Kenapa Film "Bumi Manusia" Harus Saya? (Bagian 4 - habis) | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Kenapa Film "Bumi Manusia" Harus Saya? (Bagian 4 - habis)

Ceknricek.com -- Dalam pengakuan Pram di sebuah wawancara, dia mengatakan, Minke adalah Tirto Adhi Suryo. Tapi dia juga mengatakan dalam wawancara yang berbeda, sosok Tirto hanyalah sebagai sebuah acuan saja. Sejatinya Minke hanyalah tokoh fiksi tak ubahnya Forest Gump. Terbukti dalam Jejak Langkah, Pram tidak menyebut siapakah Dokter Jawa? Gadis Jepara? Padahal kita sebenarnya bisa menebak bahwa mereka adalah Dr. Wahidin dan R.A Kartini.

Jangan-jangan Pram, melalui sosok Minke, justru sedang menciptakan tokoh fiktif yang bertujuan merangsang anak-anak muda seperti saya agar menjadi sosok yang melebihi dirinya sendiri?

Sumber: twitter @minuru

Baca Juga: Kenapa Film "Bumi Manusia" Harus Saya? (Bagian 1)

Kalau Minke adalah tokoh rekaan Pram yang too good to be true, lalu bagaimana saya harus menghadirkan ke dalam layar? Apakah Iqbal Ramadhan sebagai representasi anak muda milenial, aktor muda yang digandrungi anak-anak muda zaman now, pembaca sekaligus meresensi Bumi Manusia dalam bahasa Inggris di sekolah yang memposisikan dia sebagai murid minoritas di Kanada, tidak cukup sebagai representasi Minke zaman sekarang?

Sejujurnya untuk mengatakan 'iya', saya membutuhkan waktu yang lama. Saya melihat lagi anak saya sendiri, Barmastya Bhumi yang juga baru lulus SMA. Sambil turut merayakan perpisahannya dengan kawan-kawan seusianya saya melakukan tanya jawab dengan teman-teman Bhumi tentang cita-cita, tentang penindasan, bahkan tentang cinta. Rata-rata tidak ada yang bisa menjawab sebagaimana Minke menjawab di Novel Bumi Manusia.

Sumber: twitter @minuru

Dari sana saya kemudian mengingat kembali saat pertama kali kita membaca Bumi Manusia di usia Iqbal dan Bhumi. Adakah Minke di sekeliling kita? Atau jangan-jangan yang ada hanyalah anak-anak muda yang ingin menjadi Minke. Ah, barangkali saya terlampau skpetis dengan anak-anak muda zaman nowWell, saya ubah pertanyaan.

Saya percaya, ada Minke di antara kita. Tapi apakah mereka seorang aktor seperti Reza Rahadian? Kalau memang ada anak muda jenius sekaligus aktor, adakah dia seorang populer seperti Iqbal Ramadhan? Ah, dari seorang Minke saya akhirnya menyadari betapa masih kerdilnya industri film kita, yang terbukti mencari sosok Minke saja sangatlah sulit. Benarkah itu?

Baca Juga: Kenapa Film "Bumi Manusia" Harus Saya? (Bagian 2)

Pertanyaan demi pertanyaan terus terlontar bahkan ketika hari-hari saya dan Iqbal menjalankan latihan bersama, berproses bersama menjadi Minke baik di studio latihan maupun di lokasi syuting.

"Apa yang harus saya lakukan, Om?," tanya Iqbal kepada saya

"Baca ini".

Saya berikan buku Multatuli. Juga beberapa catatan pemikiran Snouck. Siapa Snouck? Apa fungsinya dia bagi Minke?

Sambil istirahat di ruang latihan, saya kisahkan padanya apa itu Babad Tanah Jawi. Bagaimana orang-orang Jawa seperti saya percaya sekali dengan mitos kemenangan dan kekuasaan.

"Menjadi orang Jawa tidak sesederhana berbicara medok! Kamu harus berpikir sebagaimana orang Jawa berpikir".

Dan Iqbal Ramadhan mulai berbahasa Jawa dengan saya dan para kru yang dari Jawa. Hari-hari latihan Iqbal menunjukkan antusiasmenya. Berupaya menjadi Minke. Atau lebih tepatnya menjadi sosok sesuai ekspektasi saya.

"Hati Minke itu berdarah, Bal! Ayo Tinggalkan semua kemudahan-kemudahanmu di rumah. Masak sendiri. Cuci sendiri piring bekas makananmu. Ngepel! Cuci baju! Rasakan jadi budak di rumahmu sendiri."

Iqbal menjalani itu. Tanpa keluh kesah. Tanpa perlawanan. Ketika di lokasi syuting, alih-alih mendapatkan ruang tunggu selayaknya seorang bintang, Iqbal rela berada di ruang yang panas. Hanya untuk mendapatkan perasaan yang tertekan. Sosok pemuda yang awalnya petentang-petenteng itu sudah menjadi manusia yang berbeda. Apakah dia Minke yang saya bayangkan? Saya tidak bisa menjawabnya. Tapi sejauh mata melihat, dia sudah berusaha melampau dirinya sendiri. Sesuatu yang (mungkin) dikehendaki Pram kepada anak muda ketika membaca Minke.

Sumber: BBC

Saat adegan berpisah dengan Ann, Iqbal kebingungan. Dia mondar-mandir dengan gelisah. Anak muda mana yang pernah mengalami peristiwa yang dialami Minke dan Annelies? Sejenius apapun remaja saat ini, tidak akan pernah mengalami tragika yang dialami Minke.

"Saya susah merasakan sakit, Om. Saya tidak pernah mengalaminya," kata Iqbal

Saya hanya terdiam. Saya benar-benar tersadar, aktor yang di hadapan saya ini adalah seorang anak muda. Sekalipun novel Bumi Manusia sudah dia bedah sedalam mungkin dengan bahasa yang bukan bahasa Ibunya, tetap saja dia masih anak umur 19 tahun. Jiwanya tak punya rujukan. Butuh asupan. Tapi apa?

Baca Juga: Kenapa Film "Bumi Manusia" Harus Saya? (Bagian 3)

"Tolong pukul saya, Om," kata Iqbal yang membuatku kaget luar biasa. "Pukul saya!

'PLAK!'

Saya pukul lengannya. Di tempat yang tentunya tak membuatnya cedera. 

"Lagi, Om!," pintanya.

'PLAK!'

"Lagi!"

'PLAK!'

Aku mulai tidak tega.

"Lagi, Om!"

'PLAAKK! PLAAAK!! PLAAKKKK!!!'

Iqbal menahan air matanya.

"Lagi Om!"

Ini yang terakhir. Satu pukulan keras mengenai lengannya. 'BUAAKK!!'

Terdengar suara Iqbal mengejan. Menahan sakit.

And camera roll? Action!

Sumber: Istimewa

Sederet kalimat keluar dibalik tangisnya yang pecah.

"Kita sudah kalah, Ma!’ Kalah!"

Kalimat itu mengakhiri Film Bumi Manusia yang sedang dia mainkan. Apakah dia berhasil menjadi Minke yang saya inginkan?

Iqbal Ramadha sudah berusaha menjadi yang terbaik buat dirinya. Jika masih ada yang belum puas,  mari tanyakan kepada sang pencipta.

Sumber: Akurat

Wahai Bung Pram, apakah Iqbal sudah menjadi sosok yang kau ciptakan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya? 

Jakarta, 19 Agustus 2019.

BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait