Lelaki yang lahir tepat hari ini, 126 tahun yang lalu atau 26 Desember 1893, ini merupakan salah satu tokoh terpenting dalam sejarah modern Tiongkok yang dikenal lewat pemikirannya yang bernama Maoisme.
Kiprah Mao Zedong
Mao lahir di desa Shaoshan, Provinsi Hunan dari keluarga petani. Ayahnya Mao Yichang, adalah orang yang sangat disiplin dan keras dalam mendidik Mao dan saudaranya yang lain.
Pada usia delapan tahun, Mao disekolahkan ayahnya di SD Shaoshan. Mao yang tidak menyukai pelajaran konfusianisme justru tenggelam dalam kisah-kisah roman karya sastra klasik tiongkok.
Setelah menamatkan SMP di Dongshan, Mao meninggalkan rumah dan masuk sekolah di Changsha, Ibu kota Provinsi Hunan pada 1910. Di sinilah mao mulai berkecimpung dalam gerakan revolusi di China.
Mao yang banyak menerima pengetahuan tentang demokrasi dari koran-koran kemudian turut mendukung Sun Yat Sen yang saat menentang monarki di China hingga gelombang revolusi Xinhai berkobar pada 1911.
Sumber: Wikipedia
Gerakan itu pun berhasil membawa perubahan besar dengan runtuhnya era dinasti di China. Setelah revolusi selesai, Mao lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan dan sempat mengalami krisis identitas dan sering berpindah-pindah sekolah.
Baca Juga: Chiang Kai Shek Diktator Nasionalis China yang Mendirikan Taiwan
Perubahan besar pada Mao terjadi ketika ia menjadi asisten pengurus perpustakaan di Universitas Peking pada 1918. Di sana ia berkenalan dengan Li Dazhao (Li Ta-Tsjau), ahli filsafat dan sejarawan China, yang memperkenalkan Mao dengan Komunis China.
Mengenal Komunisme
Perkenalan dengan Dazhao menuntun Mao ke jejaring yang lebih luas. Ia kemudian mengenal Duxiu, salah satu pemimpin Revolusi Xinhai. Jika tidak bertemu kedua orang ini, Mao muda mungkin tidak akan menjadi apa-apa.
Sumber: Wikipedia
“Saat itu sudah musim semi 1917, dan Mao yang berusia 24 tahun tidak memiliki pencapaian apapun dalam hidupnya,” tulis sejarawan Alexander Pantsov dan Stephen I Levine dalam Mao: The Real Story (2012).
Lewat kedua orang ini, pemikiran Mao pun semakin berkembang dan mendengar adanya Revolusi Bolshevik di Rusia yang berujung pendirian Uni Soviet. Selain itu, ia juga mulai aktif menulis jurnal yang beberapa di antaranya sempat menjadi sorotan nasional.
Pada 1921, Cheng Duxiu dan Li Dazhao mendirikan Partai Komunis China (PKC) di Shanghai. Mao masuk di dalamnya melalui cabang Changsha dan mendirikan basis PKC di provinsi Hunan, kampung halamannya.
Sumber: Istimewa
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Makau Dikembalikan Portugis pada China
Tidak lama berselang, PKC juga menjalin kerja sama dengan partai nasionalis China atau Kuomintang (KMT) yang dipimpin oleh Sun Yat Sen dan Chiang Kai Shek. Mereka pun saling bahu membahu menentang penguasaan militer yang dikenal dengan nama Pemerintah Beiyang.
Pemerintahan Beiyang telah menguasai berbagai wilayah di China yang terbagi dalam berbagai faksi. KMT dan PKC bermaksud menumpas gerakan tersebut agar kekuasaan dapat beralih kepada rakyat sipil.
Long March Mao Zedong
Setelah berhasil menggulingkan militer, PKC dan KMT justru berseteru karena Chiang Khai Shek yang menggantikan posisi Sun Yat Sen melakukan pembantaian di Shanghai terhadap anggota komunis.
Pada 1927, Mao akhirnya ditunjuk PKC memimpin Pasukan Merah yang terdiri dari kaum buruh dan petani untuk melawan Kuomintang. Saat itu dengan mudah mereka dikalahkan, yang memaksa mereka melarikan diri dan mengungsi ke Provinsi Jiangxi.
Tidak hanya itu, Mao juga mengemban tugas untuk membawa 100 ribu orang ke tempat aman dengan berjalan sejauh 10 ribu kilometer. Peristiwa ini tercatat sebagai Long March untuk menghindari kejaran pasukan Kuomintang yang terus memburu mereka.
Sumber: Istimewa
Selama 12 bulan, Mao Zedong terus bergerilya menuju Yanan yang berada di kawasan utara China. Dari jumlah 100 ribu orang yang dibawanya hanya tersisa tujuh sampai delapan ribu orang yang berhasil selamat akibat jauhnya jarak dan terjalnya medan yang harus ditempuh. Namun, karena kenekatanya inilah, sisa-sisa PKC akhirnya berhasil bertahan dari gempuran KMT.
“Long March bisa dipertimbangkan sebagai bukti batas ketahanan manusia yang membuat PKC bertahan untuk berperang,” catat sejarawan Amerika, Lee Feigon, dalam Mao: The Reinterpretation (2002).
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Akhir Pertempuran Chamdo, Awal Mula Tibet Dikuasai China
Setelah Jepang angkat kaki China, perang sipil antara pasukan Mao dan Chiang terus berlanjut. Mao yang menjadi pimpinan PKC kemudian berhasil menekan pasukan nasionalis dan memaksa Chiang mengungsi ke Formosa (Taiwan).
Mao kemudian memproklamasikan China sebagai Republik Rakyat China pada 01 Oktober 1949 dan memimpin Tiongkok dengan jabatan Ketua Mao. Posisi ketua adalah setara dengan presiden atau kepala negara. Mao menjabat posisi tersebut secara resmi pada 1952-1959.
Masa Kepemimpinan dan Akhir Hayat
Era kepemimpinan Mao menjadikan China sebagai negara komunis yang memiliki gaya baru. Lewat ajarannya yang menggabungkan Marxisme dan Leninisme, Mao melakukan terobosan yang menekankan kaum proletar sebagai penggerak revolusi.
Sumber: Istimewa
Selama beberapa tahun ke depan, Mao kemudian mengorganisir reformasi tanah, baik melalui cara persuasif maupun paksaan. Dia juga mempromosikan status perempuan, menggandakan populasi warga terdidik, meningkatkan minat literasi, dan mengembangkan layanan kesehatan.
Meski demikian, reformasi yang dijalankan Mao tidak begitu sukses. Baru di masa akhirnya berkuasa perekonomian China mulai membaik ketika ia menggalakkan kebijakan Great Leap Forward atau Lompatan Besar ke Depan pada 1958-1962, dengan mengurangi produktivitas pertanian dan fokus menggenjot industri.
Sumber: Istimewa
Satu dekade kemudian, Mao Zedong meninggal dunia pada 09 September 1976, akibat serangan jantung. Jenazahnya disemayamkan di Aula Besar Rakyat selama satu pekan untuk kemudian diawetkan dengan formalin dan dibaringkan di museum di Beijing.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.