Mimpi Meraih Oscar | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Ashar/Ceknricek.com

Mimpi Meraih Oscar

Ceknricek.com -- Isu tentang Piala Oscar akhir-akhir ini kembali menghangat. Kabar tentang masuknya karya Livi Zheng dalam nominasi Oscar sudah terdengar sejak ia mulai memperkenalkan diri sebagai sutradara kelahiran Indonesia yang berkiprah di Amerika. Salah satu filmnya “Brush With Danger” (2014) disebut-sebut masuk nominasi Academy Award (Piala Oscar). Entah Livi salah sebut atau wartawan salah kutip, kabar itu kadung tersiar.

Sejak kedatangannya kembali ke Indonesia, Livi memang menjadi magnet baru bagi sebagian wartawan film (hiburan). Livi juga pandai merawat hubungan dan memproduksi bahan-bahan berita. Dengan kelincahannya perempuan ini berhasil bertemu dengan pejabat-pejabat penting negeri ini.  Rangkaiannya kemudian sampai ke film terbarunya, “Bali: Beats of Paradise”, sebuah documenter tentang pemain gamelan bernama Nyoman Wenten yang bermain musik dan mengajar di Amerika.

Sumber: Istimewa

Sebuah media online terkenal, antara lain menulis begini:

Ada 347 film yang kini tengah dalam seleksi untuk masuk dalam nominasi Oscar tahun depan. Salah satu film adalah besutan sutradara Tanah Air Livi Zheng, bertajuk "Bali: Beats of Paradise".

Sumber: Istimewa

Film ini bersaing dengan sejumlah film Hollywood lainnya yang berskala besar di antaranya "Avengers: Infinity War" juga drama "Beautiful Boy" yang dibintangi Steve Carrell dan Timothee Chalamet.

Baca Juga: Livi Zheng, Bikin Proyek Film di Indonesia Lebih Banyak Sukarela

Livi dan “Bali Beats of Paradise” mendapat sambutan meriah di tanah air. Kementerian  Pariwisata setidaknya dua kali mengadakan acara temu wartawan dengan Livi, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Kapolri Tito Karnavian hingga Wapres Jusuf Kalla menerima Livi dan mensupport sutradara kelahiran Blitar, 3 April 1989 ini.

Sumber: Istimewa

Tidak lama setelah “Bali: Beats of Paradise” beredar di bioskop Indonesia, kehebohan pun muncul. Seorang penulis bernama Limawati Sudono menurunkan tulisan berseri tentang kiprah Livi Zheng.  Siapa sebenarnya Livi, latar belakang keluarganya hingga ke kakeknya yang disebut-sebut bermain di tanah Kemayoran, dikupas habis dalam tulisan Limawati. Sampai saat ini siapa Limawati tidak diketahui persis, foto diri yang digunakan adalah foto salah satu korban pembunuhan di Amerika.

Seorang wartawan film mendapat pesan Whatsapp dari seseorang yang tidak bersedia menyebutkan identitasnya. Isinya menyebutkan: Kehebohan tentang Livi memang dilakukan secara sistematis dan masif. Ada motif tertentu di belakangnya, yakni soal “perebutan” produksi film oleh sebuah BUMN. Livi sudah diminta untuk menyutradarai film itu, tetapi rupanya ada pula yang berminat mengambil proyek yang akan ditangani Livi.

Sampai sejauh mana kebenaran informasi itu, masih perlu ditelusuri lebih jauh dan dikonfirmasi dengan pihak-pihak terkait. 

Kontroversi tentang Livi kemudian mencapai klimaks dengan penayangan program dialog di sebuah televisi pada Minggu (1/9/2019) malam, yang menampilkan Livi Zheng sebagai narasumber, kemudian panelis terdiri dari sutradara Joko Anwar, John de Rantau, Andi Bachtiar Yusuf, kritikus film Adrian Jonatahan Pasaribu, Puteri Indonesia 2010 Nadine Alexandra dan penulis Maman Suherman. Dalam acara ini Livi seperti menjadi "terdakwa". Penjelasan Livi tak digubris oleh panelis.

Sumber: Metro tv

Misalnya ketika Livi mengatakan filmnya masuk ke dalam 347 judul film -- setelah disaring dari ribuan film peserta --  yang bersaing (contention) untuk kategori Best Picture di Piala Oscar bersaing dengan "Avenger, Invinity War".  

Sedangkan Joko Anwar berpendapat, film Livi, "Bali, Beats of Paradise" hanya memenuhi syarat (eligible) saja.

Sumber: Metro tv

Dialog itu sendiri tidak menjawab tuntas tentang siapa Livi Zheng dan kiprahnya di Amerika sehingga dikait-kaitkan dengan Piala Oscar.

Kita tinggalkan kontroversi Livi Zheng. Meraih Piala Oscar atau award apapun dari luar negeri, merupakan impian bagi perfilman Indonesia. Meskipun dikenal memiliki sejarah perfilman yang panjang, belum sekali pun Indonesia sejak keikutsertaannya di ajang Piala Oscar tahun 1987, meraih penghargaan dari ajang bergensi itu.

Setiap tahun, America of Motion Pictures Art and Science (AMPAS) selalu mengundang negara-negara di luar Amerika untuk mewakilkan film terbaik mereka dalam kompetisi sesuai aturan yang ditentukan. Satu negara hanya boleh mengirimkan satu film, lewat kesepakatan resmi.

Panitia Oscar biasanya mengirim surat ke PPFI, untuk membentuk tim seleksi guna memutuskan satu judul film yang akan dikirim. Film akan diikutsertakan haruslah film yang sudah beredar di bioskop, dalam setahun terakhir, minimal tujuh hari berturut-turut.

Saat ini PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia) sudah membentuk Tim Seleksi, untuk menyeleksi film yang akan dikirim ke ajang Academy Award. Komite itu beranggotakan 13 orang. Setelah Tim Seleksi memutuskan sebuah judul film, selebihnya menjadi tanggungjawab produser dengan panitia di  Amerika tentang apa saja materi yang harus dikirim.

Baca Juga: Livi Zheng, Dari Blitar Tembus Hollywood

Namun produser yang filmnya terpilih, tidak serta merta senang, karena mengirimkan materi yang dibutuhkan oleh Panitia Oscar sebagai persyaratan untuk menjadi peserta kompetisi Film Berbahasa Asing, tidak ringan. Butuh biaya besar. Semua masih ditanggung oleh pemilik film sendiri. Barulah sejak pengiriman film "Marlina, Pembunuh Dalam Empat Babak", pemerintah (Bekraf) ikut membantu.

Produser film Zairin Zain, mengaku sempat kebingungan mencari dana, ketika "Alangkah Lucunya Negeri Ini" produksi PT. Demigisela, diputuskan untuk mewakili Indonesia ke Piala Oscar.  Saat itu ia membutuhkan biaya promosi US$40 ribu atau sekitar Rp520 juta.

Sumber: Istimewa

Produser dan sutradara film Nia Dinata juga sempat kelabakan saat filmnya "Cau Bau Kan", diputuskan untuk mengikuti kompetisi yang sama. Nia pernah merasakan betapa dirinya menjadi beban sendiri setelah "Ca Bau Kan" dipilih mewakili Indonesia masuk Oscar.

Sumber: Istimewa

Grup bentukan pemerintah itu (yang benar dibentuk oleh PPFI) menurut Nia kurang bertanggung jawab. Setelah memasukkan salah satu film menjadi calon nomine Oscar. Mereka tidak mempromosikan film yang bersangkutan pada juri.

Biaya yang dikeluarkan film "Bibir Mer" lebih besar lagi, ketika film itu dikirim untuk mengikuti Academy Award. Menurut wartawan senior Ilham Bintang yang membawa film itu sampai ke Amerika, tahun 1991, pihak produser harus mengeluarkan dana sebesar US$200 ribu (kurs sekarang hampir Rp3 miliar).

Uang sebesar itu diminta oleh agen (calo) yang berkeliaran di arena Academy Award, dan mereka berjanji akan membuat promosi dan menyediakan materi untuk dilihat oleh Juri Film Berbahasa Asing di ajang tersebut.

"Banyak orang seperti itu di sana. Kita percaya saja. Apakah setelah itu kita bisa merasakan atmosfer Academy Award, enggaklah," ungkap Ilham.

Foto: Tabloid C&R

Ilham juga tidak yakin apakah film Indonesia yang dikirim ke Piala Oscar benar-benar ditonton dan dinilai oleh juri, anggota Academy Award yang jumlahnya ribuan -- sekitar 6000 -- dan entah berapa orang juri yang menilai film berbahasa asing.

Selain Academy Award, banyak festival lain di dunia yang diikuti oleh sineas Indonesia. Walaupun festival kecil, dengan fabrikasi berita yang masif, membuat keberhasilan itu terasa besar.

Menurut Ilham, sineas Indonesia memang seringkali membesar-besarkan kiprahnya di luar negeri. Penghargaan di festival-festival kecil, atau bahkan sekadar ditonton atau ditulis pers asing, sudah menjadi bahan bualan yang besar di dalam negeri. Dan itu pun dilakukan oleh sineas-sineas yang punya nama besar di dalam negeri.

Baca Juga: Layar Terbesar di Dunia untuk “Bali: Beats of Paradise"

"Ikut festival di luar negeri itu kan urusannya memang hanya soal menciptakan gelembung-gelembung aja. Apakah kenyataannya seperti yang terdengar di dalam negeri? Belum tentu!" kata Ilham.

Sejauh ini memang tak ada informasi yang runut mengenai perjalanan film Indonesia setelah dikirim ke Piala Oscar. Publik di dalam negeri juga nampaknya tidak peduli. Padahal menjelang pengirimannya ada rangkaian informasi, mulai dari pembentukan Tim Seleksi, hingga penjelasan mengapa film dikirim ke Piala Oscar.

Ketika film "Marlina, Pembunuh Dalam Empat Babak" karya Mouly Surya akan dikirim, ada jumpa pers khusus yang dihadiri oleh Kepala Bekraf Triawan Munaf, 19 September 2018.

Tetapi apakah setelah itu ada pengumuman resmi bagaimana nasib "Marlina" di Piala Oscar? Bandingkan dengan kehebohan ketika film Marlina diputar perdana dalam sesi Directors Fortnight Festival Film Cannes di Theatre Croisette JM Marriot, pada 24 Mei 2017.

Menurut berita, film itu mendapat pujian dan menarik perhatian kalangan film internasional di Cannes, walaupun akhirnya tetap saja pulang dengan tangan hampa.

Sedangkan kegagalan "Marlina" masuk nominasi kategori Foreign Language Film di Piala Oscar, baru diketahui media memberitakan pengumuman nomine semifinalis yang dirilis oleh pihak The Academy of Motion Pictures Arts and Sciences (AMPAS) selaku penyelenggara Academy Awards ke-91. 

Sejak keikutsertaan Indonesia di Piala Oscar, sudah dua puluh satu judul film dengan genre beragam dikirim ke Piala Oscar. Umumnya film-film terbaik di Festival Film Indonesia.

Sampai saat ini, tetapi tak satupun yang nyangkut dalam daftar nominasi Oscar.  Livi Zheng juga mencoba dengan caranya sendiri, tetapi piala berbentuk ksatria memegang pedang itu tak juga kunjung diraih. Namun impian mendapat Piala Oscar, belum pupus.

Berikut judul-judul film yang pernah dikirim ke Piala Oscar sampai tahun 2018.

"Nagabonar" (1987), "Tjoet Nja' DhienTjoet Nja' Dhien" (1989), "Langitku Rumahku" (1990), "Bibir Mer" (1992), "Daun di Atas Bantal" (1998), "Sri" (1999), "Ca-bau-kan" (2002), "Biola Tak Berdawai" (2003), "Gie" (2005), "Berbagi Suami" (2006) "Denias, Senandung di Atas Awan" (2006),  "Jamila dan Sang Presiden" (2009),  "Alangkah Lucunya (Negeri Ini)" (2010), "Di Bawah Lindungan Ka'bah" (2011) "Sang Penari" (2012),  "Sang Kiai" (2013), "Soekarno - Indonesia Merdeka" (2014) "Surat dari Praha" (2016), "Turah" (2017)  dan "Marlina, Pembunuh Dalam Empat Babak" (2018).

BACA JUGA: Cek SOSOK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini. 



Berita Terkait