Ceknricek.com -- “Cahaya bulan menenggelamkan semua, kecuali bintang-bintang paling terang”. Salah satu dialog dalam The Lord of the Ring itu seperti mewakili penulisnya, Tolkien, yang meninggal akibat pendarahan lambung dan infeksi dada pada usia 81 tahun.
Tepat pada tanggal hari ini, 46 tahun silam, 2 September 1973, penulis masyhur asal Britania Raya tersebut mengembuskan nafas terakhir. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman Wolvercote, Oxford.
Sebagaimana untaian kalimat yang ia ungkapkan, setelah kematiannya, karya-karyanya semakin menuai popularitas dan seringkali dipilih sebagai buku yang paling dicintai sepanjang masa.
Masa Kecil Tolkien
John Ronald Reuel Tolkien atau JRR Tolkien lahir pada 3 Januari 1892 di Bloemfontein, Afrika Selatan dari pasangan Arthur Reuel Tolkien dan Mabel Suffield Tokien. Setelah tiga tahun di sana, Arthur, sang ayah meninggal akibat demam rematik (RF) yang kemudian membuat istrinya membawa Tolkien Jr kembali ke Inggris.
Tolkien bersama Hillary sang adik. Sumber: Wikipedia
Di Inggris, Tolkien, ibunya, dan sang adik, Hillary kemudian tinggal bersama kakek neneknya di Kings Heath Birmingham. Tahun 1896, keluarga itu pindah ke Sarehole, kemudian ke desa Worcestershire. Di desa inilah kelak banyak orang menganggapnya sebagai inspirasi dasar Shire di Lord of The Rings.
Semasa kecil, Tolkien dan adiknya mendapat pendidikan langsung dari ibunya, Mabel, yang mengajari Botani dan Bahasa Latin. Pada usia empat tahun, Tolkien sudah dapat membaca dan menulis dengan baik hingga diizinkan ibunya untuk membaca banyak buku.
Tolkien kecil sangat menyukai Red Indians, novel-novel fantasi karya George MacDonald (tokoh perintis bidang sastra fantasi), dan Fairy Books Andrew Lang yang kelak akan memengaruhi karya-karyanya. Pada 1904, ketika John baru berusia 12 tahun, ibunya Mabel meninggal karena diabetes dan meninggalkan bekas yang mendalam pada dia dan adik laki-lakinya.
Baca Juga: Mengenang Goethe: Sastrawan Terbesar Jerman
Setelah kematian ibunya, dia dibawa oleh pendeta Katolik dari keluarga mereka, Bapa Francis Morgen. Tolkien kemudian masuk ke sekolah King Edward Birmingham, dan sekolah St Philip. Dia kemudian memenangkan besiswa ke Exeter College, Oxford tempatnya mempelajari bahasa dan Sastra Inggris.
Sebagai seorang sarjana yang cukup bersinar dalam bidang bahasa, waktu Tolkien dihabiskan untuk mempelajari bahasa-bahasa lain di perpustakaan Bodleian, hingga kemudian ia terpesona pada bahasa Finlandia yang kelak menjadi landasan bahasa Quenya: sebuah bahasa yang dipakai oleh bangsa Elf dalam karyanya The Silmarillion.
Perang Dunia I
Saat pecah Perang Dunia I pada 1914, Tolkien memilih untuk menyelesaikan kuliah terlebih dahulu sebelum akhirnya mendaftarkan diri dalam dinas militer pada 1916. Ia kemudian bergabung dengan pasukan penembak Lanchasaire dengan pangkat Letnan Dua.
Tolkien sebelumnya berlatih bersama Batalion 13 Cannock Chase, Staffordshire, selama 11 bulan. Pada 2 Juni 1916, ia menerima telegram penempatannya di Prancis untuk kemudian terlibat dalam pertempuran Somme.
Sumber: Berlinpack
Dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan kengerian dan pembantaian dalam perang besar tersebut. "Sampai tahun 1918, seluruh teman dekat saya meninggal kecuali satu orang," ungkap Tolkien dikutip dari Biography.
Pada 27 Oktober 1916, Tolkien terkena demam Trench ketika batalionnya bersiap menyerang Parit Regina. Sepanjang pertempuran, dia harus bolak-balik antara rumah sakit dan garnisun, dan dinyatakan tidak fit untuk mengabdi. Ia kemudian kembali dipulangkan ke Inggris.
Baca Juga: 6 Fakta Pramoedya Ananta Toer, Penulis Novel Bumi Manusia
Setelah kembali dari perang inilah, pada 1917, ia mulai mengerjakan The Silmarilion yang kelak menjadi akar cerita The Lord of the Rings. Dalam karya yang mengisahkan tentang kejadian dan sejarah alam semesta ini terus direvisi hingga kematiannya pada 1973.
Sumber: Wikipedia
Lain dari itu, Tolkien yang dibebastugaskan dari dinas militer kemudian bekerja di Universitas Oxford untuk menyusun sejarah dan etimologi kata dengan asal usul Jerman yang dimulai dari huruf ‘W’. Tahun 1920, ia juga bergabung dalam jurusan Bahasa Inggris Universitas Leeds dengan jabatan reader atau akademisi senior.
Beberapa tahun kemudian, ia yang telah menjadi Profesor di Universitas Oxford membentuk grup menulis bernama The Inklings. Dalam grup tersebut terdapat juga Owen Barfield, dan CS Lewis, seorang novelis yang kemudian terkenal lewat karyanya Chronicles of Narnia.
Lahirnya The Hobbit dan The Lord of the Rings
Tatkala Tolkien menjadi guru besar di Oxford dan mengerjakan sebuah makalah, secara spontan ia kemudian menulis The Hobbit. Dalam perjalanan beberapa tahun berikutnya, teman-temannya, termasuk C.S. Lewis, membaca naskahnya dan memberikan ulasan yang baik. Buku yang mengisahkan petualangan Hobbit bernama Bilbo Bagins ini kemudian dipublikasikan pada 1973.
Sumber: Tolkien Library
Karena kesuksesan The Hobbit di pasaran, Tolkien mulai menulis The Lord of the Rings. Namun, karena panjang dan tebal cakupan buku tersebut, pihak penerbit kemudian membaginya dalam tiga seri atau trilogi. Seri pertama adalah The Fellowship of the Rings yang dirilis pada 1954. Kemudian disusul The Two Towers dan The Returmn of the Kings yang dipublikasikan pada 1955.
Baca Juga: Abdul Moeis, Sastrawan Sekaligus Pahlawan Nasional Pertama Indonesia
Trilogi itu terinspirasi dari mitos Eropa kuno yang menampilkan peta, pengetahuan, hingga bahasa baru. Buku tersebut memberi pembaca sebuah dunia yang kaya akan peri, goblin, pohon berjalan, hingga penyihir seperti Gandalf. Meskipun awalnya The Lord of The Rings menuai kritik, banyak orang di dunia kemudian mulai menyelami buku itu lewat perkumpulan yang mempelajari bahasa dalam karakter bukunya.
Sumber: Wikipedia
Tahun 1960-an ketika buku The Lord of the Rings diterbitkan di Amerika Serikat, buku tersebut menjadi yang terlaris secara internasional. Entah bagaimana buku tersebut berhasil menangkap mood dari kontra kultur tahun 1960-an, dan menjadi benar-benar populer di kampus-kampus Amerika.
Pada 1959, setelah mulai jenuh terhadap ketenarannya, Tolkien menyepi dan pindah ke Bornemouth. Ia memutuskan untuk pensiun dari dunia kepengarangan dan mengubah nomor teleponnya karena menyesal telah menjadi figur budaya. Empat belas tahun kemudian, pada 2 September 1973 Tolkien meninggal dunia dan dimakamkan di Wolvercote.
Dia dikuburkan bersama istrinya, Edith di Pemakaman Wolvercote, Oxford. Di batu nisan mereka, tertulis Luthien untuk Edith, dan Beren bagi Tolkien. Dua nama tersebut diambil dari karakter novel The Silmarillion.
BACA JUGA: Cek BUKU & LITERATUR, BeritaTerkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.