Ceknricek.com -- Komite Festival Film Indonesia (FFI) meluncurkan Piala Citra 2019 yang berlangsung di Aria Ballroom, The Tribrata, Jakarta Selatan, Senin (23/9). Menurut informasi, ada seratus lebih undangan menghadiri acara itu, sebagian besar wartawan yang diundang untuk meliput. Semestinya lebih banyak wartawan yang berminat meliput, tetapi pihak pengundang tidak merespon sama sekali wartawan yang melakukan konfirmasi.
“Humasnya meneng bae (diam aja) waktu gua konfirmasi. Mungkin karena bukan dari media terkenal, ya wislah gak udah datang. Ora pateken!” kata seorang wartawan hiburan dengan logat Jawanya yang medok.
Seorang wartawan lain yang diundang lewat email juga diperlakukan berbeda dengan wartawan lain yang datang, karena katanya, panitia sepertinya melihat “kasta” media yang datang.
Sejak FFI tahun 2015, perlakuan panitia FFI terhadap wartawan memang selalu begitu. Wartawan “dipilah-pilah” berdasarkan “kasta” medianya. Padahal perlakuan seperti itu pada gilirannya justru akan merugikan penyelenggaraan FFI sendiri, karena gaung yang diharapkan agar masyarakat luas mengetahui ada penyelenggaraan festival film, semakin berkurang.
Sumber: Istimewa
FFI menjadi seperti sebuah kegiatan eksklusif yang nyaris tidak diketahui oleh publik, agendanya. Wartawan tidak pernah tahu siapa yang bertugas di meja Humas FFI, kalau pun ada nama yang ditunjuk, sulit ditemui atau bahkan dihubungi, karena sekretariat panitianya pun tidak jelas. Kalau ada kantor, tidak ada orangnya.
Baca Juga: Apa yang Kau Cari Parfi?
Tahun 2015 ketika FFI diketuai artis Olga Lydia, penulis pernah datang ke Sekretariat FFI yang ketika itu menempati sebuah ruangan di lantai 18 Gedung C Kemdikbud, Jl. Jend. Sudirman Jakarta. Tempat itu dipinjamkan oleh Pusbang Film. Tetapi sesampainya di sana, tidak ada satu pun pejabat teras FFI yang ada di kepanitiaan. Ruang kosong melompong. Pola kerja seperti itu terus berlanjut hingga tahun 2018, karena jajaran panitia juga memiliki kesibukan masing-masing sesuai profesinya.
Sejauh pengamatan dan pengalaman penulis, sistem dan cara kerja kehumasan FFI terbaik dijalankan oleh Bidang Humas FFI yang berada di bawah Panitia Tetap (Pantap) FFI 1988-1992, yang diketahui oleh wartawan Ilham Bintang.
Ketika itu Bidang Humas memiliki hubungan yang baik, bahkan melibatkan wartawan-wartawan film di dalam kepanitiaan maupun dalam kegiatan. Ruang kerja Bidang Humas selalu terbuka. Wartawan yang membutuhkan informasi dilayani. Bidang Humas juga selalu membuat Siaran Pers untuk menyampaikan semua kegiatan di kepanitiaan, bahkan di luar itu yang kaitannya dengan perfilman, untuk kemudian dikirim ke berbagai media melalui faksimili.
Sumber: Istimewa
Wartawan yang datang ke ruang Humas Pantap FFI 1988-1992 seringkali mendapat bonus untuk menjadi bahan tulisan, karena ruang Humas selalu menjadi tempat “parkir” artis, tokoh-tokoh pefilman, juri-juri FFI, produser atau wartawan-wartawan senior.
Orang-orang seperti Drs. Asrul Sani, Teguh Karya, Chaerul Umam, H. Rosihan Anwar, Dr. Salim Said, Marusya Nainggolan, Tatiek Mailyati, bahkan artis menor ketika itu seperti Nurul Arifin kerap datang ke ruang Humas. Bidang Humas Pantap FFI 1988-1992 juga tidak pernah “mengkasta-kastakan” wartawan!
Pola itu coba diteruskan di awal kebangkitan FFI tahun 2004 setelah mati suri selama 12 tahun. Namun, sistem penganggaran yang diatur oleh pemerintah membuat kerja kehumasan menjadi lebih sulit, walaupun sistem dan pola kerjanya tetap diusahakan ramah wartawan.
Di awal pertama kali FFI dipegang oleh lembaga swasta mandiri bernama Badan Perfilman Indonesia (BPI), tahun 2014, Ketua FFI ketika itu, Kemala Atmojo, masih mencoba menghidupkan pola lama, dimana Sekretariat FFI selalu terbuka untuk wartawan, Ketua FFI mudah ditemui dan diwawancarai, sehingga suasana guyub masih terasa. Mungkin karena Kemala Atmojo juga seorang wartawan yang memahami bagaimana tugas wartawan.
FFI dalam tiga tahun terakhir ini memang terasa eksklusif, walaupun “pestanya” terasa hambar, dan kurang menarik perhatian masyarakat. Setidaknya itu yang digambarkan oleh Evry Joe, lelaki berpenampilan necis yang kerap menyebut dirinya produser film, mengomentari acara Puncak FFI di Teater Besar Taman Ismail Marzuki tahun 2018.
“Katanya orang film, tapi kok bikin pesta kaya acara Agustusan! Gua jadi malu sama Gubernur Bengkulu yang gua bawa hadir di tempat itu!” katanya.
Evry menyoroti minimnya kehadiran artis-artis terkenal dalam acara puncak tahun 2018 itu, sehingga untuk pembacaan nama-nama pemenang pun harus dilakukan oleh artis yang sama.
Menurut Ketua Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) H. M Firman Bintang yang pernah menjadi Ketua FFI 2013, glamoritas perlu dalam dunia keartisan, karena insan film memang terkenal glamor. Keglamoran itulah yang membedakan artis dengan masyarakat kebanyakan. Dan keglamoran itu bisa diperlihatkan dalam acara puncak FFI. Yang tidak suka glamor, menurutnya, tidak perlu alergi dengan suasana glamor yang ditunjukkan.
Nah, soal kehadiran artis yang diharapkan memberi “warna” dalam setiap penyelenggaran FFI, memang selalu menjadi persoalan tersendiri bagi panitia, terutama bila FFI diadakan di daerah. Panitia FFI selalu kesulitan meminta artis hadir di acara-acara FFI, karena masing-masing memiliki kesibukan yang berurusan dengan periuk nasinya sendiri. Padahal bagi daerah, kehadiran artis terkenal lebih penting daripada esensi penyelenggaraan FFI itu sendiri.
Baca Juga: Wieke Widowaty, Klarifikasi Terkait Aktivitasnya di Parfi
Menurut keterangan seorang mantan panitia FFI, artis baru hadir kalau ada bayarannya! Kalau acara di daerah, tidak cukup hanya dibiaya transport, hotel dan makannya saja, tetapi harus ada “how-how”nya juga!
“Walaupun ini dunia mereka, mana mau datang kalau enggak ada honornya!” kata seorang mantan panitia FFI.
FFI tersukses dan termeriah sejak dihidupkan lagi adalah pada FFI 2013 di Semarang. Waktu itu Ketua FFI 2013 H. M. Firman Bintang memiliki strategi sendiri, yakni meminta kepada produser-produser film untuk menghentikan kegiatan syuting selama FFI berlangsung, sehingga artis-artis yang diharapkan hadir pada acara puncak di Semarang, bisa hadir.
Sumber: Istimewa
Padahal menurutnya, FFI 2013 nyaris gagal dan membuat Menparekraf Marie Pangestu menangis, karena dalam waktu yang mepet, dua nama yang ditunjuk sebagai Ketua Panitia, tiba-tiba mengundurkan diri dengan alasan tidak bisa bekerja sama dengan kelompok orang film lama.
Dikotomi antara orang film lama dan “anak-anak” muda memang sangat kental dalam perfilman Indonesia. Itu yang sampai saat ini masih sulit terjembatani. Pengembalian Piala Citra FFI oleh sejumlah insan film pada Januari 2007 ditenggarai sebagai gerakan “insan muda” perfilman untuk melawan hegemoni “generasi tua”. Jadi bukan semata-mata protes atas kemanangan film “Ekskul” karya Nayato Fionuala.
Segregasi itu sampai saat ini masih terasa. Sutradara senior Adisurya Abdy yang hadir dalam launching FFI 2019 di The Tribrata, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (23/9) malam, mengatakan merasakan hal itu.
“Saya memang diundang karena masih menjadi Penasihat di BPI. Tetapi yah.., sebagai orang lama kita jadi kesepian di keramaian. Mereka yang duduk di kepanitiaan hanya ngobrol di antara mereka. Seharusnya launching FFI ini berlangsung meriah, dihadiri oleh banyak insan film, baik muda maupun tua, terutama mereka yang telah berjasa bagi perfilman di tanah air. Karena ini akan menjadi trigger (pemicu) untuk rangkaian acara berikutnya,” kata Adi ketika ditemui di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail Jakarta, Selasa (24/9) sore.
Sumber: Istimewa
Ketua FFI 2013 Firman Bintang mengatakan, hendaknya FFI menjadi sebuah pesta, ajang silaturahmi insan film tanpa membedakan generasinya, karena FFI adalah sebuah pesta selain ajang pemberian penghargaan untuk insan film berprestasi.
“Jadi kembalikanlah FFI ini sebagai sebuah pesta. Orang di kampung aja kalau bikin pesta meriah betul. Ada dangdutan, ada makan-makan, pokoknya semeriah mungkin. Masa orang film kalah sama orang kampung?” katanya.
Firman melihat penyelenggaraan FFI di bawah kementerian sekarang ini (Kemendikbud) seperti sebuah konsep yang tidak pernah beres. Padahal menurutnya, semuanya bisa sederhana asal konsepnya jelas. Sederhana banget, apalagi kalau cuma menyelenggarakan FFI. Enggak perlu dengan keramaian yang enggak karu-karuan tapi hasilnya seperti apa. Sayang sekali bahwa ini tidak pernah dikerjakan dengan sungguh-sungguh, tidak pernah dibereskan dengan sungguh-sungguh, selalu jadi uji coba.
Mudah-mudahan teman-teman menyadari, berikan saja kepada yang bisa menjalankan itu, yang memiliki perhatian lebih besar terhadap FFI, yang cukup berprestasi di bidangnya masing-masing.
Menurut Firman, penyelenggara FFI perlu dilihat apa yang diinginkan oleh para pendiri FFI dulu. Yang pertama ingin memberikan apresiasi terhadap teman-teman yang ada di bidangnya masing-masing; kemudian mendekatkan film kepada masyarakatnya. Sebab jika perfilman tidak didekatkan dengan masyarakatnya, akan diambil oleh film luar. Cara mendekatkan dengan masyarakat antara lain dengan mengadakan FFI di daerah, karena kekuatan film Indonesia adanya di daerah.
“Kita harus mengakuilah bahwa penonton Indonesia ada di kelas menengah ke bawah. Kalau pun ada di atas itu bonus aja. Itu yang harus dijaga. Jangan merasa alergi, jangan merasa turun derajat kalau kemudian harus ke daerah-daerah, ikut pawai-pawai seperti itu. Yang lainnya bagaimana teman-teman memberikan apresiasi lewat ajang festival. Tidak usah muluk-muluk!” katanya.
Sumber: Istimewa
Baca Juga: Mengenang Usmar Ismail, Bapak Perfilman Nasional
Yang repot, tandas Firman, kalau kita mengadopsi acara orang tapi kita tidak tahu menjalankannya. Yang kita jalankan sebaiknya yang tahu aja.
“Seperti penjurian saya tidak ngarti pakai konsep apa itu sampe 100 juri. Kalau mau jujur lagi apa yang 100 itu punya kompetensi enggak sih? Hanya banyak-banyakan mewakili komunitas mereka, itu kan enggak perlu!”
Firman berhadap pengambil keputusan tidak perlu malu untuk mengembalikan FFI seperti dahulu. Perlu dicari orang yang paham, mau bekerja, mampu bekerja dan harus didukung, walaupun menurutnya sangat sulit mempersatukan insan film.
“Jadikanlah FFI itu sebagai ajang silaturahim. Kita berkumpul, berpesta, setelah setahun bekerja. Petani aja berpesta, nelayan berpesta. Nah di dalam pesta itu ada penghargaan-penghargaan kepada orang yang mampu berkarya. Kepada yang enggak dapat jangan merasa lebih bodoh daripada yang menang. Setelah pesta usai, kita kembali ke kehidupan kita lagi seperti biasa. Kalau ada kekurangan, kelemahan, jangan dijadikan itu perkara besar!” papar Firman, seraya mengkritik penyelenggaraan FFI akhir-akhir ini yang selalu mepet waktunya.
Ia menggambarkan betapa berwibawa dan bergengsinya FFI di masa lalu, dimana penerima pemenang Piala Citra merasa bangga dan terhormat ketika naik ke panggung untuk menerima Piala Citra. Dan itu menjadi pembicaraan terus-menerus dalam waktu yang cukup lama, bahkan hingga tahun ke depan. Tetapi sekarang ini orang mendapat penghargaan, dapat Piala Citra, terasa hambar juga.
Firman menilai penyelenggaraan FFI di bawah kementerian sekarang ini seperti sebuah konsep yang tidak pernah beres.
“Itu kesalahan pembinaannya. Saya kira Menteri yang sekarang ini tidak punya blue print tentang konsep pembinaan perfilman, sehingga berjalan dengan hobi masing-masing orang. Kadang-kadang kita rasakan ngawur,” katanya.
BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini