Menyimak Mahfud MD (2) | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Menyimak Mahfud MD (2)

Ceknricek.com -- Mahfud MD menegaskan dalam kapasitasnya sebagai Menko Polhukam. Pemerintah tak pernah menghalangi M. Rizieq Shihab kembali ke Tanah Air. Sebab hal tersebut adalah hak konstitusionalnya. Sama dengan ketika yang bersangkutan memutuskan meninggalkan Indonesia beberapa waktu sebelumnya.

Pernyataan tersebut merupakan 'preamble' dari teka-teki yang bergelayut di benak sebagian masyarakat selama ini. Banyak yang meyakini, ketika beberapa tahun belakangan dia berada di luar negeri, statusnya telah berubah sebagai buronan. Seperti halnya Joko Candra yang kini sudah tertangkap dan kasus hukumnya sedang disidangkan, maupun Harun Masiku. Kader PDIP yang sampai hari ini memang termasuk dalam daftar pencarian aparat penegak hukum. 

Terlepas dari berbagai spekulasi pemberitaan di tengah 'kepergian'-nya selama 3 tahun lebih, faktanya aparat penegak hukum memang tak menjemput dan langsung menggiringnya saat menginjakkan kaki kembali di bandara Sukarno Hatta pada tanggal 10 November kemarin. Hal yang sejatinya memang tak bakal terjadi. Jika dan hanya jika selama ini Rizieq Shihab memang melarikan diri dari permasalahan hukum Indonesia.

Fakta kepulangannya tanpa disambut langkah penegakan hukum itu, menyatakan lugas tentang satu hal: Rizieq Shihab bukan buronan dan tidak sedang menghindar dari ketentuan yang bisa menyebabkan aparat penegak hukum menciduknya. Dengan kata lain, segala tudingan dan desas-desus yang selama ini  beredar -- bahkan dipelihara sebagian kalangan -- boleh disimpulkan bohong belaka.

Sebab, jika semua tudingan kasus hukum yang beredar tersebut benar adanya, bukankah mestinya aparat sudah melayangkan sejumlah pemanggilan yang sangat mungkin tak dipenuhi oleh yang bersangkutan karena sedang berada di luar negeri? 

Apalagi saat itu Rizieq Shihab dimaklumi berada di Arab Saudi. Bukan Mega Mendung atau kawasan Sentul. 

Sementara itu, jika memang pemanggilan sudah dilakukan -- seperti halnya kasus perintah penangkapan setelah 2 panggilan sebagai saksi kerumunan yang tak dipenuhinya kemarin -- bukankah aparat mestinya bakal langsung menangkap beliau ketika mendarat tanggal 10 November lalu?

Semua fakta tersebut pada akhirnya menegaskan, bahwa kepergian Rizieq Shihab sejak tahun 2017 hingga 10 November 2020 lalu, bukan upaya menghindar dari ketentuan hukum. Atau, seandainya pun semula sempat dituding ada pelanggaran hukum yang disangkakan padanya, faktanya hal tersebut  tak pernah ada, telah dicabut, atau mungkin sudah dibatalkan.

Sebagai Menko Polhukam yang memiliki latar belakang dan keahlian hukum -- bahkan pernah menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi RI -- sangatlah wajar jika Mahfud MD menyadari dan memahami konstelasi perkara tersebut. Maka dapat dimaklumi jika kemudian yang bersangkutan menghimbau aparat penegak hukum untuk tak bertindak represif. Bahkan menghimbau agar kepulangan tokoh FPI itu, tak perlu disikapi secara berlebihan. 

+++ 

Tapi, penegasan sikap pemerintah yang disampaikan Mahfud MD, terkait kabar kepulangan Rizieq Shihab kemarin, juga tak berkonotasi himbauan maupun perintah melonggarkan ketentuan protokol kesehatan, di tengah pandemi yang sedang kita hadapi hari ini. Dia justru mengingatkan. Agar aparat tak perlu segan menindak tegas siapa pun yang tak mematuhi ketentuan. Bahkan dia menegaskan. Bahwa massa yang membuat onar maupun tak mematuhi ketentuan yang berlaku saat menjemput, sebagai bukan pengikut Rizieq Shihab. Sebab, hal demikian tentulah bertentangan dengan 'revolusi akhlak' yang akhir-akhir ini sedang getol dikumandangkan sosok yang didapuk sebagai ulama sentral massa FPI itu (Liputan6.com, 11 November 2020)

Semua hal tersebut pada akhirnya dapat dipahami ketika Menko Polhukam kabinet Joko Widodo tersebut, menegaskan sikap. Bahwa pemerintah akan melakukan tindakan hukum. Untuk memastikan kepatuhan semua pihak terhadap  protokol kesehatan yang telah memiliki dasar hukum. 

Khusus kepada aparat keamanan -- kata-kata yang sengaja diulanginya sebanyak 3 kali --  diingatkannya untuk bertindak tegas dan tak ragu-ragu. Sekaligus diikuti dengan peringatan tentang sanksi terhadap mereka (aparat hukum) yang tak mampu menjalankannya.

Maka setelah menyampaikan ketegasan sikap tersebut, Kapolda Metro Jaya dan Jabar, dicopot pimpinan institusinya, dengan alasan gagal menangani kerumunan massa pengikut Rizieq Shihab yang berlangsung di wilayah kekuasaan mereka masing-masing (KompasTV, 16 November 2020)

+++

Pasca penyampaian pernyataan resmi Menko Polhukam  yang didampingi Panglima TNI, Wakapolri, Kepala BIN, dan Ketua BNPB/ Satgas Covid 19 tersebut, kemudian diikuti dengan pemanggilan sejumlah saksi, terkait kerumunan yang terjadi. Anies Baswedan, Gubernur DKI, termasuk salah satunya. Juga Rizieq Shihab dan 5 orang lain dari kalangan FPI. Karena mereka ditengarai mengetahui bahkan bertanggung jawab atas kerumunan-kerumunan yang berlangsung setelah Rizieq Shihab kembali ke Tanah Air dan bertemu dengan pengikutnya. Termasuk saat menikahkan anaknya sekaligus merayakan maulid Nabi di kawasan Petamburan, Jakarta. 

Pemanggilan terhadap Rizieq kemudian memicu kegelisahan sejumlah pendukungnya. Mereka khawatir pemimpinnya yang baru kembali ke Tanah Air tersebut, bakal ditahan aparat Kepolisian. 

Sejumlah massa kemudian berunjuk rasa dan menyampaikan pendapatnya di depan Polres Pamekasan, Madura. Tapi setelah itu, mereka bergerak dan beralih ke depan kediaman ibunda Mahfud MD yang telah berusia 90 tahun. Di sana, mereka kemudian berteriak-teriak, memanggil nama Menko Polhukam, dan meminta penghuninya keluar menemui massa. Aksi tersebut tentulah membuat 4 wanita penghuninya -- 2 diantara mereka sudah amat sepuh -- ketakutan. 

Tapi, atas perlakuan massa yang sama sekali tak pantas dan kelewat batas terhadap (kediaman) ibundanya, Mahfud MD justru menegaskan hal yang sangat penting. Dia secara tegas menolak dan menyatakan tidak mau melaporkan kejadian tersebut, kepada aparat kepolisian (KompasTV, 3 Desember 2020).

Sebagai sosok yang ahli hukum dan konstitusi Negara ini, Mahfud sangat memahami peristiwa seperti yang terjadi di depan kediaman ibundanya, merupakan delik umum. Aparat kepolisian mestinya secara otomatis melakukan tugas pokok dan fungsi mereka. Sebab tindakan yang dilakukan sekumpulan massa di depan kediaman ibundanya tersebut, sudah patut diduga telah mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. 

Mantan Ketua MK tersebut kemudian menegaskan. Bahwa dia tak menginginkan berkembangnya anggapan. Bahwa pengusutan hingga upaya hukum yang ditegakkan aparat, dilakukan atas dasar pengaduannya. Terlebih saat ini beliau sedang menjabat sebagai Menko Polhukam. Padahal, tugas pokok dan fungsi yang harus mereka lakukan jika menyangkut delik umum, memang demikian semestinya. 

+++

Mahfud MD adalah salah seorang dari segelintir pejabat tinggi pemerintahan Indonesia hari ini yang tak hanya mengikuti dari dekat, tapi bahkan terlibat aktif, dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Utamanya sejak Reformasi 1998 bergulir.

Dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum Tata Negara yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, beliau tentu tak sekedar hafal dan mengetahui. Tapi justru menjiwai sepenuhnya cita-cita dan semangat yang dikandung UUD 1945 setelah 4 kali amandemen yang telah kita lakukan. 

Salah satu perubahan penting dan sangat mendasar yang telah disepakati bangsa Indonesia, menyangkut penegasan "Negara Indonesia adalah negara hukum". Dicantumkan pada Bab I (Bentuk dan Kedaulatan), pasal 1, ayat ketiga. Sementara ayat kedua di atasnya yang juga ditambahkan melalui Amandemen Ketiga UUD 1945, berbunyi , "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". 

Kedua ayat tambahan tersebut telah menyempurnakan bunyi konstitusi Negara kita yang sebelumnya hanya menyatakan "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik."

Itulah sebabnya pembiaran terhadap premanisme, segala bentuk tindakan barbar, pemaksaan kehendak, intimidasi, dan seterusnya, kerap dinarasikan sebagai ancaman terhadap (kedaultan) Negara. 

+++ 

Negara memang selalu terbentuk atas keberadaan 3 hal. Yakni wilayah, rakyat, dan pemerintahannya. Konstitusi kemudian menjadi dasar-dasar kedaulatannya. Termasuk hak, wewenang, dan tanggung jawab pemerintahan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.

Maka ketika premanisme, pemaksaan kehendak, perilaku barbar, dan segala bentuk yang mengarah pada penyangkalan terhadap Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang demokratis sekaligus monokratis (berdasarkan hukum), sejatinya memang merupakan ancaman bagi bangsa ini. 

Narasi 'Negara Tak Boleh Kalah' terkait aksi kelompok radikal, sudah dikumandangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada periode pertama pemerintahannya. 

"Penegakan hukum harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan dan agar tatanan hukum berlaku demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia."

Demikian yang disampaikan Presiden RI ke 6 itu ketika menanggapi aksi kekerasan di lapangan Monas pada tanggal 1 Juni 2008. Saat yang bertepatan dengan Peringatan lahirnya Pancasila terebut, telah terjadi bentrokan berdarah antara kelompok massa FPI dan AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan).

Sekurangnya 10 orang dari AKKBB terluka parah akibat pemukulan yang dilakukan oleh puluhan orang dari massa yang mengenakan atribut FPI (Kompas.com, 2 Juni 2008). Kericuhan terjadi ketika AKKBB yang dalam unjuk rasanya bergerak dari Cempaka Barat ke depan kantor Kedutaan Amerika Serikat, kemudian melanjutkan aksinya ke lapangan Monas. Saat yang sama, di sisi lapangan lainnya yang menghadap ke Istana, sedang berlangsung aksi massa lain yang menolak kenaikan BBM. 

Waktu itu, Munarman yang hingga hari ini masih menjabat sebagai Sekjen FPI, berdalih bahwa pemyerangan yang terjadi dilakukan oleh KLI (Komando Laskar Islam). Gabungan berbagai orgsnisasi massa Islam yang menolak dukungan terbuka AKKBB terhadap penganut Ahmadiyah mengamalkan keimanannya di Indonesia. 

Sementara itu, sejumlah tokoh yang mewakili ormas dan kelompok-kelompok Islam terbesar yang ada, justru menyesalkan aksi brutal tersebut. Karena telah mencederai kehidupan kebangsaan yang menjunjung tinggi kebhinekaan. Di antaranya disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa Abdurrahman Wahid, Ketua Dewan Pertimbangan DPP PDIP Taufiq Kiemas, Direktur Eksekutif The Wahid Institute Achmad Suaedi, Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR A. Effendy Choirie, dan Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum (Kompas.com, 2 Juni 2008).

Salah satu penyebab leluasanya aksi brutal berlangsung saat itu, ditengarai karena pengamanan yang longgar dari aparat di lapangan. Namun Kapolres Metro Jakarta Pusat saat itu, Kombes Pol Heru Winarko berdalih kepada wartawan. Katanya, AKKBB semula berencana demonstrasi dari Cempaka Barat, Kedubes AS, lalu Bundaran HI. Tapi Koordinator Lapangan AKKBB, Nong Dairol Mahmadah, justru membantah. 

"Kami sudah lapor bahwa kami akan ke Monas. Bohong kalau kami tidak lapor," katanya (Kompas.com, 1 Juni 2008)

Tak berhenti di sana. Kasus pelanggaran hukum tersebut kemudian bergulir di pengadilan. Berakhir dengan vonis penjara terhadap Rizieq Shihab dan kawan-kawan. Tapi saat persidangannya berlangsung, sejumlah kericuhan lain juga terjadi. Aktivis AKKBB Guntur Romli dipukul Panglima FPI M Subhan. Peristiwa tersebut menggambarkan seolah tak ada lagi jaminan keamanan dan ketertiban yang mestinya menjadi hak konstitusi setiap warga negara. Hal yang bahkan sempat menyebabkan AKKBB enggan menghadiri persidangan-persidangan berikutnya (Kompas.com, 22 September 2008).

Itulah sebabnya, pada bagian #1 terdahulu, disebutkan bahwa, apa yang sedang berkembang di tengah bangsa Indonesia hari ini, terlihat seperti mengarah pada saling melampiaskan dendam antar anak bangsa. Hal yang bakal semakin jauh dari semangat kebhinekaan yang justru kita junjung tinggi.

Kecenderungan saling meniadakan dan menyingkirkan yang lain secara mutlak dan permanen, justru tumbuh semakin subur. Jika dan hanya jika didekati dengan latar hegemoni kekuasaan. Bukan melalui sikap kenegarawan yang memandang semua warga negara berkedudukan sama di depan hukum. Karena sejatinya, di tangan rakyatlah kedaulatan  bangsa ini dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Baca juga: Menyimak Mahfud MD (1)

Baca juga: Sekitar 12 Jam Diperiksa, Habib Rizieq Akhirnya Ditahan



Berita Terkait