Periode Pertama Pemerintahan Jokowi, Pembinaan Perfilman Amburadul | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Periode Pertama Pemerintahan Jokowi, Pembinaan Perfilman Amburadul

Ceknricek.com -- Dua bulan setelah dilantik menjadi Presiden RI Periode 2014 - 2019, Ir. Joko Widodo (Jokowi) menghadiri acara puncak FFI 2014 di Palembang, Sumatera Selatan. Ketika itu dia berjanji akan mendukung perfilman Indonesia yang dinilai berpotensi menjadi penggerak ekonomi kreatif.

Tahun ini, Jokowi akan dilantik menjadi Presiden RI periode 2019-2024, Minggu (20/10) mendatang. Sudahkah perfilman berjalan sesuai yang diharapkan?

Berikut pendapat pengamat film, wartawan senior, Kepala Sinematek Indonesia yang pernah menjadi Ketua Pelaksana FFI 2008, Akhlis Suryapati. Wawancara berlangsung di Sekertariat Sinematek Indonesia, Gedung PPHUI Kuningan Jakarta, belum lama ini.

Periode Pertama Pemerintahan Jokowi, Pembinaan Perfilman Amburadul
Foto: Dok.Ceknricek.com

Apakah dalam lima tahun terakhir perfilman sudah berjalan sesuai dengan yang diinginkan masyarakat perfilman? 

Yang pertama saya jelaskan kenapa film pindah dari Kemenparekraf ke Kemendikbud waktu itu atas perintah undang-undang. Untuk kelengkapan kelembagaan kemudian dibentuklah Pusbang Film. Bahwa Pusbang Film kemudian di bawah Sekjen, itu struktural mereka dalam mengelola perfilman, sehingga negara menjadikan Pusbang sebagai Pengelola Teknis dalam pengembangan perfilman. 

Kalau ditanya bagaimana perfilman dalam lima tahun terakhir ini terasa, perfilman tidak beranjak ke mana-mana, baik film sebagai entitas budaya maupun film sebagai industri. 

Kalau dilihat sebagai entitas kebudayaan, sebelumnya FFI, workshop atau diskusi-diskusi sudah berjalan. Dalam lima tahun terakhir ini sama saja. Bahkan bisa jadi kita merasa semakin menurun. Contohnya pada FFI makin menurun baik dari kualitasnya maupun performance-nya. Parameternya adalah jika dulu orang tergila-gila dengan Piala Citra, sekarang menjadi kurang atau kita sebut hilangnya marwah Piala Citra. Belum lagi sistem penjurian yang menyangkut trust--masyarakat percaya atau tidak--dan sebagainya.

Dari segi performance ketika masih di bawah Kemenparekraf--meskipun waktu itu juga belum ideal--dulu FFI terasa meriah, ada pawai, siaran langsung televisi.

Jadi ada tiga hal dalam FFI yang menurun, yakni perayaan, promosi, dan publikasi yang kurang hingga FFI tidak bergaung, dan FFI sebagai ajang silaturahmi bagi stakeholder perfilman, yang sudah hilang. Menjadikan Pusbang sebagai rumah besar perfilman, terasa kurang. 

Periode Pertama Pemerintahan Jokowi, Pembinaan Perfilman Amburadul
Foto: Dok.Ceknricek.com

Dulu yang diharapkan dengan berdirinya Pusbang Film itu apa?

Dari awal perfilman membutuhkan satu payung pembinaan yang sifatnya lebih interaktif dengan pemangku kepentingan.

Dulu yang terkait dengan nomenklatur perfilman yang pertama adalah Direktorat Film. Dan Direktur pertamanya orang film, Syumanjaya. Waktu itu di bawah Departemen Penerangan, unsur pemerintah dan masyarakat perfilman bisa menyatu. Kebetulan waktu itu Harmoko (Menpen) adalah wartawan dan di Dewan Film. Sehingga terjadi sinergi waktu itu.

Tentu saja ketika kemudian lahir lembaga-lembaga seperti Direktorat Film, kemudian berubah menjadi Direktorat Perfilman, lalu Direktorat Kesenian dan Film, dan terakhir ini Pusbang Film, tentu saja pemerintah sebagai otoritas perfilman di bidang regulasi dan fasilitasi, menjadi sinergis dengan masyarakat perfilman yang terus berkembang baik dari segi industri maupun regulasi.

Apakah itu sudah tercapai? Belum! Dari sektor regulasi kita terus menagih Peraturan Pemerintah turunan Undang-Undang yang tak kunjung terbit dan selesai. Memang ada beberapa seperti untuk penyensoran dan pendaftaran film, itu pun baru selesai setelah bertahun-tahun. 

Regulasi kita lihat masih seperti itu. Tidak terasalah bagaimana menata peredaran dan lain sebagainya. Dari segi fasilitas, yang dulu insan perfilman merasa gembira, ikut memiliki perfilman, sekarang terasa menyempit.

Periode Pertama Pemerintahan Jokowi, Pembinaan Perfilman Amburadul
Foto: Dok.Ceknricek.com

Baca Juga: Apa yang Kau Cari Parfi?

Misalnya fasilitas penyelenggaraan FFI, fasilitas penyelenggaraan Hari Film Nasional, fasilitas pembuatan film untuk pemula, fasilitas jambore film nasional, masih banyak stakeholder perfilman yang belum merasakan. Makin ke sini semakin terkotak-kotak masyarakat perfilman. Ada dikotomi, ego sektoral dan sebagainya. Itu memang problem warisan sebelum ada Pusbang, tapi tugas Pusbang seharusnya membuat itu tidak terjadi. 

Kalau sekarang salurannya melalui BPI atau Komite FFI, pertanyaannya apakah itu sudah menjadi representasi sebagian besar masyarakat perfilman?

Benarkah FFI itu menjadi fasilitas sebagian masyarakat film untuk terselenggaranya festival film yang melibatkan sebagian besar pemangku kepentingan? Itu yang tidak terasa. 

Jadi persoalan apa yang membuat Pusbang Film gagal menjalankan fungsi sesuai harapan?

Ya kegagalan itu disebabkan oleh ketidakseriusan atau ketidakyakinan, bisa juga ketidakmampuan mereka yang diberikan otoritas secara hukum. Tetapi tidak bisa melaksanakan walaupun sangat jelas visi missi Pusbang, tapi tidak mampu atau tidak bisa melaksanakan karena kendala-kendala birokrasi atau kendala politik di dalamnya. 

Political will atau kemauan dari pemerintah menjadi penting untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan, karena perangkat lembaganya, nomenklaturnya dibentuk untuk itu.

Kalau tidak bisa melaksanakan berarti ada kendala di dalamnya, yang jelas bukan uang karena negara punya uang. Kendala hukum? Tidak juga, karena adanya lembaga itu dibentuk oleh undang-undang dan peraturan. Kalau tidak berjalan berarti political will atau keinginan yang tidak ada. 

Periode Pertama Pemerintahan Jokowi, Pembinaan Perfilman Amburadul
Foto: Dok.Ceknricek.com

Jadi kemungkinannya, pertama, yang duduk di sana tidak paham, kedua paham tapi tidak mampu dan ketiga putus asa daripada berhadapan dengan masalah-masalah yang rumit.

Perfilman masalahnya ya itu. Itu yang membuat tidak berhasil mengemban amanah yang diharapkan.

Kalau bicara keberhasilan perfilman, pemerintah selalu mengukur dengan angka. Mengeluarkan data. Buktinya produksi film dan jumlah penonton meningkat terus? 

Itu satu pola pikir menyesatkan yang dikampanyekan. Menyesatkan logika akal sehat. Jumlah produksi meningkat dan penonton bertambah tidak menjadi ukuran. Anak kita dari dua terus jadi lima apakah kualitas hidupnya meningkat? Kesehatannya bagus, pendidikannya bermutu? Kalau dari lima hanya dua yang sehat, sementara yang tiga sengsara, itu bukan berhasil namanya. 

Baca Juga: Menanti FFI Sebagai Barometer Prestasi dan Ajang Silaturahmi

Kalau ada 120 judul film tiap tahun, berapa yang sukses sebagai industri maupun karya cipta. Yang dapat 1 juta penonton itu kan tidak sampe 15 judul. Yang break event point tidak sampe 40 judul. Artinya ada 80 judul yang jeblok, tekor atau rugi. Dalam industri yang namanya rugi itu gagal. Waktu film Indonesia masih 100 judul di tahun 80-an paling yang rugi 5-10 judul.

Kalau soal jumlah penonton meningkat, jumlah penduduk juga meningkat. Dulu 135 juta sekarang 250 juta.

Soal penghargaan yang diterima insan film yang disebut sebagai indikasi keberhasilan, zaman Bambang Hermanto juga sudah dapat penghargaan. Kalau dibilang sekarang makin banyak, iyalah, festival yang diikuti juga semakin banyak.

Logika-logika itu dipakai untuk menyesatkan. Celaka kalau kita percaya. Karena yang terjadi sebenarnya tidak maju, bahkan mundur dari yang dulu-dulu itu. 

Sekarang ada dua institusi yang menangani perfilman, yakni Pusbang Film (Kemendikbud) dan Bekraf. Apakah ada nilai tambahnya buat perfilman? 

Enggak ada. Yang ada kekacauan. Dulu perfilman pernah berada di bawah Kemenparekraf dan Kemendikbud di masa peralihan. Apakah film semakin baik? Tidak. Yang ada adalah program-program kembar. Misalnya Kemenpar menyelenggarakan FFI, Kemendikbud bikin AFI (Apresiasi Film Indonesia). Di sana bikin Jambore Film yang lain bikin festival anu. Karena yang dipikir adalah politik anggaran, bukan program film itu sendiri, sehingga program film itu sendiri tidak berjalan dengan baik.

Periode Pertama Pemerintahan Jokowi, Pembinaan Perfilman Amburadul
Foto: Dok.Ceknricek.com

Baca Juga: Mengenang Usmar Ismail, Bapak Perfilman Nasional

Bekraf adalah keturunan Kementerian Ekonomi Kreatif, Pusbang keturunan Kemendikbud. Jadi semuanya hanya melanjutkan kekacauan itu tadi. Bahwa Bekraf berada langsung di bawah presiden, dan Pusbang di bawah Kemendikbud, dua-duanya sama hanya bermain pada politik anggaran! Bukan politik pembinaan perfilman, bukan political will menyelenggarakan perfilman sesuai undang-undang.

Tetapi kan ada juga orang-orang film yang bisa menikmati situasi dan kondisi ini?

Di dalam kekacauan, selalu saja ada yang diuntungkan. Ketika perang, pedagang senjata, pedagang bahan pokok atau BBM bisa mengeruk keuntungan.

Termasuk dalam perfilman, ada calo, ada pemodal kuat yang diuntungkan. Kenapa UU Perfilman--yang diundangkan sejak tahun 2009--tidak punya peraturan sampai sekarang, ini kan supaya ada kekacauan, dan ada pihak yang diuntungkan dalam kekacauan itu. 

Kalau pertanyaannya banyak orang film diuntungkan, memang iya. Tapi bukan ekosistem perfilman yang sehat, yang adil, yang sesuai falsafah hukum kita.

BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait