Ceknricek.com -- Selain mengganggu kesehatan, merokok juga mengganggu isi dompet. Pada tahun depan, pemerintah akan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 23%. Itu bermakna, harga rokok juga bakal naik di minimal kisaran angka itu, bahkan bisa sampai 35%.
Jika harga rokok pada hari ini Rp20.000 per bungkus, maka pada tahun depan sudah dibandrol menjadi sekitar Rp24.600 sampai Rp27.000. Maknanya, harga rokok per batang akan menjadi Rp2.050-Rp2.250. Ini dengan asumsi sebungkus rokok isi 12 batang. Jika membeli rokok batangan di kios pinggir jalan, harga tersebut bisa lebih tinggi lagi: Rp3.000 per batang.
Mahal? Ya, memang mesti dibuat begitu. Di media sosial para pejuang kenaikan iuran BPJS memosting sindiran, “giliran membayar BPJS malas, beli rokok sehari dua bungkus enteng-enteng saja”.
Penelitian Dartanto dkk. menyebut, dalam kondisi ekonomi yang sangat pas-pasan, kaum miskin di Kediri dan Malang tetap menghabiskan sebagian pendapatannya untuk belanja rokok hingga dua bungkus per hari.
Ada keluarga penerima dana bantuan sosial yang menghabiskan hampir setengah dari kebutuhan sehari-hari untuk membeli rokok. Padahal mereka belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dan tempat tinggal yang layak.
Selama ini kebijakan cukai memang bertujuan untuk tiga hal: mengurangi konsumsi, mengatur industri, dan penerimaan negara. "Aspek yang sekarang sangat menonjol adalah peningkatan dari jumlah perokok muda, perokok perempuan, dan utamanya dari porsi konsumsi masyarakat miskin," ujar Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, Senin (16/9).
Sumber: Istimewa
Baca Juga: Ngebul Dengan Cukai Rokok
Asal tahu saja, prevalensi perokok secara global meningkat dari 32,8% menjadi 33,8%. Perokok usia anak dan remaja juga mengalami peningkatan dari 7,2% menjadi 9,1%, perokok perempuan juga meningkat dari 1,3% menjadi 4,8%. "Oleh karena itu, kita perlu perhatikan bagaimana menggunakan cukai ini dalam rangka untuk mengurangi tren kenaikan rokok tersebut," tuturnya.
Selain masalah meningkatnya jumlah perokok, Menteri Sri mengatakan, pihaknya juga mempertimbangkan unsur tenaga kerja yakni petani tembakau dan cengkeh serta buruh industri rokok terutama sigaret kretek tangan (SKT).
Sumber: Okezone
Oleh karena itu, tarif CHT yang dikenakan atas industri SKT bakal lebih rendah dibandingkan dengan industri sigaret kretek mesin (SKM) yang notabene tidak menyerap tenaga kerja sebanyak industri SKT. "Beberapa industri yang menyerap tenaga kerja seperti SKT kenaikannya sebetulnya hanya 10%. Namun, SKM yang omzetnya bisa lebih dari Rp50 miliar itu kenaikannya lebih tinggi," terangnya.
Sumber: Kabar Bisnis
Berdasarkan data Bea dan Cukai Kementerian Keuangan setiap rokok pada SKM golongan 2 menggunakan tembakau dalam negeri sebesar 72%, cengkeh 22%, dan tembakau impor 6%. Tercatat pada 2018 berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi tembakau lokal sebanyak 171.360 ton, dan hampir seluruh produksi tembakau lokal terserap oleh industri tembakau dalam negeri.
Sementara itu, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2017 produksi cengkih Indonesia lebih dari 140.000 ton sehingga membuat Indonesia masuk sebagai salah satu produsen cengkeh terbesar di dunia.
Pemerintah juga mengupayakan untuk terus menekan peredaran rokok ilegal. Survei yang dilakukan oleh UGM menunjukkan bahwa dalam 3 tahun terakhir Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berhasil menekan peredaran rokok ilegal dari 12,1% menjadi 7% pada 2018, dan diperkirakan menjadi akan 3% pada 2019.
Membangun SDM
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menganggap penaikan cukai menjadi bukti bahwa pemerintah serius menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul melalui upaya pengendalian konsumsi rokok terutama pada kalangan remaja dan masyarakat miskin.
Menurut studi PKJS-UI dan Dartanto dkk. pada 2019 terhadap perilaku merokok keluarga miskin penerima dana bantuan sosial (bansos), untuk konsumsi rokok (nilai dan kuantitas) pada keluarga tersebut lebih besar dibandingkan bukan penerima bansos.
Baca Juga: Global 2000: Ada Sumbangan Para Perokok
Keluarga penerima Program Keluarga Harapan atau PKH membelanjakan Rp3.660 per kapita per minggu dan 3,5 batang per kapita per minggu lebih tinggi dibandingkan keluarga yang bukan penerima PKH. “Pada dasarnya bansos merupakan program dengan tujuan yang bagus, namun kurang efektif akibat perilaku merokok keluarga penerima program,” ungkap Teguh Dartanto, Ketua Tim Peneliti sekaligus Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI dalam keterangan resmi, Rabu (11/9).
Aryoana Satrya, Ketua PKJS-UI, mengungkapkan hasil penelitian PKJS-UI terhadap 1.000 orang responden, 88% masyarakat dan 80,45% perokok mendukung harga rokok naik. Semakin tinggi harga rokok, jumlah konsumsi rokok akan semakin turun. Namun sebagian besar perokok mengaku akan berhenti merokok apabila harga mencapai Rp60.000-Rp70.000 per bungkus. Artinya, kenaikan cukai rokok harus signifikan membuat harga rokok menjadi lebih mahal.
Saat ini harga rokok di Indonesia masih tergolong murah, dengan rata-rata harga jual Rp17.000 per bungkus. Bahkan praktik penjualan rokok dalam bentuk eceran masih dilakukan di berbagai tempat.
Inflasi
Lebih jauh lagi, kenaikan cukai juga bakal menyumbang kenaikan inflasi. “Salah satu penyumbang inflasi tertinggi itu rokok selain bahan pangan,” ujar Peneliti Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran, Bayu Kharisma, Selasa (10/9).
Imbas dari inflasi akibat kenaikan harga rokok adalah meningkatnya angka kemiskinan. Berdasarkan Garis Kemiskinan Maret 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) RI menyebut beras dan rokok memberi kontribusi terbesar pada kemiskinan di perkotaan dan perdesaan. Pasalnya, beras masih memberi sumbangan terbesar 20,59% di perkotaan dan 25,97% di perdesaan. Sementara itu, rokok kretek menempati posisi kedua dengan sumbangan sebesar 12,22% di perkotaan dan 11,36% di pedesaan.
Sementara itu, pada Agustus 2019, kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau mengalami inflasi sebesar 0,26% atau terjadi kenaikan indeks dari 147,63 pada Juli 2019 menjadi 148,01 pada Agustus 2019.
Sumber: Kbr.id
BPS menyatakan, seluruh subkelompok pada kelompok ini mengalami inflasi, yaitu: subkelompok makanan jadi sebesar 0,30%; subkelompok minuman yang tidak beralkohol sebesar 0,06%; dan subkelompok tembakau dan minuman beralkohol sebesar 0,35%.
Kelompok ini pada Agustus 2019 memberikan andil inflasi sebesar 0,05%. Adapun komoditas yang dominan memberikan sumbangan inflasi, yaitu rokok kretek dan rokok kretek filter masing-masing sebesar 0,01%.
Cara pandang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) lain lagi. Komisioner KPPU, Kodrat Wibowo, menyarankan agar pemerintah segera menyusun roadmap cukai yang tepat sasaran, sehingga ini bisa dilaksanakan dengan risiko yang minimum. Selain itu roadmap juga perlu memastikan agar simplifikasi cukai bukan hanya untuk mendukung kesehatan masyarakat tetapi juga mencegah terjadinya perlambatan ekonomi. Terutama mengantisipasi pengusaha rokok yang gugur dan imbas pada meruginya petani tembakau serta berkurangnya jumlah tenaga kerja di industri ini.
BACA JUGA: Cek HUKUM, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.