Ceknricek.com -- Heboh! Begitulah kesan saya yang hadir di Rakernas PAN ke V di Hotel Millenium 07 Desember lalu. Sebagai warga baru di PAN, saya tidak akan berkomentar bagaimana tradisi Rakernas di PAN pada tahun-tahun sebelumnya. Namun sebagai mantan jurnalis, rasanya saya tidak ingat pernah mendengar terjadi kegaduhan pada hajatan besar apapun di PAN.
Memang berbeda nuansa dengan partai lain, PAN memang partai yang secara tradisi menjauhi kegaduhan. Cara pengambilan suatu keputusan, seringkali terjadi melalui proses musyawarah untuk mufakat, bukan lewat voting. Meski keduanya merupakan cara-cara yang demokratis, musyawarah untuk mufakat lebih menunjukkan betapa mudahnya para elite PAN menyatukan pendapat dan mengambil keputusan.
Lantas apa yang terjadi dengan Rakernas yang lalu? Persaingan memperebutkan kursi Ketua Umum PAN di Kongres tahun 2020 lah penyebabnya. Salah satu isu unik yang muncul di dalam perebutan kursi Ketua Umum PAN adalah soal tradisi bahwa selama ini seorang Ketua Umum PAN hanya menjabat selama satu periode. Memang, dalam AD/ART PAN tidak dibatasi berapa periode seorang Ketua Umum boleh menjabat. Namun, tradisi ini tercipta sejak Ketua Umum (Ketum) pertama, Amien Rais, berlanjut ke Soetrisno Bachir, Hatta Rajasa, hingga Ketua Umum sekarang yang mencalonkan diri kembali, Zulkifli Hasan.
Sumber: CNN
Sebetulnya tradisi itu sendiri tidak tercipta dengan kesengajaan dan dengan niat atau kesadaran. Ada yang berpendapat bahkan Pak Amien Rais sebetulnya terhitung menjabat 2 periode, yaitu 1998-2000 dan 2000-2005. Ada lagi yang berpendapat bahwa jabatan Pak Amien yang pertama tidak melewati kongres, jadi tidak bisa dihitung. Tradisi Ketum satu periode pun sebenarnya juga "dilawan" dan hampir dipatahkan oleh Hatta Rajasa.
Baca Juga: PAN Akan Gelar Kongres Selambatnya Maret 2020
Hatta mencalonkan diri, namun takdir berpihak pada Zulkifli Hasan saat pemilihan Ketua Umum di Kongres 2015 dengan keunggulan 6 suara dari Hatta. Adalah "takdir", bukan "tradisi", yang menggugurkan Hatta menjadi Ketua Umum PAN untuk kedua kali berturut-turut. Dan sebenarnya apa makna “tradisi”? Terlepas dari komitmen apapun yang diucapkan oleh calon Ketum pada masa pencalonannya, apakah penting mempertahankan “tradisi”?
Sumber: Detik.com
Dalam kamus bahasa Indonesia, tradisi itu sendiri berasal dari kata traditio yang berarti “diteruskan”, dan memiliki 2 arti:
1. Adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.
2. Penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.
Apabila melihat dari 2 arti di atas, maka dapat disimpulkan yang dinamakan tradisi itu terbentuk melalui kebiasaan yang berlanjut, karena dianggap paling baik dan benar. Kebiasaan yang diyakini baik dan benar ini menjadi hukum tidak tertulis, dan yang melawan tradisi dianggap melawan hukum tidak tertulis. Nah kalau bicara baik dan benar; ukurannya “baik” adalah subjektivitas, ukuran “benar” adalah objektivitas.
Kalau memakai ukuran “baik”, maka setiap individu di PAN bisa mempunyai penilaian yang berbeda-beda. Ada yang menganggap Ketua Umum cukup menjabat satu periode adalah hal “baik”, demi menjaga regenerasi kepemimpinan di PAN. Ada juga yang menganggap satu periode bukanlah waktu yang “baik” dan cukup bagi siapapun yang menjadi Ketua Umum, untuk berkarya dan memajukan partai. Tentu semua pendapat itu baik, dengan alasannya masing-masing.
Sementara dari ukuran objektivitas, ukuran “kebenaran” yang sesuai fakta apa adanya, salah satu ukuran kesuksesan partai dilihat dari perolehan kursi di legislatif. Sejak partisipasi pertamanya di Pemilu 1999, relatif selalu menjadi partai medioker. Prestasi terbaik PAN, berdasarkan dari data lembaga survei Polmark, adalah di 2004, ketika mencapai 53 kursi dari 560 kursi DPR RI (sekitar 9,4%).
Sumber: Kompas
Selebihnya, PAN relatif stagnan bergerak di antara 40-50 kursi. Dan itu adalah ukuran “kebenaran” faktual sepanjang Pemilu setelah era Orde Baru. Dari fakta tersebut, apakah berarti “tradisi” satu periode itu bukan metode yang benar? Belum tentu juga bisa disimpulkan seperti itu. Sebaliknya, jangan-jangan justru karena mempertahankan tradisi, maka kursi PAN selalu bisa bertahan dari waktu ke waktu sebagai partai menengah? Juga tidak dapat disimpulkan. Terlalu banyak faktor yang dapat mempengaruhi turun-naiknya jumlah suara dan kursi suatu partai.
Namun sebagai partai yang mengklaim diri partai reformis, rasanya kurang tepat apabila PAN justru mengedepankan “tradisi”. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PAN hadir sebagai salah satu partai politik yang memberikan harapan akan hadirnya politik dengan “tradisi” yang baru, jauh dari tradisi KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) yang melekat pada rezim Orde Baru. Apabila “tradisi” mau dikedepankan, maka reformasi 1998 itu sendiri tidak akan terjadi. Paham demokrasi sendiri juga sebetulnya merupakan ideologi yang selalu menuntut perubahan.
Baca Juga: Kongres PAN Disarankan Dipercepat Untuk Hindari Konflik Internal
Kekuasaan di sistem demokrasi pun sifatnya tidak absolut dan permanen, dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Seorang profesor teologi politik asal Universitas Duke bernama Luke Bretherton, Amerika Serikat, berpendapat bahwa demokrasi merupakan “work in progress”, yang artinya proses yang selalu berjalan. Demokrasi bukanlah paham yang final, hanya punya satu bentuk dan sesuatu yang kaku. Demokrasi justru hadir mendobrak kekakuan yang ada di sistem lainnya; menyesuaikan situasi, kondisi, hati dan suara rakyat di tempat tersebut. Jadi tidak ada kewajiban mempertahankan “tradisi” dalam paham demokrasi, kecuali tradisi berdemokrasi itu sendiri.
PAN juga dikenal sebagai salah satu partai yang agamis. Bernapaskan pemikiran-pemikiran ala Muhammadiyah, PAN hadir untuk memperkaya warna Islam di dunia politik Indonesia. Lantas, apakah mempertahankan “tradisi” itu juga diwajibkan oleh agama Islam? Tentu saja tidak.
Sumber: Okezone
Dalam Islam, satu-satunya “tradisi” yang wajib dipertahankan adalah perintah-perintah Allah yang tertuang di kitab suci Al-Quran, dan sebagian besar diatur dalam hadis yang sahih. Apabila ada “tradisi” yang berkembang di masyarakat dan itu bertentangan dengan perintah Allah, maka itu sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk meluruskan “tradisi” yang melenceng tersebut, atau minimal mengingatkan. Justru di dalam Islam, di zaman dahulu seringkali seorang nabi diturunkan oleh Allah, ketika “tradisi” menyembah berhala sudah semakin marak di kalangan umat di tempat nabi tersebut diturunkan. Jadi dalam Islam, satu-satunya tradisi yang wajib dilakukan adalah perintah-perintah Allah.
Dan meskipun sifatnya wajib, perintah-perintah Allah tersebut dijalankan dengan kesadaran diri masing-masing umat, tanpa paksaan. Dan tujuannya untuk memperbaiki diri, yang merupakan never-ending progress (proses yang tiada berhenti) hingga akhir hayat. Tentu saja definisi “baik” ini yang akan menilai pada akhirnya adalah Allah SWT. Berbedakah dengan sistem demokrasi? Tidak. Persis seperti Bretherton, demokrasi pun proses yang never-ending untuk menjadi sistem yang lebih baik sepanjang waktu. Namun tolok ukur “baik” di demokrasi tentu saja adalah rakyat. Baik Islam maupun demokrasi juga sama-sama memilik sifat “tidak memaksa”. Mengutip Quran surat Al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat...”
Dan toh, sungguh benar apa yang disebut berulang kali oleh Prof. Dr. Amien Rais dalam berbagai kesempatan: “semua sudah tertulis di Lauh Mahfuz”. Baik dalam sistem demokrasi maupun dalam Islam, melawan tradisi adalah sesuatu yang wajar, selama tidak melawan aturan yang berlaku, baik aturan yang dibuat manusia, maupun aturan Allah. Lantas, masih penting kah mempertahankan tradisi? Apalagi tradisi yang tercipta bukan dengan kesengajaan tersebut, belum dianalisa lebih mendalam apakah betul ada korelasi langsung dengan "kebaikan" dan "kebenaran". Dan tidak ada aturan tertulis manapun yang dilanggar apabila tradisi tersebut dilawan. Yang pasti, baik Islam maupun paham demokrasi sama-sama menekankan pentingnya “tidak ada paksaan”. Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana memilih pemimpin yang cocok untuk menjawab tantangan ke depan, terlepas dari sesuai atau melawan tradisi.
Wallahu alam bisshawab
*Romy Bareno, Wasekjen PAN
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar