(bagian terakhir dari dua tulisan)
Ceknricek.com--Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materiil UU 17/2023 (Perkara 182/PUU-XXII/2024, tgl 3/6/2025) baru-baru ini, para Hakim MK mempertanyakan alasan yang mendasari (Asbabun Nuzul) terjadinya reformasi dan reposisi institusi bidang kesehatan dalam UU 17/2023, khususnya terkait Konsil Kedokteran, Kolegium, dan Organisasi Profesi Medis.
Lebih jauh lagi, Hakim Asrul Sani mempertanyakan mengapa Organisasi Profesi (OP) Medis dan Nakes (yang sebelumnya sudah Tunggal) dibuat menjadi Multi Bar, padahal UU 18/2003 tentang Advokad dan UU 11/2014 tentang insinyur malah memastikan dan memperkuat keberadaan OP Tunggal. Hakim Saldi Isra secara tegas bahkan meminta menkes untuk menghadirkan bukti hasil studi/ riset akademis bahwa institusi bidang kesehatan yang saat ini ada tidak mendukung reformasi kesehatan (misalnya semua catatan jelek pemerintah soal IDI).
Semua narasi menkes menjawab pertanyaan tersebut patut kita telaah satu persatu, karena banyak narasi tidak sesuai dengan fakta yang ada, yang dilandasi kesimpulan asumtif tanpa bukti empiris yang bisa dijelaskan, bahkan banyak narasi yang patut diduga penuh dengan kebohongan.
Konsil Kedokteran, lembaga negara yang mewakili Kepentingan Masyarakat dalam mengawal Kebebasan Akademik Kolegium dan Disiplin Profesi Kedokteran
Dalam penjelasannya, menkes bernarasi bahwa meskipun OP tidak lagi tunggal, “supaya tidak ada perbedaan dalam hal standar etik, standar pelayanan, standar profesi dan lainnya, maka pencatatannya mesti hanya 1 yaitu di Konsil Kesehatan, dulu Konsil Kedokteran (menkes: cuma namanya saja yang diubah), ini report langsung ke Presiden, hanya melalui saya”. Dengan telaah jujur berdasarkan UU 29/2004 yang melahirkan Konsil Kedokteran, akan terlihat bahwa narasi menkes tentang Konsil Kedokteran ini manipulatif dan penuh kebohongan.
Dalam Bahasa awam, Konsil adalah lembaga yang mengesahkan semua standar-standar yang dibuat oleh Kolegium, dan sekaligus mengawasi praktek profesi para dokter. Sebelum ada UU 17/2023, Konsil Kedokteran Indonesia (Konsil) dibentuk sebagai amanat UU 29/ 2004 tentang Praktek Kedokteran, dalam rangka melindungi masyarakat dalam pelayanan kedokteran dan menjaga mutu pelayanan kedokteran (dalam Bab III, ada 22 Pasal terkait Konsil). Konsil ini bertanggung jawab kepada Presiden selaku Kepala Negara, dan tentu saja tidak boleh tunduk kepada perorangan (siapapun, termasuk menkes).
Pada Pasal 14 tentang keanggotaan, disebutkan bahwa keanggotaan Konsil ditetapkan oleh Presiden, diusulkan oleh menkes berdasarkan usulan seluruh stakeholder yaitu organisasi profesi dokter dan dokter gigi, asosiasi institusi pendidikan dokter dan dokter gigi, asosiasi rumah sakit Pendidikan, Kemenkes, Kemendikti-Saintek, dan Lembaga Konsumen (selain wakil dari negara, sisanya merupakan representasi dari Civil Society di bidang kedokteran dan kesehatan). Untuk mengawasi dan menindaklanjuti laporan dari pasien terkait praktek profesi, Konsil dibantu oleh sebuah Lembaga Peradilan Profesi yaitu Majlis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Dari pasal 14 UU 29/2004 ini terlihat jelas sebuah mekanisme Kontrol dan Pengawasan oleh negara (Check and Balance) atas kebebasan akademik dan integritas profesi yang ada pada lembaga Kolegium. Ujud dari kontrol/ pengawasan oleh negara ini bukanlah dalam bentuk kekuasaan yang arogan, mengancam, atau bahkan membungkam, melainkan melalui peran dari Civil Society (wakil dari masyarakat dan para stakeholder terkait) dalam keanggotaan Konsil Kedokteran, untuk memastikan terakomodasinya kepentingan masyarakat luas. Rumusan ini membuktikan wisdom dan sekaligus futuristik-nya pola pikir mereka yang membidani Konsil Kedokteran, diantaranya Prof Menaldi Rasmin, Sp P, dkk., bukan Budi Gunadi Sadikin.
Konsil Kesehatan menurut PP 28/2024 dan PMK 12/2024: sepenuhnya dikangkangi menkes dan semua anggotanya para pesuruh menkes.
Dalam PMK 12/2024, Bab II, Pasal 5-14 terkait seleksi calon anggota dan pimpinan Konsil, setiap orang atau siapapun bisa mencalonkan diri dan mengikuti seleksi sebagai anggota (dengan mengatasnamakan kelompok nakes atau named tertentu), tanpa harus benar-benar (de-jure dan de-facto) menjadi representasi kelompok nakes-named tersebut.
Selanjutnya lewat pansel yang dibentuk menkes, menkes sendiri yang menetapkan mereka menjadi anggota konsil. Tidak ada lagi klausul ‘atas usulan dari pemangku kepentingan (AIPKI, ARSPI, IDI, Lembaga Konsumen, dll.)’, sebagaimana terdapat pada UU 29/2004. Jadi keterwakilan Civil Society sebagai stake holder utama dalam penyelenggaraan layanan kesehatan dilenyapkan dalam UU 17/2023, dan seluruh Anggota Konsil adalah para pesuruh menkes, yang rentan Conflict of Interest.
Sebagai Negara Demokrasi, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Secara filosofis bisa dimaknai, bahwasanya Konsil tidak bisa disebut sebagai lembaga negara tanpa ada keterwakilan rakyat di dalamnya. Jadi jelas, tanpa keterwakilan/ representasi civil society dalam keanggotaannya, maka Konsil tidak bisa disebut sebagai lembaga negara, meskipun ditetapkan oleh Presiden.
Betapa culas dan jahat orang atau pihak yang telah mendegradasi kedudukan Konsil dari Lembaga Negara menjadi Lembaga Pesuruh menkes. Yang paling kocak (lebih kocak dari ‘stand-up comedy’), selain proses seleksi yang samasekali tidak transparan, adalah ketika menkes menunjuk ‘pembantu’-nya, Ketua Pansel Arianti Anaya (ex Dirjen Nakes) menjadi Ketua Konsil Kesehatan.
Apalagi dalam PP 28/2024 Pasal 696 dinyatakan bahwa: dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang, Konsil harus berkoordinasi dengan menkes, dalam rangka menjamin kesesuaian dengan kebijakan yang ditetapkan oleh menkes. Bila dalam hal pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang tidak sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh menkes, menkes dapat melakukan penyesuaian pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang. Jelas kasat mata, menkes dapat melakukan intervensi, dan peran ‘civil society’ benar-benar dilenyapkan, akibatnya konsil betul-betul terdegradasi ke bawah ketiak menkes, bahkan lebih rendah lagi sampai ke bawah selangkangan menkes.
Dengan membandingkan Konsil Kedokteran menurut UU 29/2004 dengan Konsil Kesehatan hasil rekayasa menkes, jelas terlihat secara kasat mata, ini bukan cuma perubahan nama seperti kata menkes di depan MK (Kebohongan Pertama). Keanggotaan Konsil Kesehatan sepenuhnya ditunjuk menkes, tertuang pada Bab II PMK 12/2024, tidak ada lagi klausul ‘atas usulan dari para stake holder urusan kesehatan/ Civil Society’ Kebohongan Kedua). Selanjutnya tentang pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang ‘harus sesuai dengan kebijakan menkes’, dan ‘bisa diintervensi oleh menkes’ (PP 28/2024 Pasal 696), otomatis meniadakan independensi Konsil Kesehatan (Kebohongan Ketiga).
Kebijakan menkes mendegradasi kedudukan konsil serta memangkas habis independensi konsil ini harus secara terbuka dan penuh kejujuran disampaikan di hadapan yang mulia para hakim MK. Demikian pula latar-belakang dari kebijakan yang culas dan menelikung kedaulatan rakyat ini. Sebagai pejabat publik yang masih punya rasa malu, bila dugaan sebagai aktor intelektual atas kejahatan melenyapkan peran civil society dalam Konsil ini terbukti benar, maka langkah pengunduran diri adalah cara yang terhormat.
Ketahuan Bohong, masih ngeles Menuduh Kolegium di bawah OP penuh Conflict of Interest
Narasi lanjutan menkes berikut ini harus kita tanggapi secara serius karena berupa tuduhan tanpa bukti kepada Kolegium, hanya berlandaskan atas (meminjam istilah yang mulia Hakim Konstitusi Saldi Isra) ‘Kesimpulan Asumtif’. Mengapa standar-standar tersebut dibuat di konsil, bukan di OP nya, “to avoid conflict of interest, OP disusun oleh anggotanya, bertujuan mensejahterakan anggotanya.
Kalau keputusan konsil dan kolegium (maksudnya OP dan Kolegium) bersinggungan dengan interest masyarakat, pasti akan kalah (kepentingan masyarakat), contohnya kasus hemodialisa, maka masyarakat pasti akan dikalahkan. Karena masyarakat doesn’t have a representative voice untuk bisa melakukan perlawanan di konsil (maksudnya Kolegium) di bawah OP”.
Pertama perlu ditegaskan sekali lagi bahwa, menkes secara sepihak telah memangkas habis dan melenyapkan keterwakilan masyarakat dan Civil Society dalam lembaga Konsil Kesehatan (dengan menghilangkan klausul ‘atas usulan dari AIPKI, ARSPI, Lembaga Konsumen, dll….). Sekarang, secara sadar dia sendiri yang berteriak “masyarakat doesn’t have a representative voice”, persis sekali dengan adagium ‘Maling Teriak Maling’ (Kebohongan Keempat).
Bukan kali ini saja menkes bernarasi bohong di depan publik terkait OP Dokter dan Nakes. Semuanya adalah bagian dari upaya sistematis untuk mendegradasi peran organisasi profesi (OP) kesehatan, menjadikan OP hanya sekedar sebagai sebuah serikat pekerja yang hanya perlu memikirkan kesejahteraan anggotanya saja (misal narasi perbedaan kasta antara dokter dan perawat dan narasi OP melakukan pemerasan terselubung). Tuduhan Menkes kepada IDI bahkan jelas sampai menyebut angka uang 430 M terkait pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR), dan uang lebih dari 1 T terkait pengurusan Satuan Kredit Profesi (SKP) dokter (video TikTok@drtonysetiobudi). Semua ini baiknya dirangkum dalam Kumpulan Kebohongan Menkes.
Praktek kedokteran harus berdasarkan kaidah sains yang sudah memiliki evidence based, serta dilaksanakan dengan berpedoman pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Semua ketentuan terkait etika profesi ini bertujuan melindungi masyarakat dari praktek dokter tanpa etika, yang memanfaatkan ketidaktahuan pasien demi keuntungan materi semata (operasi pada kasus yang sebenarnya tidak perlu dioperasi, atau meresepkan ‘obat’ yang seolah bisa mempercepat kesembuhan, bahkan mempraktekkan tindakan/ cara pengobatan yang masih uji coba, belum berdasarkan EBM, semata hanya berdasarkan testimoni tokoh/ pejabat).
Tugas pokok dari sebuah OP adalah “Guiding the Profession-Protecting the People”, artinya tanggungjawab terbesar OP adalah menjaga para anggotanya dalam mempraktekkan ilmu kedokteran. Makna regulasi yang jadi kewenangan pemerintah dengan hak OP untuk meregulasi dirinya adalah dua hal yang tidak sama. Dalam OP apapun termasuk OP Arsitek, Akuntan, Notaris, Psikolog, apalagi OP Kesehatan, masing-masing punya aturan terkait keanggotaan, aturan sertifikasi kompetensi/ profesi, dan aturan tentang kode etik profesi (menjabarkan nilai-nilai moral, apa yang benar dan tidak benar).
Yang pasti, tidak satupun OP di dunia ini yang hanya berperan sebagai sebuah serikat pekerja/ ormas, yang khusus hanya memperjuangkan kesejahteraan anggotanya. IDI adalah bagian dari World Medical Association atau WMA yang beranggotakan 115 OP yang masing-masing mewakili setiap negara. Selain sebagai OP tunggal yang mewakili asosiasi dokter di negara masing-masing, salah satu syarat keanggotaan WMA adalah independensi OP (tidak berada dalam kooptasi pemerintah, atau di bawah Lembaga Pemerintah).
Kasus Hemodialisa, Disinformasi (Hoaks) seorang Menkes tentang OP Spesialis Penyakit Dalam
Memperjuangkan kesejahteraan anggota adalah tugas utama sebuah serikat pekerja tapi bukan fungsi utama atau tugas pokok sebuah OP. Para anggota OP ini sadar bahwa ikatan moral dan kepercayaan masyarakat kepada dokter, harus dijaga baik sehingga mereka rela diatur oleh kode etik yang isinya tidak mungkin dibuat atau diambil alih oleh pemerintah. Kewenangan yang dimiliki OP untuk meregulasi dirinya sendiri ini berangkat dari kesadaran nilai-nilai luhur profesi akan tanggungjawab dan ikatan moral untuk melindungi masyarakat.
Terkait layanan hemodialisa (Terapi Pengganti Ginjal) di Indonesia, mengikuti Permenkes 812/ 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Dialisis pada Fasyankes. Jelas disebutkan dalam Pasal 3 Ayat 2 tentang persyaratan ketenagaan, keharusan adanya Spesialis Penyakit Dalam (SpPD) Konsultan Ginjal Hipertensi (KGH) sebagai Supervisor (Pengawas), dokter SpPD dengan Kompetensi Tambahan (KT) (dengan sertifikat pelatihan dari OP) sebagai Penanggung Jawab, dan Perawat Mahir Hemodialisa minimal 3 orang untuk 4 mesin hemodialisa.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri/ Perhimpunan SpPD-KGH) telah menerbitkan Kurikulum Pelatihan Dialisis Dokter dan Perawat pada tahun 2013, yang kemudian secara resmi diadopsi oleh Badan PPSDM Kemenkes pada tahun 2018. Selanjutnya, Pernefri menyusun Petunjuk Teknis Pengembangan Pelayanan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di RS, yang kemudian diterbitkan oleh Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan, Dit-Jen Yankes, pada tahun 2021. Landasan Hukum terbaru adalah Permenkes 17/ 2024 tentang Standar Penetapan Penyelenggaraan Pelayanan Dialisis, yang isinya mengikuti persyaratan ketenagaan dan syarat minimal mesin Hemodialisis sesuai dengan PMK 812/ 2010.
Semua aturan mulai dari PMK 812/2010 sampai PMK17/2024 adalah masukan dari OP Pernefri dan Kolegiumnya. Berangkat dari kewajiban moral memperluas cakupan layanan, keputusan untuk memulai Pendidikan Hemodialisis Dasar bagi dokter Spesialis Penyakit Dalam diinisiasi oleh Pernefri sejak awal tahun 2008. Bahkan Pernefri selalu berperan aktif dalam setiap kegiatan visitasi Fasyankes sebelum diberikan ijin penyelenggaraan layanan Dialisis.
Dari 15 Program Studi Penyakit Dalam, telah dihasilkan 5990 dokter SpPD. Diantaranya ada 13 yang punya Pendidikan Subspesialis Ginjal-Hipertensi, dan telah menghasilkan 238 Subspesialis Ginjal-Hipertensi (KGH), ditambah 651 orang SpPD -KT Hemodialisis Dasar, dan sejak 2024 telah dimulai program Fellowship kompetensi hemodialisis Dasar untuk 71 peserta didik.
Perjuangan Dokter dan OP Dokter di Indonesia memiliki sejarah panjang, sebagai Founding Fathers negeri ini, jauh sebelum negeri ini merdeka di tahun 1945. Bahkan setelah kemerdekaan-pun banyak dokter yang tampil di garis depan mempertahankan kemerdekaan ini. Nama Dr. Abdurrahman Saleh dan Dr Kariadi terukir nyata di benak bangsa. Dokter yang mati karena perahunya terbalik di laut NTT, dan dokter yang mati dibunuh saat bertugas di Papua bukan peristiwa rekaan dalam sinetron. Kematian lebih dari 750 dokter dan ribuan Nakes saat pandemi Covid-19 adalah bukti keberpihakan saat bangsa terancam bahaya.
Sebaliknya, adanya akumulasi kekuasaan di kemenkes pernah melahirkan sebuah mega skandal korupsi ‘Pojok Maut’ di era tahun 1980an. Bahkan saat Pandemi pun tidak sedikit (oknum) pejabat kemenkes yang tega berbuat korupsi dalam Pengadaan APD, dan masih banyak lagi.
Dialisa ini dibutuhkan oleh pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) Stadium 5 (end stage). Meski menurut Pernefri angkanya lebih tinggi, data Riskesdas 2024 menyebut prevalensi PGK sekitar 0,38% atau 1.067.800 penduduk Indonesia (https://www.tempo.co). Diantara mereka, PGK stadium 5 yang membutuhkan layanan Dialisa (Pernefri 2024) berjumlah 277.628 dan yang bisa mendapatkan layanan Dialisa baru 134.057 atau 48% saja.
Dari uraian fakta peran PAPDI dan Pernefri di atas, tampak jelas peran OP dalam memperluas cakupan layanan Dialisis bagi pasien PGK Stadium 5. Tuduhan menkes di hadapan Hakim MK bahwa OP (PAPDI/ Pernefri) membatasi layanan Hemodialisa hanya boleh dilakukan oleh Subspesialis Ginjal saja adalah kebohongan yang nyata, bahkan fitnah keji yang bertentangan dengan semua bukti empirik yang dalam 20 tahun terakhir ini dilakukan oleh PAPDI dan Pernefri (Kebohongan Kelima).
Semoga Allah SWT melindungi kami, dokter dan OP Dokter Indonesia, dari segala bentuk narasi bohong dan fitnah keji yang terus di ulang-ulang. Sampai kapanpun, kami Dokter Indonesia tidak akan pernah mengkhianati perjuangan para pendahulu kami, Amin YRA.
#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Spesialis, Guru Besar Universitas Diponegoro
Editor: Ariful Hakim