Impor Biji Kakao Tanpa Bea Masuk? | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Ilustrasi: Sauki/Ceknricek.com

Impor Biji Kakao Tanpa Bea Masuk?

Ceknricek.com -- Industri pengolah biji kakao menghadapi masalah. Bahan baku yang mereka harapkan bisa dibeli dari petani di dalam negeri tidak mencukupi. Kementerian Perindustrian mencatat Indonesia memiliki 20 pabrik pengolah biji kakao dengan total kapasitas 747.000 ton per tahun. Hanya saja, ada 9 pabrik yang tidak bisa beroperasi karena kesulitan bahan baku. Lantaran masalah bahan baku inilah, pada 2018, utilitas pabrik pengolah kakao tersebut baru mencapai 59%.

Di sisi lain, Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo) menyebut produksi biji kakao Indonesia hanya berkisar 350.000 ton per tahun. Pada tahun 2017 bahkan hanya sebanyak 300.000 ton. Tiap tahun produksi biji kakao meningkat karena ada peremajaan lahan kakao. Namun, tetap saja tak mampu mengejar kebutuhan pabrik. 

Lantaran itu, kalangan industri pengolah kakao perlu mengimpor biji kakao untuk menutup kekurangan bahan baku di dalam negeri. Impor dilakukan dari Pantai Gading, Ghana, Ekuador, Nigeria, dan Kamerun. Masalahnya, impor kakao menjadi tidak murah karena mesti membayar bea masuk 5%. Harga bahan baku yang mahal menjadikan produk kakao Indonesia tidak bisa bersaing di pasar internasional. Nah, karena itu mereka mengusulkan penurunan bea masuk menjadi 1%. 

Komite Tetap Agribisnis Kadin, Suharyo Husen, mengingatkan bea masuk atas impor biji kakao 5% terlalu tinggi dibanding negara importir lain di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura. "Kami mengajukan penurunan bea masuk impor atas biji kakao dari 5% menjadi 1% dengan tetap memperhatikan petani dalam negeri," katanya, Rabu (4/9).

Sumber: Bisnis.com

Baca Juga: Bawang Putih: Belajarlah ke Negeri China

Persoalannya, jika keinginan kalangan pabrikan itu dituruti, maka akan mengorbankan petani kakao. Indonesia adalah produsen biji kakao terbesar keenam di dunia. Jika produk impor bebas masuk ke Indonesia dengan bea masuk terlalu rendah maka kakao impor akan menghajar kakao lokal. Harga kakao bisa hancur. Jika itu terjadi petani akan enggan merawat kebun kakaonya. Ujung-ujungnya Indonesia akan tergantung biji kakao impor. 

Di sinilah perlunya dicari jalan yang adil dan menguntungkan. Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo), Dwi Atmoko Setiono, menyebut perlu adanya win-win solution menyelesaikan masalah tersebut. "Gimana kita memberdayakan petani untuk mau merawat kakao agar dapat berproduksi lebih banyak lagi. Idealnya per hektare itu, menurut Puslitkoka, bisa membuat 2 ton, tapi Indonesia sampai sekarang 400-500 kg," katanya.

Kerja Sama Bilateral 

Di sisi lain, Dwi Atmoko berharap pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk komoditas perkebunan sebesar 10% kalau bisa juga dihapus karena berdampak pada penerimaan petani. "Pengenaan PPN 10% sudah sejak lama diharapkan dihapus karena dampaknya pada 10% penghasilan petani," ujarnya.

Menteri Perindustrian (Menperin), Airlangga Hartarto, lebih ekstrim lagi. Selain mengusulkan pembebasan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor biji kakao, dia mengusulkan bea masuk impor biji kakao 0%. "PPN tidak dihapus, tetapi tarifnya nol. Ini diharapkan bisa mendorong daya saing industri, karena di dalam era free trade ini dengan negara-negara ASEAN sudah nol tarifnya," tuturnya, Selasa (17/9).

Kumparan.com

Baca Juga: Ekspor Tertekan, Defisit Kian Menghimpit

Menurut Dwi Atmoko, bea masuk dulu diterapkan saat Indonesia mampu memproduksi biji kakao sekitar 600 ribu ton. “Sekarang turun sehingga ada impor," ujarnya.

Erlangga berharap ke depannya utilisasi produksi industri pengolahan kakao dapat ditingkatkan sampai dengan 80% dengan potensi nilai ekspor menembus US$1,38 miliar. Selain itu, Kemenperin juga tengah menjalin kerja sama bilateral dengan Ghana untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan baku.

Pada tahun 2018, produk olahan kakao sekitar 85% diekspor, atau sebanyak 328.329 ton. Devisa yang dihasilkan US$1,13 miliar, sedangkan produk kakao olahan yang dipasarkan di dalam negeri sebesar 58.341 ton (15%).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor kakao per Januari-Maret 2019 mengalami penurunan 63% secara year on year di 2018. Hal ini dianggap menjadi indikasi anjloknya pasokan biji kakao dalam negeri. 

Terbesar Ketiga

Kondisi komoditas kakao di Indonesia meningkat dari segi tren konsumsi dan tren industri. Posisi Indonesia sebagai negara pengolah kakao sekarang ini sudah berada di posisi ke tiga setelah Belanda dan Amerika Serikat (AS).

Kehadiran perusahaan cokelat besar dunia seperti Mars dan Cargill mendongkrak Indonesia menjadi pengelola kakao terbesar ketiga. Total produksi kakao olahan di Indonesia sekarang berada di antara 450 ribu ton sampai 500 ribu ton per tahun. Sebanyak 20% berasal dari perusahaan lokal. 

Sumber: Confectionery News

Selama delapan tahun terakhir ekspor produk kakao meningkat pesat. Ekspor produk olahan kakao tercatat mengalami pertumbuhan 83,4% dari 178.951 ton pada 2010 menjadi 328.359 ton dengan nilai US$1,12 miliar. Ekspor olahan kakao Indonesia didominasi dengan produk intermediate seperti cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder.

Sumber: Hunt Executive Search 

Baca Juga: Musibah Berulang Kebakaran Hutan

Sementara untuk bahan baku, ekspor biji kakao selama 8 tahun terakhir cenderung menurun. Pada tahun 2010, Indonesia pernah mencatatkan ekspor biji kakao sebanyak 432.437 ton. Namun angka tersebut turun drastis menjadi 27.827 ton pada 2018 lalu. Kondisi ini diiringi dengan meningkatnya serapan industri dalam negeri yang pada 2010 memiliki kapasitas terpasang sebesar 360.000 ton per tahun pada 2010 menjadi 747.000 ton pada 2017.

Hanya saja, beberapa tahun terakhir ada tren menurun dari sisi produksi. Masalahnya adalah tanaman kakao yang sudah tua. Ini karena rata-rata ditanam dari tahun 1980. Perlu adanya proses peremajaan dengan mengganti bibit tanaman baru.

Senasib dengan Gula dan Garam

Kembali ke soal usulan penurunan bea masuk impor biji kakao. Bagi petani, usul para industriawan ini jelas mengagetkan. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebut kakao bisa bernasib serupa dengan gula dan garam yang diserbu impor jika keinginan pengusaha dituruti. "Akhirnya nanti pemain di hulu semakin berkurang, ketergantungan impornya akan semakin meningkat, defisit perdagangan kita yang justru di momen seperti sekarang maunya ditekan ini malah memperlebar defisit perdagangan," katanya, Rabu (18/9). 

Pemerintah dianggap terlalu memanjakan para pengusaha industri, dan abai terhadap petani dalam negeri. Membebaskan bea masuk impor kakao tentu akan menghancurkan harga kakao di tingkat petani. "Sebagian dari petani kakao ini berada di tingkat kemiskinan yang masih tinggi," imbuhnya. 

Sumber:  Asosiasi Kakao Indonesia

Strategi yang dilakukan pemerintah juga dinilai buruk sebab hanya mengandalkan "jalan pintas". Padahal, melalui koordinasi di tingkat kementerian masalah kurangnya pasokan bisa diselesaikan. Misalnya koordinasi antara kementerian perdagangan dan pertanian untuk memastikan kecukupan pasokan dalam negeri menggunakan kakao lokal. 

"Sebaiknya perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang cokelat, makanan dan minuman itu lebih banyak menggandeng para petani dengan program kemitraan. Sehingga luas lahan dan produksi kakao itu bisa jadi pasokan bukan dengan jalan pendek dengan melakukan impor. Kan lucunya Indonesia, adalah negara yang dulu penghasil kakao yang cukup besar," terangnya. 

Arie Nauvel dari Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) mengemukakan penurunan bea masuk biji kakao sah-sah saja dengan catatan dilakukan pada periode yang jelas. "Kita tetap harus menghadirkan lingkungan yang mendukung kegiatan kebun sehingga sektor hulu merasa diprioritaskan juga. Perlu dipastikan penurunan tarif masuk sementara ini berapa lama," katanya.

Sumber: karebanusa.com

Arie memperkirakan penurunan bea masuk yang berlaku selama 3 tahun merupakan rentang yang ideal. Hal ini menyusul rencana jangka menengah pemerintah untuk meningkatkan produktivitas lewat intensifikasi dan pengadaan bibit unggul melalui program BUN500.

Jadi, penurunan bea masuk impor biji kakao bisa dilakukan, namun dalam periode yang jelas demi menjamin sektor hulu dalam negeri selaku penyedia bahan baku tetap kondusif meski terdapat biji kakao impor. Di samping itu, perlu disadari bahwa program kemitraan, merupakan langkah tercepat yang bisa dilakukan pemerintah dibanding impor kakao.

BACA JUGA: Cek HUKUM, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait