Ceknricek.com -- Angin pagi masih mendinginkan kulit untuk memulai aktivitas di Desa Ngaliyan, sebelah timur Kota Karanganyar, Solo. Namun regu penembak sudah membariskan belasan orang di tepi lubang besar yang disiapkan untuk peristirahatan terakhir mereka.
Amir Sjarifoeddin, salah satu lelaki yang dijajarkan itu nampak teguh berani menghadapi maut yang segera datang. Pagi itu, 19 Desember 1948, tepat hari ini 71 tahun lalu, ia bersama 10 kameradnya siap menjalani eksekusi mati.
Mereka semua dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI Madiun yang terjadi beberapa bulan sebelumnya. Sambil berbaris, mereka kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya dan dilanjutkan dengan lagu Internationale, tembang komunis sejagat raya.
Sumber: Sejarahkita.blogspot.com
Selepas menyanyikan lagu yang cukup membuat darah kembali hangat itu, Amir Sjarifoeddin meminta waktu untuk membaca Alkitab sekaligus memanjatkan doa. Ia juga meminta pada algojo untuk menjadikan kitab suci tersebut sebagai bantalnya ketika dikubur.
Ia perlahan kembali ke barisan. Menarik nafas sejenak sebelum akhirnya lantang berseru di depan algojo yang telah siap dengan senapan mereka: “Bersatulah kaum buruh sedunia. Aku mati untukmu!”.
Dor!
Pagi itu, Amir Sjarifoeddin Harahap, mantan Perdana Menteri Indonesia meregang nyawa bersama Maruto Darusman, Suripno, Sarjono, Oey Gee Hwat, Harjono, Sukarno, Djokosoejono, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangku.
Komunis yang Religius
Amir Sjarifoeddin lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 Mei 1907 dari keluarga Batak-Muslim. Ayahnya, Djamin bergelar Baginda Soripada adalah bangsawan adat Tapanuli, sementara ibunya yang berasal dari keluarga Batak telah berbaur dengan orang-orang Islam-Melayu di Deli. Maka, sesuai dengan aturan adat, ibu Amir pun memeluk Islam.
Semula Amir memang taat dengan ajaran Islam, namun ketika beranjak dewasa ia memilih untuk memeluk Kristen setelah melanjutkan Sekolah Tinggi Hukum (Recht Hooge School) di Batavia. Amir dibaptis pada tahun 1931 oleh Pendeta Peter Tambunan di gereja HKBP Kernolong, Batavia.
Sumber: Wikipedia
Baca Juga: Kisah Hidup Achmad Subardjo, Menteri Luar Negeri Pertama RI
Dia pun menjalani hidup sebagai komunis dan Kristen yang taat. Hal ini berbeda jauh dengan pandangan orang-orang yang menyatakan bahwa komunis adalah atheis dan tidak memiliki agama. Dalam tataran lain ia hampir mirip dengan Haji Misbach, seorang muslim taat yang juga aktivis komunis dari Surakarta.
Bagi Amir, kekristenan tidak perlu dipertentangkan dengan komunisme. Sebab, baginya menjadi seorang Kristen yang baik adalah wajib berjuang untuk kemanusiaan, (Martin Hutagalung, Islam Bergerak,2019, mengutip Pdt. Dr. SAE Nababan dalam acara Bedah Buku “Amir Sjarifoeddin: Tempatnya Dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” di Aula STT Jakarta, 26 November 2009).
Kiprah perjuangan Amir dalam kronik sejarah bangsa Indonesia sendiri membentang dalam tiga masa yakni, sejak Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, Pendudukan Jepang hingga tiga tahun pertama masa Revolusi Kemerdekaan.
Sumber: Istimewa
Dalam fase pemerintah kolonial, Amir merupakan tokoh penting di balik lahirnya Sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928. Di masa ini ia juga banyak berkiprah dalam dunia politik, pers, dan pendidikan kebangsaan.
Pada masa pendudukan Jepang, ketika sebagian besar pemimpin nasional memilih bekerjasama dengan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya, Amir memilih jalan sunyi dengan membentuk Gerakan Anti Fasis (GERAF). Dia sempat tertangkap pada 1943 dan mendekam di penjara selama satu tahun serta dijatuhi hukuman mati. Meski demikian Jepang keburu kalah dengan Sekutu hingga ia berhasil lolos.
Akhir Tragis Amir Sjarifoeddin
Pada masa revolusi kemerdekaan, Amir memainkan peranan penting dengan memimpin perjuangan pembebasan bangsa Indonesia. Oleh Presiden Sukarno, ia kemudian dipercaya menjabat sebagai Menteri Penerangan dari 2 September 1945 hingga 12 Maret 1946, kemudian menjadi Menteri Pertahanan Indonesia periode 14 November 1945 sampai 29 Januari 1948.
Tidak hanya itu, ia pun didapuk sebagai Perdana Menteri dan memimpin pemerintahan selama dua sesi; yakni Kabinet Amir I sejak 3 Juli 1947, yang pada akhir tahun kemudian dirombak dan dikenal dengan nama Kabinet Amir II. Meski demikian, pada masa-masa ini keadaan di Indonesia benar-benar sedang dalam kekacauan.
Baca Juga: Sejarah Hidup Guru Bapak Bangsa, H.O.S. Tjokroaminoto
Masa-masa kepempinan Amir disibukkan berbagai polemik dengan Belanda yang ingin kembali bercokol di Indonesia. Baik pecahnya konflik bersenjata hingga urusan diplomasi terkait Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 yang membelah Indonesia hanya menjadi tiga wilayah berdaulat: Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera.
Sumber: Istimewa
Keputusan Amir menandatangani Perjanjian Renville pun menuai banyak kecaman karena dinilai merugikan Indonesia. Gelombang protes untuk segera menurunkan Amir menyeruak. Untuk menenangkan suasana, Sukarno meminta Amir meletakkan jabatan pada 29 Januari 1948,yang kemudian menimbulkan tarik ulur di kabinet yang baru.
M.C. Ricklefes dalam Sejarah Indonesia Modern (2008:456), menulis pada masa itu memang menjadai masa-masa yang sulit: Kekuasaan Republik terdesak ke wilayah Jawa Tengah [..] Golongan kiri yang berada di luar pemerintah Republik memulai usaha (pemberontakan PKI Madiun 18 September 1948) yang menimbulkan bencana. Amir yang ditengarai terlibat dalam upaya pemberontakan pun menjadi target pengejaran.
Tanggal 29 November 1948, Amir bersama anak buahnya ditangkap. Yang terjadi kemudian adalah eksekusi mati mantan Perdana Menteri itu tanpa sama sekalipun proses pengadilan. Hak veto yang diajukan Presiden Sukarno dalam sebuah rapat darurat di Yogyakarta agar hukuman mati Amir dicegah pun menemui jalan buntu dan kesia-siaan.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Thomas Rizal