Eros Djarot: Harus Ada Penataan Kembali Perfilman | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Eros Djarot: Harus Ada Penataan Kembali Perfilman

Ceknricek.com -- Meskipun lama tidak aktif di perfilman, sutradara, pencipta lagu, dan ikon perlawanan terhadap monopoli perfilman tahun 90-an, Eros Djarot, masih memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perfilman. Itu dibuktikan dengan kehadirannya dalam pemutaran khusus film Ku Tak Percaya Kamu Mati, di Epicentrum XXI, Minggu (6/10).

Sebagai bentuk rasa pedulinya, Eros mengimbau agar masyarakat, terutama anak-anak dan remaja datang ke bioskop untuk menyaksikan film tersebut, yang dinilainya dapat memberikan pendidikan moral dan etika yang baik. 

“Ini film yang bagus ya untuk mendidik anak-anak kita, yang sekarang telah kehilangan arah karena menyaksikan tontonan yang tidak sesuai dengan budaya kita sendiri. Kita harus dukung film-film seperti ini,” kata adik kandung aktor kawakan Slamet Rahardjo itu.

Eros Djarot: Harus Ada Penataan Kembali Perfilman
Sumber: Liputan6.com

Dalam kesempatan itu, Eros Djarot juga menanggapi keluhan wanita sutradara dan produser film 6.9 Detik, Lola Amaria, yang merasa diperlakukan kurang adil oleh jaringan Bioskop 21. Menurutnya, apa yang dialami Lola merupakan dampak dari penghancuran rantai ekosistem perfilman Indonesia sejak 20 tahun lalu. 

Sebelumnya, sebagaimana ditulis HarianPelita.co (26/9), Lola mengeluh karena filmnya 6.9 Detik hanya mendapatkan 11 layar di Jakarta. Yang membuatnya masygul, 3 layar yang dimintanya, di Kemang Village, Megaria, dan Gading, tidak dipenuhi oleh pihak 21/XXI.

“Padahal tiga tempat itu, akan banyak kegiatan nonton bareng dari berbagai komunitas. Juga Komunitas Panjat Tebing Indonesia. Terpaksa saya harus memindahkan nobar (nonton bareng), meski sudah kami schedule jauh-jauh hari,” kata Lola.

Pihak Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang diharapkan memberi dukungan, malah lepas tangan dan justru balik mengecam wanita sutradara dan produser tersebut. 

Dalam kesempatan tersebut, Eros Djarot tidak hanya berbicara mengenai kasus Lola Amaria, tetapi tentang masalah perfilman secara umum, khususnya menyangkut bioskop dan tata edar. 

Masalah Klasik

Menurut Eros,  apa yang dialami oleh Lola Amaria merupakan masalah klasik yang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah hingga saat ini.

“Memang seharusnya ada penataan kembali perfilman kita. Pemerintah harus melihat hal ini. Ini yang saya khawatirkan sejak 20 tahun lalu!,” tandasnya. 

Pada tahun 80-an, paparnya, film Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, karena di daerah tingkat II jadi basis perfilman Indonesia. Tetapi kemudian, basis film Indonesia itu dihancurkan oleh satu sistem yang menurutnya, rusak sekali. Apa yang dialami Lola saat ini adalah akibat dari itu semua. “Jadi Lola juga harus memahami bahwa perjuangan panjang masih harus kita lakukan!” 

Ke depan, Eros menegaskan, harus ada pembatasan pelebaran sayap bioskop di satu tangan, karena itu bahaya. Harus ada grup lain (pengusaha bioskop) atau pemerintah harus memberikan peluang yang lebih banyak lagi dari kemungkinan kembalinya perbioskopan nasional seperti dulu di tahun 80-an.

Eros Djarot: Harus Ada Penataan Kembali Perfilman
Foto: Istimewa

Baca Juga: Menanti FFI Sebagai Barometer Prestasi dan Ajang Silaturahmi

“Memang inilah realitas yang saya khawatirkan 20 tahun lalu. Mudah-mudahan Pak Jokowi tidak hanya memikirkan pemindahan ibu kota, tetapi juga memikirkan pemindahan hak-hak rakyat untuk mendapatkan bioskop di tingkat II dan tidak usah lagi dengan grup yang telah menggurita. Sehingga terkesan monopoli. Ya seperti inilah akhirnya!”

Mengapa persoalan yang sudah diperjuangkannya sejak 20 tahun lalu masih saja belum selesai dan tetap menimbulkan masalah, menurut tokoh perfilman kelahiran Rangkasbitung, 22 Juli 1950 itu karena pemerintah belum melihat pentingnya perfilman bagi masyarakat.

Eros Djarot: Harus Ada Penataan Kembali Perfilman
Foto: Istimewa

“Sekarang kita lihat ya, dengan reading society meninggal, justru sosmed dan gedung-gedung bioskop itu menjadi tempat pembelajaran anak-anak milennium. Kalau mereka belajar dari film-film yang jauh dari kebudayaan kita, mau jadi apa anak-anak negeri ini? Akhirnya seperti ini kan? Kita lihat bagaimana perkembangan anak-anak muda kita tidak pahami lagi, ini anak Indonesia atau anak mana? Karena mereka belajar dari bioskop-bioskop ya,” kata sutradara Tjoet Nya Dhien, Film Terbaik FFI 1988 itu. 

Basis film Indonesia menurutnya ada di daerah tingkat II, karena di Tingkat I masyarakatnya mengonsumsi film-film luar yang tidak bisa dibandingkan dengan film Indonesia, karena bujet produksinya saja jauh lebih besar. Jika film Indonesia baru diproduksi dengan biaya 1-20 milyar, film Hollywood sudah menghabiskan bujet 300-500 juta dolar.

Tidak kunjung lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) dari UU Pefilman yang sudah ada sejak 2009, menurut Eros,  karena pemerintah belum melihat kebutuhan. Padahal sejak Perang Dunia II atau masa-masa perang dingin, cuma ada dua hal yang menjadi perhatian utama negara-negara besar, yakni energy dan film. 

Orang-orang di Eropa atau Amerika memahami bahwa film adalah salah satu senjata yang paling ampuh untuk mempengaruhi manusia dan kehidupan manusia.

Eros mengungkap apa yang dialaminya, ketika ia, pada tahun 90-an, melawan monopoli perfilman yang di belakangnya Amerika. Sektor film, menurut Eros, tidak banyak kok penghasilannya bagi Amerika. Tetapi ketika ia melawan, ekspor tekstil ke Amerika yang nilainya sangat besar, diancam. 

Eros Djarot: Harus Ada Penataan Kembali Perfilman
Foto: Istimewa

“Berapa ratus triliun dollar (nilai ekspor Indonesia ) itu kan? Sedangkan dari sini (penghasilan film Amerika) cuma miliunan aja kali ya? Itu pun enggak sampe seratus miliun. Tapi kenapa sanksi yang diberikan kepada kita sampe biliunan dolar? Karena Amerika tidak mau film-filmnya tidak beredar di sini. Karena dengan film itulah, gaya hidup Amerika, pola pikir Amerika masuk ke pola pikir anak-anak. Nah ini kan pemerintah enggak ngerti gituan. Jadi dikasih begitu aja alat propaganda itu yang seharusnya jadi milik Indonesia!,” papar Eros. 

Ketika diingatkan bahwa perfilman tidak hanya diurus oleh pemerintah, tetapi juga ada lembaga seperti Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang isinya orang-orang film, Eros dengan tegas mengatakan bahwa semua organisasi perfilman sejak dulu sudah terbeli oleh kepentingan tertentu.

“Dulu kan semuanya dibeli! Semuanya apa sih? Ada GPBSI, Dewan Film, ada ini ada itu, tetapi kan semuanya orang-orang mereka juga. Saya kan dulu melakukan perlawanan. Tapi itu semua dibeli kok. Orang-orang film sendiri dulu memerangi saya. Ngatain saya destroyerlah, apalah. Tapi sekarang apa yang terjadi kan? Yang rusak kan perfilman Indonesia sendiri. Mana coba di kabupaten dan kota ya, mana ada bioskop? Ya adalah tapi sedikit di kota-kota provinsi. Tapi kan di daerah tingkat II hancur semua! Padahal itu akarnya film nasional! 

Ikon Perlawanan 

Sekadar mengingatkan, nama Eros Djarot pada tahun 90-an merupakan ikon perlawanan terhadap monopoli perfilman yang dilakukan oleh Grup Subentra (pemilik jaringan bioskop Twenty One (21) yang kini berubah nama menjadi XXI.

Akibat perlawanannya itu, salah satu filmnya “Langitku Rumahku” yang baru main satu hari di bioskop diturunkan oleh PT Perfin, yang menjadi pengatur tata edar film di Indonesia di masa Orde Baru. Banyak yang mengatakan tindakan yang dilakukan oleh PT Perfin bukanlah semata-mata kebijakannya sendiri, melainkan ada pihak lain yang menjadi aktor intelektualnya. 

Eros bersama Sophan Sophiaan (almarhum) dan ratusan insan film, terutama dari kalangan organisasi Karyawan Film dan Televisi (KFT), meminta agar pemerintah menghapus monopoli perfilman yang dilakukan oleh Subentra Grup milik pengusaha Sudwikatmono (almarhum). 

Eros Djarot: Harus Ada Penataan Kembali Perfilman
Foto: Istimewa

Baca Juga: Apa yang Kau Cari Parfi?

Eros bersama Sophan dan masyarakat perfilman melakukan protes ke DPR dan bertemu dengan Mendagri Rudini, tetapi kemudian perjuangannya kandas! Pihak Amerika membuka peluang bagi siapapun untuk menjadi distributor film Amerika di Indonesia, tetapi kemudian, lagi-lagi, perusahaan yang juga dmiliki oleh pemilik jaringan bioskop 21 menjadi “pemenang”.

Sejak itu langkah jaringan bioskop 21 tidak terbendung. Jumlah bioskop yang dimilikinya terus bertambah. Tahun 2018 saja dari 1.641 layar bioskop yang ada di Indonesia, 1.003 layar di antaranya dimiliki oleh XXI. Sisanya dimiliki oleh Cinemaxx dan CGV blitz, serta bioskop independen. 

Selain memiliki jaringan bioskop terbesar, Grup XXI juga mengatur tata edar perfilman, serta menentukan film-film yang bisa tayang di bioskop atau tidak, termasuk menentukan jumlah layar untuk setiap film. Aturan tata edar itu tidak mengacu pada UU No.33 tahun 2009 tentang perfilman, yang sampai saat ini mengalami kemacetan! 

Kembali kepada Eros Djarot, ketika ditanya apakah masih tertarik kembali ke dunia film? Dia berjanji akan kembali. 

“Saya kan patah hati gara-gara film. Masa saya bikin film 'Lastri baru 8 persen, sudah dituduh menyebarkan ajaran komunis! Yang kedua, waktu itu saya bikin film tentang penari Bali, itu bukan (duit) pemerintah tapi cukong. Janji ngasih 10 miliar tapi waktu mau syuting cuma dikasih 1 milyar! Jadi males saya! Di perfilman ini banyak bohongnya. Ya mungkin tahun depan, saya lihat-lihat filmnya,” katanya.

BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait