Ceknricek.com -- Hari itu, penghujung tahun 1952, Tanah Pasundan berselimut awan pekat. Ratusan orang dengan raut duka dan sayu berkumpul menunggu peti jenazah tokoh masyarakat terkemuka dari Kota Kembang: Otto Iskandar Dinata.
Namun, rombongan yang membawa peti itu sebenarnya di dalamnya tidak berisi jenazah, melainkan hanya berisi pasir laut dari kawasan pesisir Mauk, Tangerang, Banten yang diambil putra Otto sebagai "syarat" jenazah sang ayah.
Sumber: Wikipedia
Keberadaan jasad Si Jalak Harupat, julukan untuk Otto memang tidak pernah diketahui di mana rimbanya. Sebab-musabab kematiannya pun hingga kini masih diselimuti gulita, bahkan setelah 67 tahun pemakaman simbolisnya di Bandung.
Orang-orang kini hanya mengenal sosoknya lewat sekelumit kisah di buku-buku sejarah, selembaran uang kertas Rp20.000, nama jalan di kota-kota besar, atau stadion sepakbola di Bandung. Meski demikian, Otto memiliki peran penting dalam sejarah kemerdekaan, namun kiprahnya harus terhenti saat maut yang gelap menjemputnya.
Si Jalak Harupat dari Bojongsoang
Otto Iskandar Dinata, anak ketiga dari sembilan bersaudara dilahirkan di Bojongsoang, Bandung pada 31 Maret 1897, dari keluarga terpandang. Ayahnya, Nataatmadja adalah keturunan bangsawan Sunda yang mengubah namanya menjadi Raden Haji Rachmat Adam setelah pergi ke tanah suci. Sementara ibunya bernama Nyi Raden Siti Hatijah.
Sejak kecil Otto telah menunjukkan karakteristik sebagai anak yang mbeling (nakal) namun jujur dan berterus terang. Ia berani menyatakan secara spontan mana yang benar dan mana yang salah dengan menabrak norma yang kaku pada zaman kolonial di mana terdapat sentimen ras pada waktu itu.
Sumber: Tokoh Indonesia
Selayaknya orang berada, Otto juga mengenyam pendidikan yang baik dan dikenal sebagai siswa yang cukup cerdas di kelasnya ketika menempuh pendidikan sekolah dasar dan menengah di Bandung hingga ia melanjutkan sekolah tinggi guru di Purworejo, Jawa Tengah.
Dia pun sangat menggemari buku bacaan, baginya membaca buku adalah membuka bentangan-bentangan lanskap dunia yang luas untuk dijelajahi. Salah satu penulis favoritnya adalah tulisan-tulisan Ernest Douwes Dekker yang kerap mengecam kebijakan pemerintah kolonial.
Baca Juga: Sejarah Hidup Guru Bapak Bangsa, H.O.S. Tjokroaminoto
Prinsip lelaki penulis Max Havelaar yang dikenal memuliakan pribumi itu kelak menurun juga dalam sikap dan pribadi Otto yang sangat membenci diskriminasi ras. Ketika ia masih menempuh pendidikan, Otto dengan jitu mengkritik gurunya yang melanggengkan praktek tersebut dengan sengaja memakai dasi di dalam kelas.
Sumber: Istimewa
“Otto!,” hardik sang guru yang orang Belanda itu. “Mengapa kamu memakai dasi? Saya saja tidak memakai dasi!”
Sambil tersenyum yang ditegur menjawab dengan tajam, “Tuan guru tidak perlu memakai dasi, sebab tuan sudah tua”.
“Kurang ajar kamu, ayo keluar!,” sembur sang guru padanya.
Otto pun dengan tenang keluar dari ruangan kelas. Dugaannya benar. Tuan guru menyebutnya kurang ajar karena ia anak bumiputera. Lain halnya jika ia anak orang Belanda, atau setidaknya seorang sinyo, gurunya pasti akan bilang bahwa ia adalah anak yang suka berterus terang (Nina H. Lubis, Si Jalak Harupat, Biografi Otto Iskandardinata, 2003).
Karakter berani dan terus terang inilah kelak yang memunculkan istilah Si Jalak Harupat sebagai julukan bagi Otto Iskandardinata. Si Jalak Harupat adalah sebutan untuk ayam jago yang keras ketika berkokok, tajam tajinya ketika menghantam, pemberani menghadapi lawan apa pun, dan sangat sulit dikalahkan.
Kiprah Otto dalam Pergerakan Nasional
Setelah lulus sekolah guru di Purworejo, Otto kemudian ditugaskan menjadi guru Hollands Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah pada 1920 di Banjarnegara. Sambil mengajar ia juga menanamkan nilai-nilai nasionalisme kebangsaan pada murid-murid dan rekan sejawatnya di sana.
Di Kota Dawet inilah ia juga menemukan jodohnya, Raden Ajeng Sukirah, seorang putri asisten wedana Banjarnegara di Bandung yang ia nikahi pada 1923 dan kemudian ia boyong ke Pekalongan satu tahun sesudahnya hingga kelak ia dikaruniai selusin anak.
Selepas pindah ke Kota Batik, Otto mulai aktif dalam dunia pergerakan nasional dan bergabung dalam organisasi Budi Utomo pada tahun 1925. Dengan cepat ia diangkat sebagai anggota Dewan Kota (Gemeente Raad) mewakili Budi Utomo cabang Pekalongan.
Tidak hanya itu, pada 1928, Otto yang menyukai musik tradisi Sunda juga masuk dalam organisasi Paguyuban Pasundan cabang Jakarta dan diangkat menjadi sekretaris pengurus organisasi tersebut, hingga satu tahun kemudian diangkat sebagai ketua sampai tahun 1945.
Sumber: Istimewa
Baca Juga: Tragedi Hidup Amir Sjarifoeddin: Perdana Menteri yang Dieksekusi Bangsa Sendiri
Selanjutnya, Otto juga tercatat sebagai anggota Volksraad, semacam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada masa kolonial Hindia Belanda dan sempat menjadi anggota parlemen. Di sinilah namanya semakin dikenal khalayak lewat kritik-kritik tajamnya terhadap pemerintah dan semakin menegaskan julukannya sebagai Jalak Harupat.
Selain aktif di bidang politik, Otto juga pernah memimpin warta harian berbahasa Sunda, Sipatahunan di Bandung yang banyak mengecam tindakan-tindakan Belanda terhadap terhadap rakyat hingga kelak ia kembali memimpin Paguyuban Pasundan yang diubah namanya menjadi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada 1941, dibentuk parlemen di luar Volksraad.
Ketika zaman pendudukan Jepang, Otto sempat memimpin dan menerbitkan surat kabar Warta Harian Tjahaja hingga ia diangkat sebagai anggota Jawa Hoko Kai (Badan Kebangkitan Rakyat Jawa). Ketika Indonesia merdeka, Otto ditunjuk pemerintah menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Pertama Republik Indonesia.
Misteri Kematian Si Jalak Harupat
Selepas kemerdekaan, salah satu tugas Otto adalah menyangkut persoalan keamanan Republik termasuk aktif mengkoordinir pembentukan tentara kebangsaan yang saat itu masih bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kelak menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan kemudian menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Masalah ini sebenarnya cukup pelik hingga memunculkan silang pendapat antara golongan muda dan tua, yang mana pada waktu itu latar belakang militer Indonesia lahir dari kelompok yang berbeda-beda, seperti prajurit Anggota Pembela Tanah Air (PETA) atau Heiho bentukan Jepang, hingga bekas tentara KNIL bentukan Belanda.
Tidak semua pihak pada saat itu setuju dengan pembentukan BKR. Mereka yang tidak sepakat kemudian membentuk laskar-laskar sendiri. Para tokoh muda pada waktu itu memilih untuk bertindak frontal alih-alih melakukan diplomasi sebagaimana diterapkan "orang-orang tua" dalam masa peralihan seperti yang dilakukan Otto dan pemerintah.
Sumber: Tribunnews
Baca Juga: Mengenang Perjuangan I Gusti Ngurah Rai Dalam Sejarah Indonesia
Kendati belum terbukti benar, dari sinilah ditengarai maut bermula dan akhirnya menjemput nyawa Otto Iskandar Dinata. Beberapa referensi menyebut pada November 1945, atau tiga bulan setelah kemerdekaaan, Otto kedatangan tamu bernama Laskar Hitam dan mengaku bagian dari Republik serta mengajaknya pergi ke suatu tempat.
Tanpa curiga Otto pun memenuhi permintaan mereka, dan sejak itulah ia tidak pernah kembali. Sampai di kemudian hari diketahui bahwa pada tanggal 20 Desember 1945, tepat hari ini, 74 tahun lalu pemerintah "terpaksa" menetapkan tanggal tersebut sebagai tanggal kematian Otto "Si Jalak Harupat" Iskandar Dinata diketahui dibunuh di pantai Mauk Banten.
Atas jasa-jasa dan pengorbanannya terhadap bangsa dan negara, pemerintah RI menganugerahi gelar pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden No. 008/TK/Tahun 1973, pada 6 November 1973.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Thomas Rizal