bisnis baru di seluruh Indonesia.

Anehnya, PP tersebut tidak memuat informasi yang jelas terkait platform apa saja yang diatur seperti e-commerce, media sosial, atau aplikasi percakapan. Padahal masyarakat menggunakan ketiga platform ini untuk berjualan. Selain itu, tidak ada kejelasan terkait tata cara penegakkan aturan ini terhadap platform media sosial dan aplikasi percakapan.  Di kedua platform ini banyak berisi transaksi informal, tidak termediasi, dan rentan akan penipuan.

BACA JUGA: Cek Berita AKTIVITAS PRESIDEN, Informasi Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini. 



Berita Terkait