MK Gelar Sidang Pertama Uji Materi UU KPK yang Diajukan 39 Kuasa Hukum | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Ashar/Ceknricek.com

MK Gelar Sidang Pertama Uji Materi UU KPK yang Diajukan 39 Kuasa Hukum

Ceknricek.com -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pertama uji materi UU KPK, Senin (9/12). Sidang berlangsung terbuka dipimpin tiga hakim MK: Arif Hidayat, Wahiduddin Adams, dan Saldi Isra. Uji materi itu diajukan oleh 39 kuasa hukum dari ICW, LBH, YLBHI, sejumlah kantor hukum, serta 13 principal. 

Hakim MK Arief Hidayat mengatakan sidang uji materi UU KPK kali ini berfokus pada ranah formal. Jadi, belum masuk pada isu substansi, namun lebih menyoroti tentang proses pembahasan dan pengesahan yang dipandang banyak persoalan krusial.

Dalam sidang tersebut, para pemohon menguasakan keterangan kepada para kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi UU KPK. Mereka antara lain, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, hingga Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar.

Perkara No. 79/PUU-XVII/2019 itu dimohonkan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo bersama dua wakilnya, Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang. Selain mereka, sebanyak 10 tokoh antikorupsi turut menjadi penggugat.

Foto: Ashar/Ceknricek.com

Baca Juga: Sesat Nalar dalam Membaca Putusan Mahkamah Konstitusi

Permohonan Agus Rahardjo cs merupakan perkara kedelapan yang berisi gugatan terhadap UU No. 19/2010 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Satu perkara telah digugurkan karena salah objek, sehingga kini tersisa tujuh perkara yang masih hidup.

Klaim Cacat Prosedur

Dalam tuntutannya tiga Komisioner KPK menilai pembentukan UU KPK hasil revisi bertentangan dengan UUD 1945 sekaligus melanggar tiga produk perundang-undangan.

Tiga regulasi yang dimaksud adalah UU No. 12/2011  tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPR, dan DPRD, serta Peraturan DPR No. 1/2014 tentang Tata Tertib.

Klaim kecacatan prosedur tersebut dituangkan dalam materi gugatan formil UU No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Foto: Ashar/Ceknricek.com

“Pembentukan perubahan kedua UU KPK telah melanggar hak konstitusional para pemohon untuk mendapatkan jaminan dan kepastian hukum yang adil tentang proses pembentukan UU," kata Feri Amsari.

Menurut Feri, UU 19/2019 mengabaikan tiga produk hukum yang mengatur proses formal pembentukan UU. Pelanggaran tersebut ditunjukkan dalam enam indikasi.

Pertama, perubahan kedua UU KPK tidak melalui proses perencanaan dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Pemohon mencontohkan tidak masuknya RUU revisi kedua UU KPK dalam prolegnas 5 tahunan maupun prolegnas tahunan.

Kedua, UU KPK hasil revisi melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Pemohon menyebutkan semestinya tujuh asas yang harus dipenuhi meliputi (1) kejelasan tujuan, (2) kelembagaan atau pembentuk yang tepat, (3) kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, (4) dapat dilaksanakan, (5) kedayagunaan dan kehasilgunaan, (6), kejelasan rumusan, dan (7) keterbukaan.

Ketiga, pembahasan perubahan kedua UU KPK tidak dilakukan secara partisipatif. Wujud konkret dari dalil ini adalah tidak dilibatkannya pimpinan KPK dalam pembahasan, apalagi mendengar masukan publik.

Keempat, pengambilan keputusan di rapat paripurna DPR tidak kuorum. Merujuk Tatib DPR, kuorum terjadi bilamana rapat dihadiri oleh separuh total anggota DPR yang terdiri dari setengah total fraksi.

"Setidaknya 180-an anggota DPR yang titip absen sehingga seolah-olah terpenuhi kuorum 287-289 anggota DPR dianggap hadir dalam persidangan," kata Feri Amsari.

Kelima, naskah akademis dan RUU revisi UU KPK tidak dapat diakses publik. Padahal regulasi mewajibkan penyebarluasan dokumen penyusunan RUU bisa diakses di situs resmi DPR dan pemerintah.

Keenam, penyusunan revisi UU KPK tidak didasarkan pada naskah akademik yang memadai. Pemohon menilai DPR dan pemerintah tidak menguraikan landasan teori, evaluasi praktis, yuridis mengenai perubahan-perubahan materi dalam UU KPK lawas.

Setelah menjabarkan dalil-dalil kecacatan UU 19/2019, Feri Amsari meminta dalam provisi agar MK menunda pemberlakukan beleid tersebut. Adapun, dalam pokok permohonan, penggugat meminta UU 19/2019 dibatalkan.

BACA JUGA: Cek HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait