Tak Ada Tebu, Tak Ada Gula | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Sumber: Kbr.id

Tak Ada Tebu, Tak Ada Gula

Ceknricek.com -- Pabrik Gula (PG) Sindanglaut menghentikan produksi pada tahun ini. Pabrik peninggalan Belanda yang berlokasi di Desa Cipeujeuh Wetan, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat ini beroperasi rutin sejak 1898. Kini usianya sudah sepuh: 122 tahun. Tapi bukan masalah itu, mesin si manis ini berhenti bekerja.

Sindanglaut berhenti berproduksi karena tebu yang tersedia amat minim. Di wilayah ini ada dua pabrik gula. Selain PG Sindanglaut, ada juga PG Tersana Baru. Satu pabrik gula saja sanggup menggeling tebu hasil produksi daerah ini.

Luas lahan di PG Sindanglaut sekitar 1.800 hektare dan di PG Tersana Baru sekitar 2.700 hektare. Tebu yang dihasilkan lahan seluas itu hanya cukup untuk satu pabrik saja. PG Tersana Baru sendiri berlokasi di Babakan Gebang, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon. 

Tak Ada Tebu, Tak Ada Gula
Sumber: Katadata

PG Sindanglaut mengalah karena PG Tersana Baru lebih memiliki banyak keunggulan. Kapasitas giling Tersana Baru lebih besar. Performanya juga jauh lebih sehat dan bagus.

Lagi pula, PG Sindanglaut terus merugi. Pada 2016 kerugian hanya Rp430 juta. Naik menjadi Rp1,5 miliar pada 2017. Tahun berikutnya, kerugian menggila menjadi Rp5,5 miliar. Terakhir, pada tahun lalu, kerugian tercatat Rp1,5 miliar. 

PG Sindanglaut dan PG Tersana Baru adalah dua dari lima pabrik di bawah naungan PG Rajawali II yang merupakan grup usaha PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Selain lima pabrik gula, Rajawali juga memiliki satu  pabrik alkohol, satu pabrik rem, dan satu apotek. Semua ada di Cirebon, Jawa Barat.

Tak Ada Tebu, Tak Ada Gula
Sumber: Antara

Kini pabrik gula yang beroperasi tinggal tiga, yakni PG Jatitujuh, PG Subang, dan PG Tersana Baru. Dua lainnya, PG Sindang Laut dan PG Karangsuwung berhenti beroperasi.

Pada 2018, pabrik gula di Subang juga tutup. Gara-garanya sama: kekurangan bahan baku. Saat ini, dari lahan tebu di Jabar yang semula 22.000 hektare (ha), tersisa tinggal 10.000-11.000 ha, itupun tebu rakyat hanya 3.000-4.000 ha dan sisanya hak guna usaha (HGU).

Terkikis

Bukan hanya di Jawa Barat. Dalam beberapa tahun terakhir, luas perkebunan tebu di Indonesia juga terkikis, terutama di Jawa. Pada tahun 2014, luas lahan tebu masih berada di angka 478.108 ha. Namun pada 2017, tersisa 453.456 ha. Ada penurunan luas areal lahan hingga 24.652 ha lahan dalam 3 tahun. Pada 2019 area tebu seluas 453.000 ha.

Lahan tebu yang menyusut, akibatnya fatal. Revitalisasi pabrik gula tua yang digalakkan pemerintah menjadi sia-sia. Impor gula pun menjadi tuntutan. Revitalisasi pabrik mesti diimbangi dengan tercukupinya pasokan dari perkebunan tebu. Revitalisasi hasilnya nol kalau tidak ada yang digiling. 

Berkurangnya lahan tebu membuat produksi gula tidak bertambah. Pada tahun 2014, produksi tebu nasional mencapai 2,58 juta ton, kemudian menciut menjadi 2,46 juta ton pada tahun 2017. Pada 2018 lebih rendah lagi menjadi 2,17 ton. Kementerian Pertanian mencatat pada 2019 ada perbaikan, kendati sedikit di bawah produksi 2017. Produksi gula diperkirakan 2,4 juta ton.

Tak Ada Tebu, Tak Ada Gula
Sumber: Katadata

Menurut Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono, tumbuhnya produksi pada 2019 karena ada tujuh pabrik gula baru yang beroperasi. “Tujuh pabrik gula sudah jalan. Ini sudah berbasis tebu meski belum memenuhi seluruh kapasitas terpasang,” ujarnya, belum lama ini.

Baca juga: Berharap Si Manis dari Hindustan

Kementan mendorong pabrik gula memenuhi kewajiban pemenuhan kebun tebu sesuai kapasitas terpasang. “Berdasarkan catatan kami, sejauh ini pemenuhan area kebun berkisar 29% sampai 30%. Kami terus dorong agar produksinya berbasis tebu dari kebun sendiri. Tahun kedua target luasan akan terus meningkat,” ujarnya.

Tak Ada Tebu, Tak Ada Gula
Sumber: Istimewa

Pemerintah menargetkan luas perkebunan tebu bisa mencapai 735.000 ha pada 2029. Bila itu tercapai, Indonesia bisa mewujudkan swasembada gula pada 2029. Dengan luas kebun 735.000 ha, Indonesia diprediksi mampu memproduksi hingga 5,9 juta ton gula per tahun. Itu hanya target saja. Sudah berkali-kali dalam urusan gula target pemerintah selalu kandas.  

Tahun lalu, Kementan disebut-sebut berencana membangun pabrik gula dengan nilai investasi sebesar Rp41,44 triliun di enam titik lokasi. Keenam lokasi yang dimaksud adalah di Bombana, Lamongan, Sumba Timur, Sumbawa, Lampung, dan Ogan Komering Ilir. Dengan pembangunan tersebut, Kementan menargetkan produksi gula tahun ini bisa mencapai 3,8 juta ton dan pada 2020 dapat memenuhi kebutuhan nasional. Nyatanya, produksi gula masih tak banyak bergerak sampai saat ini.

Kasdi menyebutkan perluasan lahan perkebunan tebu akan difokuskan pada area di luar Jawa. “Kita mau memperluas plasma seluas-luasnya di luar Jawa karena kalau memperluas di Jawa kan agak sulit, bukan berarti kalau di Jawa tidak boleh,” katanya.

Bukan Salah Pabrik

Pabrik gula tampaknya memang perlu bertransmigrasi ke luar Jawa. Jangan bertahan di Jawa. Ketua Umum Perhepi Hermanto Siregar menyarankan agar pemerintah mendorong tumbuhnya industri-industri pabrik gula sekaligus area pertanaman tebu di luar Jawa. Sebab di luar Jawa ketersediaan lahan masih cukup besar dan potensial untuk membudidayakan tebu sebagai basis utama penghasil gula.

Di sisi lain, Hermanto berpendapat, revitalisasi pabrik gula tetap perlu karena mesin-mesinnya banyak yang tua dan itu membuat rendemen gula jadi rendah. Senada dengan Hermanto, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengatakan bahwa kondisi pabrik gula di tanah air sangat memprihatinkan. Soalnya, dari sebanyak 63 pabrik gula yang ada, sekitar 40 di antaranya berusia lebih dari 100 tahun, dan yang tertua mencapai 184 tahun.

Tak Ada Tebu, Tak Ada Gula
Sumber: Katadata

Lalu, benarkan revitalisasi pabrik menjadi kata kunci untuk mendongkrak produksi gula nasional? Tenaga Ahli Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Yadi Yusriadi tidak sependapat. Menurut dia, penurunan produksi gula bukan karena salah pabriknya. Biang keroknya justru karena kualitas tebu yang dihasilkan. “Efisiensi antara pabrik lama dan baru tidak berbeda. Yang menentukan banyaknya gula diproduksi adalah kualitas tebu,” ujarnya.

Baca juga: Berkah Lebaran: Si Manis yang Kian Menarik

Menurutnya, antara pabrik lama dengan pabrik baru jika dihitung efisiensinya berada di angka 7,9% untuk pabrik lama dan 8,2% untuk pabrik baru. Artinya, soal  produksi gula nasional bukan disebabkan  oleh pabriknya, melainkan karena tebunya. “Sudah banyak pabrik yang direvitalisasi, dan angka efisiensinya tidak jauh berbeda dengan yang baru.” 

Tak Ada Tebu, Tak Ada Gula
Sumber: Katadata

Revitalisasi pabrik gula sebenarnya tidaklah susah. Teknologi yang dibutuhkan pun tidak terlalu canggih. Namun, revitalisasi pabrik gula akan percuma jika pasokan tebu sebagai bahan baku gula di bawah kapasitas pabrik. Investor pun akan ragu kalau produksi tebu tidak mencukupi kebutuhan pabrik. Faktanya memang sejauh ini kestabilan produksi tebu para petani masih sulit dijaga. 

Ini terjadi karena kesejahteraan petani tebu tidak serta merta meningkat setelah pabrik gula direvitalisasi. Itu sebabnya, petani enggan menanam tebu. Dalam konteks ini, kemitraan yang baik antara petani tebu dan pabrik gula akan menjadi kunci bagi peningkatan produkvitas gula nasional. Jika ini tak dilakukan, tak ada tebu maka tak ada gula.

BACA JUGA: Cek EKONOMI & BISNIS, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait