Kepakan Sayap Si Burung Merak WS Rendra | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Tribunnews

Kepakan Sayap Si Burung Merak WS Rendra

Ceknricek.com -- Hari ini, 84 tahun yang lalu, tepatnya pada 7 November 1935, WS Rendra, seorang penyair besar Indonesia lahir di Solo, Jawa Tengah. Kelak ia dikenal sebagai seniman dan sastrawan besar berjuluk Si Burung Merak.

Setelah satu dekade lewat sejak kematiannya pun, karya-karyanya masih sering dipentaskan, salah satunya Panembahan Reso, karya masterpiece-nya dalam teater yang akan dipentaskan di Ciputra Artpreneur Jakarta pada awal tahun 2020.

Masa Kecil Sang Kawindra

“Dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno), Kawindra adalah Penyair Besar, atau lebih jauh Kawindra adalah Raja Pujangga. Dengan rasa hormat yang sepatutnya, mohon izin, saya akan menyebut WS Rendra sebagai Kawindra.”

Demikianlah pembukaan orasi sastra yang disampaikan oleh Remy Sylado dalam Napak Tilas sastra WS Rendra di Taman Ismail Marzuki pada 2013, dengan tajuk Kawindra Wafat, Hidup Kawindra. Tak dimungkiri memang, dalam khazanah sejarah Sastra Indonesia mencatat nama WS Rendra sebagai salah satu begawan sekaligus penyair besar dengan pengaruhnya di bidang kesenian baik sastra dan teater indonesia modern.

Baca Juga: Abdul Hadi WM, Sang Penyair Sufi

Willibrordus Surendra Broto Rendra lahir dari pasangan Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Jawa, sedangkan sang ibu adalah penari serimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat. 

Dilihat dari nama-nama ini, sebut Harlina Indijati dan Abdul Murad dikutip dalam biografi Pengarang Rendra dan Karyanya (1996), dapat ditebak keluarga ini adalah keluarga Katolik yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa. Tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga yang memiliki kedekatan terhadap seni dan budaya, tak Rendra akhirnya menjelma sebagai sosok seniman ulung yang menghasilkan seabrek karya meliputi sajak, puisi, cerpen, naskah drama dan yang lain selama hidupnya.

Puisi pertama Rendra sendiri yang berjudul Ada Tilgram Tiba Senja ia buat ketika masih remaja dan sering menghabiskan waktu diluar rumah sehingga membuatnya diusir oleh sang ayah. Ia kemudian mendapat telegram dari ibunya setelah seminggu tidak pulang. 

Sumber: Wattpad

Baca Juga: Nyanyi Sunyi Penyair Amir Hamzah

Jika telegram itu datang dari ayahnya, Rendra mungkin tidak akan pulang. Rendra terpaksa pulang karena telegram itu dari ibunya, yang pada saat itu menginap di rumah D.S. Mulyanto. Di rumah teman karibnya ini, Rendra kemudian juga berhasil membuat naskah drama Orang-Orang di Tikungan Jalan dan mendapat hadiah pertama dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta.

Penghargaan inilah nantinya yang membakar semangat Rendra untuk terus menghasilkan karya dan fokus menjalani hidup sebagai seniman.

Awal Mula Panggilan Burung Merak

Pada tahun 1967, sepulangnya Rendra dari Amerika Serikat untuk mendalami pendidikan di bidang drama dan penyutradaraan, Rendra lalu membentuk kelompok teater di Yogyakarta dengan nama Bengkel Teater Rendra. Di kota Gudeg inilah, Rendra menuangkan segala bentuk proses kreativitasnya dan kelak membawa bentuk perubahan dalam lanskap perteateran modern di Indonesia tatkala membawakan Teater Minikata.

Teater Minikata sendiri merupakan seni pertunjukan teater yang sedikit sekali menggunakan dialog. Istilah itu dilontarkan oleh Gunawan Mohammad dalam menanggapi pementasan teater Rendra (1968), Bip Bop dan Rambate-Rate Rata.

Sumber: Istimewa

Suatu hari, Rendra dan sahabatnya yang berasal dari Australia mengunjungi kebun binatang Gembira Loka di Yogyakarta untuk sekadar berekreasi. Ketika mereka tiba di kandang burung merak, terlihatlah seekor merak jantan yang dikerubungi tiga betina merak yang lain. Dengan spontan rendra pun berkata, “Seperti itulah saya”.

Dari sinilah kemudian julukan Si Burung Merak amat lekat dengan sosok Rendra yang memang dikenal sebagai pujangga yang memiliki lebih dari satu istri, yakni, Sunarti Suwandi, Sitoresmi Prabuningrat, dan Ken Zuraida.

Sumber: Istimewa

Baca Juga: Mengenang Penyair Seribu Tahun, Chairil Anwar

Rendra pun selama hidupnya juga dikenal sebagai budayawan yang kritis dalam menghayati persoalan-persoalan sosial di Indonesia. Di era Orde baru kritik-kritik tajamnya lewat media seni teater memang sering membuat panas kuping penguasa lewat pementasan drama Mastodon dan Burung KondorKisah perjuangan Suku NagaPanembahan Reso dan lain sebagainya.

Tidak hanya, dalam rangkaian puisinya, Rendra juga dengan tangkas memotret kehidupan sosial seperti dalam karyanya Potret Pembangunan dalam PuisiOrang-Orang Rangkas BitungBersatulah Pelacur-pelacur Kota JakartaSajak Sebatang Lisong dan masih banyak lagi.

Sumber: Istimewa

Selain itu, Rendra juga menerjemahkan karya sastra dari banyak tokoh besar dunia, seperti Hamlet dan Macbeth karya William Shakespeare, lalu Oedipus Rex, Oedipus di Kolonus, dan Antigone karya Sophokles, juga Lysistrata karya Aristophanes, seorang dramawan klasik asal Yunani. 

Si Burung Merak Terbang Selamanya

Tahun 2008 Rendra memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari UGM. Karya-karyanya dianggap berpengaruh dalam khasanah sastra di Indonesia. Rendra juga dikenal konsisten dalam berkarya sehingga berkat ketelatenannya itulah karya-karya sastra yang besar muncul.

Sumber: nusantaranews

Meskipun demikian, gelar tersebut tak membuat seniman yang akrab dipanggil dengan sebutan Mas Willy ini merasa sebagai seorang akademisi dengan segudang penemuan. Dirinya pun tidak berniat mengajar di bangku perkuliahan yang sempat menjadi almamaternya. 

Baca Juga: Mengenang Sitor Situmorang, Sang Penyair Pengelana

"Saya senang sekali karena dasarnya pemberian gelar HC ini dari almamater. Besok dengarkan saja pidato saya," ungkap Rendra dikutip dari situs Universitas Gadjah Mada.

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, diantaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.

Prof. A. Teeuw, dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri. 

Iwan fals, Rendra, dan Sawung Jabo. Sumber: Istimewa

Kurang lebih setahun setelah menerima gelar dari UGM itu, tepatnya tanggal 6 Agustus 2009 di Depok, Jawa Barat, WS Rendra menutup mata untuk selama-lamanya. Si Burung Merak, penyair sekaligus begawan teater Indonesia itu wafat dalam usia 73 tahun dan terbang selamanya ke langit.

“Memang, di sanalah istimewanya Rendra, selain Kawindra, Rendra adalah Agramanggala, dalam bahasa Kawi Agramanggala adalah pemimpin paling unggul,” tutup Remy Sylado dalam orasi sastranya. 

BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.


Editor: Thomas Rizal


Berita Terkait