Pendidikan, Kok, Coba-coba | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Pendidikan, Kok, Coba-coba

Ceknricek.com -- Ganti menteri ganti kebijakan. Ada kesan, negeri ini negeri coba-coba. Sungguh membahayakan jika urusan pendidikan juga coba-coba. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, akan mengganti ujian nasional atau UN dengan bentuk ujian yang lain. Sampai sekarang, ide pengganti itu masih remang-remang. Belum jelas benar. Sementara para pelajar sudah terlanjur girang karena bakal terbebas dari ruwetnya UN.

Nah, lantaran itu Kemendikbud mulai membuat kisi-kisi. Ringkasnya UN tidak dihapus, tetapi diganti dengan sistem evaluasi yang baru. Namanya asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. “Mohon maaf, kata ‘dihapus’ itu hanya headline di media agar mendapat klik,” kata Nadiem, kepada pers, belum lama ini.

Mendikbud pun menjelaskan bahwa konsep asesmen kompetensi minimum memang berbeda dengan UN. Dalam UN, siswa disodorkan untuk menjawab pertanyaan dengan mengandalkan hafalan dan hitungan. Materi yang akan diujikan dalam UN pun dinilai terlalu banyak dan memberatkan siswa. Akibatnya, guru, orang tua, dan juga siswa menjadi stres menjelang penyelenggaraan UN.

Di sisi lain, fungsi UN pun dinilai telah berubah dari tujuan semula, yakni menjadi acuan untuk mengakses sistem pendidikan, baik dari sisi sekolah, geografi, maupun penduduk. Faktanya, UN telah berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu.

Sumber: Istimewa

Baca Juga: Tak Ada UN, Leha-leha?  

Sementara itu, asesmen kompetensi minimum akan fokus pada kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi) dan kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi). Dua kompetensi dasar ini menurut Mendikbud wajib dimiliki oleh setiap individu.

Dijelaskan juga oleh Nadiem bahwa literasi merupakan kemampuan memahami konsep bacaan, bukan membaca. Sementara, numerasi bukan kemampuan menghitung, tetapi kemampuan mengaplikasikan konsep hitungan dalam konteks yang abstrak atau yang nyata. Soal-soal yang muncul dalam asesmen kompetensi minimum akan melahirkan daya analisis berdasarkan sebuah informasi, bukan memaksa siswa untuk menghafal.

Peringkat Rendah

Asesmen kompetensi minimum mengacu pada Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). PISA dijadikan ajuan dalam sistem evaluasi yang baru ini karena memang berdasarkan hasil PISA 2018 yang dirilis 3 Desember 2019, peringkat Indonesia masih berada di kelompok bawah.

Sumber: rutherford

PISA merupakan sebuah studi yang menilai 600.000 anak berusia 15 tahun dari 79 negara setiap tiga tahun sekali. Studi ini membandingkan kemampuan matematika, membaca, dan kinerja sains. Untuk kategori kemampuan membaca, Indonesia berada di peringkat enam dari bawah (peringkat 74). Skor rata-rata Indonesia 371. Peringkat pertama diduduki oleh China dengan skor rata-rata 555. Untuk kategori matematika, Indonesia berada di peringkat tujuh dari bawah (73) dengan skor rata-rata 379. Peringkat satu di kategori ini masih diduduki China dengan skor rata-rata 591.

Sumber: Factmaps

Selain menerapkan asesmen kompetensi minimum sebagai pengganti UN, Kemendikbud juga menggagas survei karakter untuk menilai penanaman dan penerapan nilai-nilai Pancasila di lingkungan sekolah. Survei ini juga akan menekankan nilai-nilai toleransi dan kebebasan berpendapat.

Baca Juga: Merdeka Belajar: Kuncinya di Guru

Perbedaan lainnya antara sistem asesmen dengan UN adalah pada penyelenggaraan ujian. UN dilakukan pada kelas VI, kelas IX, dan kelas XII, sedangkan ujian asesmen digelar bukan di ujung jenjang sekolah seperti UN selama ini, melainkan di tengah jenjang pendidikan. Sebut saja misalnya saat di kelas 4 SD, kelas 8 SMP, dan kelas 11 SMA. Alasannya, ujian di tengah jenjang memungkinkan pihak pendidik punya waktu untuk memperbaiki kualitas siswa sebelum lulus dalam suatu jenjang, baik di jenjang SD, SMP, atau SMA. Perbaikan berdasarkan hasil asesmen dan survei tak akan bisa dilakukan bila hasilnya baru diketahui di akhir jenjang pendidikan.

Hasil dari asesmen ini menjadi pegangan untuk siswa maupun guru, khususnya dalam memperhatikan siswa yang membutuhkan bantuan ekstra agar kualitasnya bisa ditingkatkan sesuai target. Penerapan asesmen di tengah jenjang juga dimaksudkan agar tak ada lagi ujian akhir yang selama ini malah menjadi beban bagi siswa dan orang tua.

Melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud Totok Suprayitno, Kemendikbud menampik bahwa sistem evaluasi pengganti UN ini adalah rencana dadakan. Asesmen kompetensi minimum dan survei karakter telah diuji dan dirintis sejak lama. “Sama sekali tidak coba-coba. Sangat bahaya pendidikan itu coba-coba. Apakah akan menjamin? Insyaallah lebih baik,” ujar Totok.

Sumber: Gatra

Sebenarnya, sebelum pemerintah memutuskan untuk mengganti UN dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter, telah dilakukan kajian terlebih dahulu. Bahkan, kebijakan ini sudah diterapkan dalam sistem pendidikan Indonesia pada awal 2019 berbentuk sistem Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI).

Sistem tersebut menjadi acuan guru untuk mengetahui kekurangan dalam mengajar sehingga dapat melakukan perbaikan. Totok menekankan sistem asesmen tidak menjadi tolok ukur peserta didik lulus atau tidak, tetapi untuk mengukur seberapa pandai siswa tersebut. Kelulusan siswa tetap menjadi kewenangan sekolah.

Peran Guru

Jadi, Totok mengatakan penggantian UN ke arah asesmen kompetensi, literacynumeracy, dan survey karakter. Kenapa ini dilakukan? UN selama ini telah mengokupasi, mendominasi hampir seluruh praktik pendidikan. UN yang dimaksudkan hanya melakukan asesmen secara kognitif, mata pelajaran berbasis konten. Kemudian, keterbatasan-keterbatasan lain seperti pilihan ganda itu telah di-abuse menjadi keseharian sekolah. Ini bahaya untuk proses pendidikan. Seolah-olah kurikulum tereduksi hanya seperti UN. Bisa enggak merasakan denyut pendidikan yang didominasi UN? “Itu yang harus kita ubah” ujar Totok.

Sumber: Istimewa

Caranya, pertama, hidupkan asesmen formatif di setiap sekolah oleh guru. Jadi yang berhak melakukan evaluasi terhadap siswa itu adalah guru. Itu amanah UU Sisdiknas pasal 58. Pasal ini mengatur bahwa yang melakukan asesmen terhadap peserta didik adalah guru.

Model asesmen-nya seperti apa? Bukan model asesmen seperti UN, pilihan ganda, yang berbasis hanya pada pengetahuan tentang konten isi mata pelajaran. Ke depannya, anak-anak harus diarahkan pada penguasaan kompetensi bernalar, kemampuan berpikir kritis, kemampuan kreatif untuk memecahkan persoalan, dan pembentukan karakter.

Baca Juga: FDS: Mengenang yang Gagal

Kemudian juga asesmen terhadap portfolio yang lain. Yang dimaksud anak pintar itu tidak hanya yang jago tes. Tapi portfolio yang lain seperti pintar menari, olahraga, dan kemampuan lainnya melalui asesmen di sekolah masing-masing oleh para guru. Jangan sampai proses ini hilang karena semuanya mengarahkan seperti UN. Hanya tes kemampuan menguasai mata pelajaran.

Pengganti asesmen berbasis kompetensi penalaran ini sudah punya embrionya sejak awal dan sudah mulai dilakukan ujicoba. Jadi sama sekali bukan untuk coba-coba. Sangat berbahaya kalau pendidikan itu coba-coba. “Insya Allah akan lebih baik dan kami punya keyakinan bahwa asesmen model ini yang mengarahkan kepada penguasaan kompetensi bernalar itu sesuai dengan kaidah-kaidah pendidikan, katanya.

Sumber: Istimewa

Asesmen ini hanya memberikan cermin, alat refleksi bagi guru supaya tahu kekurangannya di mana sehingga kalau guru melakukan perbaikan kompetensi, baik oleh dirinya sendiri atau dibantu guru lain, dibantu pemerintah, maka dasarnya sudah ada.

Misalnya, pengetahuan anak tentang matematika kurang, guru harus melakukan refleksi kenapa anak-anak tidak menguasai itu. Jadi di sinilah lebih mengarahkan program peningkatan kompetensi bagi guru.

Asesmen untuk perbaikan belajar. Asesmen bukan untuk men-judge siswa pintar atau kurang pintar, lulus atau tidak. Yang berhak meluluskan itu adalah sekolah berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh guru.

Asesmen tetap ada standarnya. Ada parameternya dengan tingkat penalaran antara dunia pengetahuan dan kehidupan sehari-hari. Misalnya kaitan berhitung matematika dengan contoh membeli barang kebutuhan sehari-hari.

Asesmen kompetensi ini bukan penilaian terhadap siswa, tetapi memberikan evaluasi terhadap sekolah. Ini dilakukan agar gurunya tahu mendalam kekurangan masing-masing siswanya dan sekolah juga tahu. Misalnya, mayoritas siswa mengalami kekurangan di dalam literacy, maka guru dan sekolah harus melakukan perbaikan kompetensi melalui bahasa.

Ijazah dan rapornya bagaimana? Ijazah tetap ada. Tapi tidak terpatok nanti seperti apa. Tidak terjebak dengan teknis dan detail bentuk rapor, ijazah. Soal kenaikan jenjang, itu ada penyelenggaraan ujian atau asesmen diselenggarakan oleh sekolah. Jadi bukan berdasarkan ujian nasional. Masih ada waktu perbaikan dua tahun sampai naik dari jenjang SD ke SMP. Dari SMP ke SMA, Dari SMA hingga lulus ke perguruan tinggi.

Dari berbagai survei, yang diperlukan anak-anak itu ke depannya tidak hanya kompetensi, tetapi karakter, moral, dan integritas juga sangat diperlukan. Kemampuan berkolaborasi bahkan bisa lebih penting daripada kepandaian. Kemampuan memahami, respect, toleransi bisa lebih penting untuk karir dan masa depannya daripada kecerdasan otak saja.

Di dunia kreatif, enggak hanya butuh sekadar orang pintar, tetapi juga butuh yang bisa menghormati orang lain, memahami perbedaan pendapat. 

BACA JUGA: Cek BIOGRAFI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait