Ceknricek.com -- Bumi Manusia dan Segala Derita yang Menyertainya.
Saya sadar. Saya bukan sutradara terbaik, jenius, intelek sebagaimana kritikus, budayawan, dan sejarawan yang dengan lantang mengkritik karya-karya saya sebelumnya. Faktanya HB Naveen menyerahkan kepercayaan kepada saya. Bukan kepada yang lain. Saya sempat bertanya kepada diri saya. Kenapa sekarang? Kenapa tidak dulu? Kenapa Pram harus menolak saya terlebih dahulu yang mana pada akhirnya toh novel ini jatuh ke tangan saya?
Hanya Tuhan yang bisa menjawab.
Sejak awal saya katakan, Bumi Manusia adalah novel yang saya cintai dan kagumi. Lewat novel ini saya jadi mengerti, peristiwa malam 1 Oktober di tahun 1965 bukan sebuah peristiwa hitam putih sebagaimana yang diceritakan Ibu saya. Tapi sebuah peristiwa tragedi kemanusiaan yang tidak hanya mengorbankan 7 jenderal di Lubang Buaya. Tapi juga ribuan bahkan ratusan ribu manusia yang dibantai dan dipenjara tanpa proses peradilan. Salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer.
Sumber: twitter @minuru
Ketika novel ini difilmkan, oleh siapapun, saya orang pertama yang akan berharap apa yang tergambar di layar HARUS sesuai dengan apa yang saya imajinasikan. Kalau perlu berikut kepedihan sang penulis yang turut menyertainya. Jadi, sebelum film ini berhadapan dengan para penggemarnya di bioskop, film ini akan berhadapan dengan diri saya sendiri. SAYA melawan SAYA.
Baca Juga: Kenapa Film "Bumi Manusia" Harus Saya? (Bagian 1)
Agar saya berjarak, saya meminta Salman Aristo, penulis Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, dan Sang Penari; juga seorang sutradara atas film Jakarta Maghrib dan Suatu Hari Nanti, untuk menuliskan skenario Bumi Manusia.
Aris mentransformasi Bumi Manusia ke dalam skrip menjadi 200 halaman dengan 129 scene dengan fokus penceritaan pada Minke.
Pada saat saya membacanya, sejujurnya saya merasakan banyak momen yang hilang dalam novel. Tentang siapa Jean Marais, sahabat sekaligus guru Minke soal hidup. Lalu Robert Suurhoff si pengecut Indo, bocah Sanikem yang dijual bapaknya, Babah Ah Tjong dan Maiko si pembunuh Herman Mellema.
"Kenapa semua itu hilang ya, Ris?," tanya saya
"Mau berapa jam film kita? Apa yang gue tulis ini kalau di filmkan bisa jadi 4 jam," jawab Aris.
Saya memutar otak. Saya bisa merasakan bagaimana reaksi pecinta Novel Bumi Manusia di bioskop? Mereka akan kehilangan.
Kemudian saya mengusulkan ke Pak HB Naveen agar film Bumi Manusia menjadi 2 bagian. Bumi Manusia part 1, Bumi Manusia part 2. Sebagai produser yang pengalaman membuat film sekuel seperti. Warkop DKI Reborn 1 dan 2, Pak Naveen tidak setuju. Bumi Manusia harus menjadi master piece.
Baca Juga: Kenapa Film "Bumi Manusia" Harus Saya? (Bagian 2)
"Akan banyak scene yang hilang dan disederhanakan," kata saya menyanggah pendapat beliau.
"Itu konsekuensi alih medium dari teks ke film. Saya pikir semua akan menyadari itu. Yang terpenting dari semua ini kita tidak boleh menghilangkan spirit besarnya. Yaitu bagaimana sebagai bangsa yang tertindas kita tetap berupaya menjadi manusia modern dan setara dengan bangsa lain. Kalau film ini disambut penonton sebagaimana Warkop dan Dilan 1990, maka kita bisa membuat spin off-nya. Kisah Jean Marais sebagai mantan legium Belanda berasal dari Perancis bisa kita filmkan. Juga kisah Sanikem, Maiko si Geisha, Suurhoff. Bumi Manusia bisa menjadi universe seperti Star Wars, Marvel maupun DC. Kita harus membuat film ini laris di pasaran."
Sumber: twitter @minuru
Melihat alasan itu, akhirnya skenario diputuskan untuk dieksekusi.
Ratusan pasang kostum mulai dibuat oleh Retno Ratih Damayanti (Sang Pencerah, Soekarno, Cokroaminoto, Kartini). Lahan seluas 2,5 hektar mulai dibangun kota Surabaya dan Buitenzorg oleh Alan Sebastian (Art Director Sang Pencerah, Sugija, Cokroaminoto, Soekarno dan Kartini ). Puluhan properti disiapkan termasuk kereta kuda Nyai Ontosoroh. Ratusan pemain termasuk pemain Belanda kita casting. Tidak hanya di Jakarta dan Yogyakarta, juga di Bali hingga Amsterdam. Seluruh kerabat kerja produksi film berusaha memenuhi ekspektasi pembaca novel. Ekspektasi saya. Fans dari Novel Bumi Manusia.
Dari segala kerumitan, kompleksitas produksi, saya, Salman Aristo, Produser HB Naveen dan Frederica telah sepakat, film ini berangkat dari sudut pandang Minke. Si anak remaja pribumi murid HBS, anak bupati. Sosok yang membuat saya ketika remaja selalu bercita-cita menjadi dirinya. Pintar. Pembangkang sekaligus pecinta perempuan.
Casting pun mulai dibuka. Siapakah aktor Indonesia usia 19 tahun, memiliki kemampuan 4 bahasa; Inggris, Prancis, Indonesia, Belanda sekaligus. Pembaca karya Shakespeare, Multatuli, mengenal konsep pemikiran Asosiasi Snouck Hurgonje, mengenal kisah Roman Sampek Eng Tai dan Sin Djie Kwie? Jawabannya, TIDAK ADA!
Kami mengundang aktor remaja usia 19 tahun yang biasa main Sinetron dan Film-Film remaja Indonesia. Dari semuanya, jangankan tahu siapa Multatuli, bahkan novel Bumi Manusia dan Pramoedya Ananta Toer sendiri mereka tidak pernah tahu.
Satu-satunya aktor yang kami temui di Indonesia, yang juga pembaca Shakespeare, Multatuli, dan berkemampuan Bahasa asing secara bagus dan pernah berlakon di film-film garapan HBO, peraih Piala Citra sebagai Aktor Terbaik lebih dari 2 kali hanyalah Reza Rahadian. Dalam kiprahnya, Reza bahkan pernah memainkan sosok Minke dalam sebuah pementasan Bunga Penutup Abad. Seorang pemain watak yang tak diragukan lagi kemampuan aktingnya. Tapi, sayangnya Reza bukan anak muda usia 19 tahun.
Setelah 2 bulan mencari, kami menemukan dua nama anak muda yang kami anggap punya kapasitas menjadi Minke. Dia adalah Emir Mahira dan Iqbal Ramadhan. Kedua remaja itu bersekolah di luar negeri. Emir di Amerika, Iqbal di Kanada. Keduanya bukan lahir dari sanggar teater atau sekolah teater sebagaimana Reza Rahadian. Meski demikian, keduanya pernah bermain film layar lebar yang box office di Indonesia. Emir Mahira bermain di film Garuda di Dadaku produksi SBO Films. Iqbal Ramadhan bermain di Dilan 1990 produksi Falcon Pictures. Keduanya memiliki umur dan raut wajah yang sama
Pertemuan pertama dengan Iqbal Ramadhan terjadi ketika Dilan 1990 sukses di pasaran. Sebagai anak muda yang sudah memiliki fans 6 juta penonton, Iqbal datang dengan gayanya yang penuh percaya diri. Saya sangat mengenal lagak aktor-aktor muda dengan banyak fans macam Iqbal. Seorang yang sudah merasa puas diri. Paling jago akting. Meski kemampuan sebenarnya masih jauh dari semua itu.
Ketika saya tanya pertama kali tentang Bumi Manusia, saya terkejut dengan jawabannya.
"Saya tidak hanya baca Bumi Manusia Om. Tapi meresensinya dalam Bahasa Inggris," jawab Iqbal percaya diri.
"Kok bisa?," tanya saya mendesak.
"Guru saya di Canada meminta seluruh murid di kelasnya untuk memilih satu karya sastra dunia untuk diresensi. Saya memilih Bumi Manusia."
"Kenapa?"
"Sebenarnya ada banyak novel sih yang diberikan Mama dan Papa ke saya. Seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Siti Nurbaya, Salah Asuhan. Tapi saya memilih Bumi Manusia".
"Kenapa?"
Saya terus mendesak. Sejujurnya saya ingin memperoleh jawaban yang esensial, dimana jawaban tersebut mampu membuat hati saya bangga. Membuat saya bisa percay, dari ribuan aktor muda Indonesia ada seorang yang sangat mengenal Pramoedya lengkap dengan segala deritanya. Hampir saja saya memeluk pemuda di hadapan saya itu dan menangis terharu atas segala kecerdasasnnya jika dia mampu memberikan jawaban se-intelek itu.
Ketika sekali lagi saya tanya untuk kesekian kalinya, "kenapa kamu memilih Bumi Manusia dan bukan novel lainnya?".
Iqbal si Dilan itu menjawab dengan ringan, "judulnya lucu sih, Om."
Iqbal. Sumber: Liputan6
Alih-alih memeluknya dengan bangga, saya justru ingin menampar wajah tengilnya sambil menyumpahinya dengan kalimat, "hei, kid! Bisa-bisanya lo bilang lucu! Emang lo pikir ini novel cupu apa? Lo nggak tau ya? Kalo Bumi Manusia ini ditulis di pembuangan. Di Pulau Buru. Oleh seorang penulis yang selama 10 tahun dipenjara tanpa proses peradilan dan separuh hidupnya menjalani hari-hari dalam stigma masyarakat dan negara sebagai penghianat bangsa. Kok Lo bisa-bisanya dengan gampangnya mengatakan lucu untuk sebuah karya yang ditulis secara berdarah-darah, hingga ada orang yang dipenjara 8 tahun hanya karena menjual bukunya."
Tapi rupanya seluruh sumpah serapah saya kepadanya harus batal saya lontarkan karena saya teringat akan umur anak muda ini yang masih sangat belia. 19 tahun. Umur yang ketika saya membaca Bumi Manusia pertama kalinya di masa SMA, belumlah lahir di muka bumi.
Lalu apa hak saya membebani anak sebelia ini dengan segala penderitaan yang pernah melatari proses kreatif Bumi Manusia? Dosa apakah dia? Salahkah ketika anak-anak muda seusia Iqbal mengenal Bumi Manusia dan Pramoedya dengan caranya yang riang, fun, sambil selfie, lalu menguploadnya dalam Insta-story dengan segala atribut emoticon di dalamnya?
Mendadak saya jadi berpikir.
Siapakah sebenarnya Minke? Adakah sosok aslinya? (Bersambung)
BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.