Omnibus Law, Gagasan Menyesatkan Presiden | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Omnibus Law, Gagasan Menyesatkan Presiden

Ceknricek.com -- Saat memulai masa bakti kedua, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara tegas merilis tekadnya untuk memacu kemajuan negara dengan mengusung berbagai program unggulan sekaligus terobosan, dengan tujuan akhir mendongkrak tingkat kesejahteraan rakyat. Tekad luhur presiden tersebut tentu patut mendapat sokongan yang kompatibel dari jajaran pemerintahan dan rakyat secara paralel, mutualis, dan simetris.

Wahana strategis untuk mendongkrak kesejahteraan rakyat yang menjadi fokus Presiden Jokowi adalah pertumbuhan investasi, baik asing maupun domestik, yang termaterialisasi dalam pertumbuhan atau perkembangan pelaku usaha di Indonesia. Dalam konteks demikian, sepatutnya Presiden Jokowi kecewa manakala tidak satupun dari 14 perusahaan China  tertarik untuk merelokasi bisnisnya ke Indonesia. Sebaliknya bergerombol berinvestasi ke Vietnam. Fenomena tersebut mengindikasikan Indonesia bukan merupakan negara tujuan investasi favorit.

Untuk mendongkrak favoritas Indonesia sebagai negara tujuan investasi, maka Presiden Jokowi menggulir gagasan membentuk “Omnibus Law” yang didesain menjadi payung hukum agar Indonesia menjadi negara ramah investasi. Titik berat materi muatan strategis dari Omnibus Law adalah menyederhanakan dan mengakselerasi prosedur dan proses perizinan untuk investor.

Sumber: Kompas

Baca Juga: Presiden Targetkan Omnibus Law Selesai Sebelum 100 Hari Kerja

Sebagai pribadi, kita mafhum bahwa Presiden Jokowi tidak berlatar belakang pendidikan hukum. Oleh karena itu, prognosa logisnya pengetahuan hukum Presiden Jokowi lebih berbasis pengalaman empiris, bukan teoritis. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa gagasan Omnibus Law bukan berasal dari ide pribadi Presiden Jokowi, melainkan datang dari penyelenggara negara bidang hukum.

Gagasan Menyesatkan

Sekilas lintas, gagasan membentuk Omnibus Law (OL) atau Hukum Omnibus terkesan sebagai gagasan inovatif dan mentereng, seolah sebagai panasea yang akan siap melumatkan berbagai hambatan investasi sehingga Indonesia akan menjelma menjadi negara tujuan investasi favorit. Namun demikian, perlu pula dicatat dan dipahami sebaliknya, bahwa OL juga berpotensi menjadi gagasan yang menyesatkan presiden oleh karena sejatinya OL potensial gagal menjadi panasea terhadap sengkarut persoalan investasi yang eksisting.

Dalam perspektif ilmu hukum, khususnya ilmu perundang-undangan (legislation science) ada beberapa argumen yang dapat menjelaskan mengapa OL berpotensi gagal menjadi panasea sengkarut persoalan investasi. Pertama, OL merupakan gagasan pengaturan kodifikatif, yang berarti pengaturan suatu ihwal hukum secara tertulis dan lengkap oleh suatu undang-undang. Oleh karena itu, sejatinya, OL bukanlah gagasan hukum baru dan orisinal kekinian, melainkan hanyalah gagasan klasik dalam ilmu perundang-undangan. Sebab, gagasan kodifikasi hukum senyatanya telah dipelopori oleh Napoleon Bonaparte tahun 1807 dengan membentuk Kode Civil, Kode Dagang, dan Kode Pidana.

Baca Juga: Obat Baru Bernama Omnibus Law

Namun, bagi penstudi hukum dari negara-negara Anglo Saxon yang hukumnya bertumpu pada yurisprudensi berdasarkan prinsip stare decisis, OL memang cenderung dianggap sebagai gagasan hukum yang relatif baru, seiring dengan perkembangan praktik kodifikasi berbagai yurisprudensi ke dalam satu undang-undang (law) di negara-negara Anglo Saxon. Negara Anglo Saxon yang menganut sistem hukum berbasis yurisprudensi seperti Inggris, memang sejak pertengahan abad ke-XX telah mulai tertarik mengkompilasi berbagai putusan pengadilan menjadi ke dalam suatu undang-undang (law) sehingga disebut Omnibus Law.   

Oleh karena itu, sebagai gagasan pengaturan yang bersifat kodifikatif, OL harus diawali dengan upaya mengkompilasi semua norma sejenis terkait, selanjutnya melakukan kajian mendalam dan sistematis dalam rangka melakukan sinkronisasi normatif. Akibatnya, sejatinya proses kodifikasi tidak dapat dilakukan secara instan dan serta merta, melainkan azalinya harus berlangsung cukup lama dan rumit. Dalam konteks demikian, seharusnya ada kejujuran untuk menjelaskan bahwa OL sejatinya sulit menjadi panasea investasi yang dikehendaki Presiden Jokowi.

Baca Juga: Presiden Jokowi: Yang Dikerjakan Pemerintah Membangun ‘Trust’

Kedua, sepertinya presiden kurang mendapat informasi dan pemahaman mendalam dari jajaran pemerintahan bahwa sesungguhnya persoalan investasi di Indonesia bukan semata-mata persoalan perizinan. Pada momen dan stage terkini, justru persoalan perizinan nyaris teratasi dengan aplikasi pengurusan izin melalui Online Single Submission (OSS) yang diselenggarakan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). OSS telah mengintrodusir salah satu format perizinan baru nan inovatif yang disebut “Izin Komitmen”. Persoalannya mungkin pada sosialisasi atau teknis pengurusan izin melalui OSS yang belum masif, meluas dan sistemik.

oss omnibus law
Sumber: Istimewa

Melalui format “Izin Komitmen” sebetulnya pengurusan izin tidak lagi menjadi penghambat investasi. Sebab, izin sesungguhnya dapat diurus dan diselesaikan secara paralel dengan operasionalisasi perusahaan. Memang perlu dicatat, bahwa persoalan sesungguhnya bukan nihilisasi izin, seperti IMB atau Amdal, melainkan akselerasi proses pengurusannya yang selama ini dianggap bertele, rumit, bernoda pungutan liar, serta tidak berkepastian hukum yang membuat para investor jengah dan muak.

Ketigabila menggunakan 11 indikator Ease of Doing Business (EoDB) yang diintrodusir Bank Dunia, sesungguhnya persoalan perizinan hanyalah salah satunya, artinya masih ada 10 faktor lain yang memengaruhi masuk dan berkembangnya investasi pada level setara yaitu, kemudahan memulai usaha, ketersediaan listrik, pencatatan dan peralihan aset, akses modal, perlindungan terhadap investor minoritas, beban pajak, perdagangan luar negeri, pelaksanaan kontrak, penyelesaian proses kepailitan dan ketersediaan tenaga kerja. Potensi Indonesia pada indikator selain perizinan tersebut juga menengah rendah dibandingkan negara tujuan investasi lainnya.

Sumber: Istimewa

Dengan demikian, mengkambinghitamkan faktor perizinan sebagai faktor utama penghambat masuk dan berkembangnya investasi ke Indonesia merupakan tindakan disinformasi asimetris terhadap presiden. Apalagi sampai menegasikan dan menihilkan perizinan demi meraih investasi.

Keempat, dari aspek materi muatan pengaturan, tim Omnibus Law harus mampu mencermati dan memastikan apakah persoalan pengaturan perizinan itu berada pada level norma legislasi atau sesungguhnya pada level norma pelaksanaan bahkan norma teknis prosedur? Oleh karena seringkali sengkarut pengaturan di Indonesia sejatinya tidak berada pada level norma legislasi, tapi justru pada norma pelaksanaan bahkan norma teknis prosedur.

omnibus law
Foto: Ashar/Ceknricek.com

Baca Juga: Sejumlah Buruh Gelar Aksi Demo Tolak Omnibus Law RUU "Cilaka"

Oleh karena itu, sebaiknya norma yang harus disisir dan dibenahi terlebih dahulu justru norma teknis prosedur. Sebab, secara faktual perilaku birokrasi di Indonesia cukup banyak yang mengebiri bahkan mematikan norma legislasi hanya dengan memanipulasi norma teknis prosedur. Seringkali birokrasi pemerintahan menghambat bahkan menghentikan pelayanan dan proses perizinan karena alasan pejabat sibuk rapat dan tugas luar.

Seyogyanya presiden mendapat informasi utuh bahwa Omnibus Law belum tentu menjadi panasea sengkarut investasi di Indonesia. Komprehensifitas pemahaman terhadap konsep dan konstruksi Omnibus Law tentu akan cukup mendorong Presiden Jokowi lebih bijak dalam menyikapi kondisi investasi pasca terbentuk OL, seraya membantu presiden menyiapkan daya dukung lainnya. Quo vadis Omnibus Law sebagai panasea sengkarut investasi?    

*Bahrul Ilmi Yakup, Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi, Dosen Magister Hukum Universitas Jayabaya.

BACA JUGA: Cek BIOGRAFI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait