Merdeka Belajar: Membuang Urusan Administrasi | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Kompas

Merdeka Belajar: Membuang Urusan Administrasi

Ceknricek.com -- Siang itu, sejumlah sekolah dasar yang ada di kompleks kantor Kecamatan Bekasi Utara sudah sepi dari suara anak-anak. Murid-murid sudah pulang. Di sini ada beberapa SD, antara lain SD Perwira dan SD Kaliabang. Tak ada anak didik bukan berarti guru-guru ikut pulang. Mereka masih tampak sibuk. “Kami pulang pukul setengah tiga sore,” ujar Bariyah (50), seorang guru di situ.

Hal seperti itu terjadi saban hari, kecuali di hari libur. Kendati para murid sudah pulang pada pukul 12.30, para guru tetap bertahan sampai sore. Para pahlawan tanpa tanda jasa ini mengerjakan tugas-tugas administrasi, seperti menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran atau RPP, silabus, dan lainnya.

Merdeka Belajar: Membuang Urusan Administrasi
Sumber: Sekolahkita

Masuk pagi, pulang sore hukumnya memang wajib bagi guru yang berstatus aparatur sipil negara atau ASN. Kewajiban tersebut berlaku di seluruh pelosok Tanah Air. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan (Permendikbud) Nomor 15 Tahun 2018. Permen ini mengharuskan para guru stand by di sekolah dengan alokasi waktu 40 jam dalam sepekan. Maknanya, mereka baru boleh pulang sekitar pukul 14.30 setiap harinya. 

Guru yang tidak menjalankan kewajiban ini bisa kena sanksi. Tunjangan dipotong atau lainnya. Dengan aturan 40 jam kerja ini, masing-masing sekolah diharuskan menggunakan alat finger print sebagai absensi. 

Penyederhanaan 

Guru disibukkan administrasi yang bertele-tele. Nimas Erlinda (25), guru agama SD Ciracas Jakarta, mengatakan kewajiban administrasi ini sangat melelahkan, juga membosankan. Itu sebabnya, ia berharap RPP lebih disederhanakan. “Kan enggak ngefek sama siswa,” ujarnya. “RPP dibuat sederhana agar guru lebih fokus ke tugas pokok mengajar siswa,” tambahnya. 

Itu sebabnya Nimas, juga guru yang lain, menyambut baik gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang akan merampingkan RPP. Ada empat program pokok kebijakan pendidikan yang bakal diterapkan Menteri Nadiem. Empat program ini ia sebut sebagai “Merdeka Belajar”. 

Selain RPP, program tersebut meliputi perubahan pada Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi. Nadiem mengatakan, empat program pokok kebijakan pendidikan tersebut akan menjadi arah pembelajaran ke depan.

Merdeka Belajar: Membuang Urusan Administrasi
Sumber: USBN2019

Baca Juga: Zonasi Setengah Hati

Soal penyusunan RPP, Nadiem mengatakan akan dibuat lebih sederhana dengan memangkas beberapa komponen. Nantinya, guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP. Tiga komponen inti RPP terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. Penulisan RPP dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran.

Ketua Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif, Budi Trikorayanto, mengatakan urusan administrasi itu memang menjadi masalah bagi guru. “Masalah administrasi harus dilempar jauh-jauh,” tandasnya.

Bahkan, ia juga menganggap sertifikasi bagi guru tidak ada kaitannya dengan peningkatkan mutu pendidikan. “Buat apa itu? Guru itu sangat memahami apa yang harus dilakukan kalau dia dimerdekakan. Standarnya you harus bikin murid ini pintar. Bagaimana caranya? Serahkan kepada guru. Dia mau belajar sambil jalan di pinggir kali, silakan. Tidak harus terbelenggu di dalam kelas,” ujarnya.

Belenggu Peraturan 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kemendikbud menyadari persoalan pendidikan kita adalah banyaknya belenggu-belenggu. Itulah yang mendorong diusungnya “Merdeka Belajar”. Belenggu itu banyaknya patokan, aturan-aturan. Guru mengajar berdasarkan aturan. Itu sudah terlanjur nyaman. Birokrasi juga ikut terlanjur nyaman. Setiap ada persoalan, keluar Permen aturan. 

Di dunia pendidikan, guru mengajar dan anak belajar harusnya kreatif, tidak terlalu banyak belenggu peraturan. Konsep “Merdeka Belajar” membolehkan guru berkreasi. Guru bisa membuat soalnya sendiri untuk menguji siswanya. Tidak bergantung pada soal-soal bekas UN.

Merdeka Belajar: Membuang Urusan Administrasi
Sumber: Redaksikota.com

Guru membuat rencana belajarnya sendiri dan berpikir bagaimana mengajarkan kurikulum menjadi sebuah “masakan” yang enak untuk para muridnya. Tidak didasarkan pada melakukan satu persatu seperti prosedur operasi standar atau SOP.

Baca Juga: Merdeka Belajar: Kuncinya di Guru

Guru satu dan yang lain bisa dengan cara berbeda sehingga anak juga bisa punya kreativitas sendiri dan pendapat dalam menjawab persoalan. Kemerdekaan berpikir inilah yang menciptakan kreativitas dan inovasi. 

“Mengenai standarisasi RPP dan rapor, itu second priority, nanti akan dipikirkan. Sekarang kita tujuannya untuk memerdekakan mereka,” ujar Totok Suprayitno, Kepala Balitbang Kemendikbud.  

Merdeka Belajar: Membuang Urusan Administrasi
Sumber: Istimewa

Bagaimana jika guru dan sekolah masih bingung dengan konsep “Merdeka Belajar” ini? Totok menjelaskan yang belum tahu caranya, diberikan pertolongan. Tidak harus begini begitu.  Jika begini begitu ujung-ujungnya nanti bisa keluar juklak (petunjuk pelaksanaan), juknis (petunjuk teknis) lagi dan malah lupa bagaimana cara kreatif mengajar. Makanya kita berikan guru kepercayaan diri agar mereka bisa berkreasi.

“Misalnya, proyek inovasi yang kami lakukan di kaki Gunung Bromo. Kondisi sekolahnya dengan murid hanya 3-4 orang. Gurunya dari daerah Sumba. Kami tidak berikan resep dan biarkan guru berinovasi mengajar” katanya.

Ide ini, menurutnya, tidak datang melalui aturan-aturan dari pusat. “Tapi kita harapkan ada perubahan-perubahan kecil mulai dilakukan dari bawah,” urainya. Ini soal keberanian untuk melakukan perubahan. “Kami minta pengawas termasuk kepala sekolah tidak melakukan larangan-larangan yang tidak sesuai dengan ide kebebasan mengajar,” lanjutnya.

Fasilitator

Lalu ada juga pertanyaan, bagaimana mengawasi dan memantau guru dalam evaluasi pengajaran tersebut. Apakah ada tim pengawas? Menurut Totok, bukan pengawasan, tapi lebih pada pemandu, pendampingan, fasilitator. Perannya nanti lebih pada mendorong, menolong dan membantu guru agar lebih berani berkreasi tanpa harus takut disalahkan. “Jadi paradigmanya bukan teaching yang harus sesuai aturan, tetapi learningGood learning dilakukan melalui good teaching,” ujarnya. 

Disadari, bahwa tidak semua sekolah terbiasa melakukan itu. Ada kalanya sekolah atau guru yang kurang bisa, tetapi ada juga yang dipaksa menggunakan soal orang lain dan tidak mau. Makanya guru harus mampu membuat item tes. Model asesmennya sendiri. Guru didorong untuk mengevaluasi peserta didik.

Merdeka Belajar: Membuang Urusan Administrasi
Sumber: Kemendikbud

Baca Juga: Tak Ada UN, Leha-leha?  

Totok mengatakan bagi sekolah yang belum mampu, bisa menggunakan soal USBN sebelumnya. “Tetapi ke depan harus mulai berlatih membuat item tes dan cara evaluasinya sendiri. Jangan lagi dikoordinir, misalnya oleh kabupaten, provinsi. Itu bisa jadi UN kecil lagi di daerah. Jadi, harus dilakukan oleh guru di sekolah yang bersangkutan,” katanya. 

Ujian sekolah tidak harus bentuknya tes tertulis. Bisa melalui portofolio prestasi dan kemampuan non akademik. Untuk itu pemerintah akan membantu memfasilitasi dalam pengembangan guru berlatih membuat tes melalui forum-forum guru. 

“Kita memberikan refleksi kepada guru apa yang harus diperbaiki. Ini dilakukan agar guru tidak hanya menguasai konten mata pelajaran, tetapi kompetensi penalaran yang diperlukan anak-anak. Itulah yang harus dilakukan” katanya. “Kalau hanya menguasai pengetahuan obyek yang dipelajari, padahal tuntutan zaman selalu berubah, maka anak juga harus dibekali kemampuan untuk belajar.” 

Membebani Siswa

Totok mengatakan untuk wilayah-wilayah khusus terpencil akan ada pendekatan yang dilakukan dan disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Tetapi asesmen dasarnya memang didesain berbasis komputer seperti sistem UNBK.

Idenya adalah gerakan. Ada sekelompok sekolah yang siap jadi pionir best practices. Andalannya adalah contoh-sekolah yang sudah maju dan mampu menerapkan. Apalagi dengan teknologi sekarang ini. Konsep itu bisa ditularkan ke sekolah lain. Dan dalam proses kreatif ini tidak ada hukuman salah benar.

Campuran antara portofolio dan ujian sekolah, juga membebani siswa. Tentu saja ini tidak menjadi soal. Yang perlu dihilangkan adalah beban yang tidak ada kaitannya dengan peningkatan kemampuan anak. Misalnya beban administrasi, seperti guru harus menyiapkan RPP, ikuti aturan dan penyiapan dokumen untuk kenaikan pangkat. Tapi kalau beban itu membuat laporan siswa setiap bulan dan berguna untuk refleksi perbaikan anak, ya tidak apa-apa.

Merdeka Belajar: Membuang Urusan Administrasi
Sumber: Radarcirebon

Soal standar kelulusan menurut Totok akan sama. Ada UN atau tidak. Kurikulum menggariskan ada standarnya. “Untuk mengevaluasi perbedaan, asesmen skala nasional itu untuk melihat disparitas antara satu sekolah dengan sekolah lainnya,” katanya.

Menurut Totok, sudah satu tahun ini pihaknya mengembangkan sistem untuk asesmen kompetensi. Sudah ada progress untuk kelas 4, kelas 8, dan kelas 11. Nanti item tesnya harus banyak dan berbasis komputer. “Untuk investasi pengadaan komputer akan menjadi program, tapi bukan semata-mata untuk asesmen. Itu bisa jadi alat untuk belajar keseharian siswa,” katanya.

Lebih jadi lagi Totok mengatakan kurikulum 2013 masih sangat relevan dengan Merdeka Belajar. Kurikulum ini sejak awal desainnya seperti ini, Merdeka Belajar. Justru kalau kita flashback, sejak implementasi pertama kali, proses Merdeka Belajar itulah digunakan untuk menerapkan kurikulum 2013. Dulu kan ada pendekatan scientific yaitu melatih berpikir secara ilmiah, tidak belenggu. Pendidikan itu memang melatih berpikir secara ilmiah.

BACA JUGA: Cek BUKU & LITERATUR, Berita Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait