Perlu Obat Kuat Deindustrialisasi Dini   | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Perlu Obat Kuat Deindustrialisasi Dini  

Ceknricek.com -- Selamat Tahun Baru 2020. Mari kita jalani tahun ini lebih optimistis. Meski tantangan akan semakin berat ke depannya. Indonesia akan memasuki era yang berubah. Era bonus demografi. Sebuah era yang ditandai oleh dominasi penduduk usia produktif. Puncaknya tahun 2030-2040. Sayangnya, kondisi itu dibayangi hantu middle income trap. Para ekonom memperingatkan jika laju pertumbuhan ekonomi hanya rata-rata 5,03% seperti lima tahun terakhir, Indonesia bakal gagal memanfaatkan bonus itu. 

Saat ini, penduduk Indonesia usia produktif, 15 hingga 64 tahun, sudah mencapai 68% dari total penduduk atau sekitar 196 juta. Kondisi ini diharapkan menjadi modal untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan mengerek tingkat kesejahteraan bangsa ini ke level yang diharapkan para pendiri bangsa. Harapan ini hanya mungkin terwujud jika ada lapangan pekerjaan yang kian terbuka dan tersedianya tenaga kerja produktif.

Tapi, justru di sini masalahnya. Sektor industri manufaktur yang diharapkan menampung tenaga kerja yang berasal dari sektor pertanian justru mengalami deindustrialisasi dini. Satu hal yang semestinya belum terjadi pada perjalanan ekonomi Indonesia.

Meskipun pembangunan di Indonesia telah mengalami transformasi struktur ekonomi dan berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, namun masih menyisakan residu bagi keberlanjutan pembangunan perekonomian. Pangsa sektor primer (pertanian) semakin berkurang dan diiringi dengan meningkatnya pangsa sektor sekunder (industri) terhadap PDB.

Sumber: Istimewa

Menjadi masalah karena peningkatan pangsa sektor industri cenderung menurun dan stagnan sebelum mencapai titik optimum. Sementara pada saat yang bersamaan, pangsa sektor tersier (jasa) terhadap PDB cenderung meningkat. Artinya, terjadi inkonsistensi dalam transformasi struktur ekonomi agraris ke industrialisasi. Kondisi ini juga sering disebut deindustrialisasi dini. Bambang Brodjonegoro saat masih menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutnya deindustrialisasi prematur.

Baca Juga: Bayang-bayang Muram Industri Otomotif

Ekonom senior Indef, Didik Rachbini, pernah membandingkan deindustriaisasi saat ini dengan masa pemerintahan Soeharto. Dia biang saat ini, sektor industri hanya tumbuh sekitar 3% dan tak mampu mendongkrak ekonomi agar tumbuh lebih tinggi. Pemerintah menyebut ekonomi Indonesia melemah karena terpengaruh dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan China.

Namun jauh sebelum itu, kata Didik, ekonomi Indonesia sebenarnya juga sempat mengalami pelemahan di tahun 1982, di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat, saat itu ekonomi global tumbuh minus 2%. Sementara, harga minyak tengah jatuh ke level US$5 per barel.

Didik Rachbini. Sumber: Istimewa

Akibatnya, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 2,2%. Situasi ini tak lepas dari struktur APBN Indonesia kala itu yang 90% bergantung pada ekspor minyak. “Mestinya saat itu Pak Harto jatuh, tapi nyatanya tidak,” kata Didik berkelakar. Namun dalam situasi ini, kata dia, Soeharto justru berhasil melakukan deregulasi industri.

Dengan kebijakan ini, industri Indonesia tumbuh hingga 10% dan menyumbang hampir 40% dari keseluruhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Situasi ini, kata dia, seharusnya bisa bertahan hingga 30 tahun kemudian. Namun kenyataan berkata lain. Tahun 2010, kontribusi industri pada PDB hanya 22% dan terus turun hingga 19,8% pada kuartal kedua 2018. Kondisi inilah yang disebut deindustrialisasi dini.

Selama sepuluh tahun terakhir, laju pertumbuhan industri manufaktur justru di bawah laju pertumbuhan ekonomi. Kontribusinya terhadap PDB menurun. Jika pada 2008, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB sebesar 27,9%, pada kuartal kedua 2019 tinggal 20%. Kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja relatif lambat, yakni 14% pada kuartal kedua 2019, naik tipis dari 12% pada 2008.

Sumber: Istimewa

Tidak Produktif

Negara-negara yang menikmati bonus demografi baru mengalami deindustrialisasi saat kontribusi industri terhadap PDB di atas 35-40%. Selanjutnya, kontribusi terbesar tehadap PDB diambil alih sektor jasa. Tapi, kontribusi industri terhadap PDB di Indonesia hanya mencapai 27,9% dan cenderung kian turun. Inilah deindustrialisasi dini yang perlu segera diatasi. 

Baca Juga: Otomotif: Lesu di Dalam, Gairah ke Luar

Sudah begitu, mayoritas tenaga kerja Indonesia usia produktif, ternyata, tidak produktif. Mereka tidak cukup memiliki keterampilan untuk bersaing. Survei Badan Pusat Statistik (BPS), Februari 2019, menunjukkan angkatan kerja Indonesia mencapai 136,18 juta. Dari jumlah itu, yang bekerja 129 juta. Pengangguran terbuka 6,8 juta atau 5,13%. Mereka yang bekerja penuh, 35 jam seminggu, sekitar 90 juta. Sebagian penduduk yang bekerja sesungguhnya hanya bekerja beberapa jam sehari. 

Sumber: Pikiran Rakyat

Meski angka pengangguran terbuka sudah di bawah 7 juta, jumlah penduduk miskin absolut masih 25,1 juta atau 9,4% dari total penduduk. BPS pada survei Maret 2019 menggunakan garis kemiskinan Rp425.250 per kapita per bulan, atau Rp2,1 juta per bulan untuk rumah tangga dengan lima anggota. Masih sangat besar penduduk yang berada dekat garis kemiskinan. 

Jika ada kenaikan harga pangan, kelompok ini langsung masuk absolute poor. Sekitar 70% pengeluaran untuk menghitung garis kemiskinan digunakan untuk membeli pangan. Mereka yang berada dekat garis kemiskinan atau near poor tidak kurang dari 65 juta. 

Dalam kondisi seperti ini, langkah penting yang harus dilakukan pemerintah adalah membuka lapangan pekerjaan. Melihat lahan pertanian, terutama di Jawa, yang kian menyempit, satu petani rata-rata memiliki lahan kurang dari 2.000 meter persegi, sektor usaha yang perlu dikembangkan adalah industri manufaktur. Karena itu, reindustralisasi perlu dijalankan dengan lebih baik dan terencana. 

Baca Juga: BPS: Ekspor Sektor Industri Manufaktur Tertinggi Dibanding Sektor Lain

Sumber: Istimewa

Semua negara maju di dunia mencatat laju pertumbuhan ekonomi di atas 7% ketika mereka menikmati bonus demografi. Jepang dan Korsel malah meraih pertumbuhan ekonomi di atas 10% lebih dari satu dekade. Mengikuti negara maju, laju pertumbuhan ekonomi China pernah di atas 7% dalam beberapa dekade dan hampir satu dekade membukukan pertumbuhan dua digit. 

Sejak Deng Xiao Ping mereformasi ekonomi China akhir dekade 1970-an, negeri itu membangun industri baja di berbagai wilayah. Industri dibangun terintegrasi di dekat pelabuhan. Industri hulu, industri antara, hingga industri hilir dibangun di satu kawasan agar efisien. 

Deng Xiao Ping. Sumber: Istimewa

Presiden Jokowi pada tahun 2018 mengumumkan lima sektor industri yang hendak dibangun, yakni industri makanan dan minuman (mamin), industri TPT, industri elektronik, industri otomotif dan industri petrokimia. Kelima sektor ini dipilih Jokowi karena menyerap banyak tenaga kerja, mendorong ekspor dan mampu menggerakkan roda pertumbuhan ekonomi. 

Kebijakan ini perlu didukung oleh semua kementerian. Tidak cukup hanya Kementerian Perindustrian. Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal memainkan peranan sangat besar. Banyak industri yang terpaksa ditutup karena kebijakan fiskal yang tidak mendukung. Bea masuk (BM) komponen lebih tinggi dari BM barang jadi. Akibatnya, industri manufaktur nasional tidak mampu bersaing dengan produk impor. Banyak pengusaha menutup pabrik dan memilih menjadi pedagang. 

Sumber: Istimewa

Baca Juga: Hingga November, Defisit APBN 2019 Sebesar Rp368,9 Triliun

Industri pengolahan dalam negeri lebih memilih impor bahan baku daripada membeli bahan baku sejenis dari dalam negeri. Sebab, membeli bahan baku dari dalam negeri dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) lebih mahal. Sebaliknya, produsen bahan baku lebih memilih ekspor karena pajak ekspor lebih rendah dibanding PPN yang dikenakan bila mereka menjual produk yang sama ke pabrik di dalam negeri. 

Reindustriaisasi

Pada periode kedua ini, hendaknya menjadi momentum bagi Presiden Jokowi untuk melakukan reindustrialisasi. Pemerintah perlu menerbitkan paket kebijakan ekonomi yang mendorong lahirnya pelaku industri baru di samping membangkitkan kembali pemain lama yang sedang mati suri. 

Sumber: Istimewa

Lima sektor industri manufaktur yang sudah ditentukan Presiden Jokowi harus mampu bertumbuh signifikan. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dibangun di berbagai provinsi harus dilengkapi dengan infrastruktur dan kebijakan ekonomi pusat dan daerah. Agar tak mengulangi kegagalan masa lalu, KEK harus dikelola dengan lebih profesional. Untuk menarik investasi, BM komponen dan bahan baku ke KEK dihapus. Untuk mendorong efisiensi, industri hulu dan industri antara perlu dibangun di satu kawasan dengan industri hilir. Industri hulu perlu diberikan tax holiday, sedikitnya lima tahun pertama. 

Iklim investasi perlu diperbaiki dengan lebih sistematis dan serius. Pejabat di birokrasi yang menghambat perlu dikenakan sanksi keras guna memberikan efek jera. Pelayanan satu atap tak boleh lagi sekadar basa-basi. Kepastian hukum harus diberikan kepada setiap investor. 

Jika reindustrialisasi gagal, Indonesia bakal terkena middle income trap dan terancam terdegradasi ke kelompok low income country. Tanpa ada kemajuan industri manufaktur, bonus demografi hanya akan mengakibatkan bencana demografi. Karena itu, reindustrialisasi harus sukses agar pada tahun 2045, saat merayakan HUT kemerdekaan ke-100, Indonesia sudah masuk negara maju dan sejahtera dengan tingkat keadilan sosial yang merata.

BACA JUGA: Cek Berita FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait