Upah Mahal, Minim Insentif | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Sumber: Republika

Upah Mahal, Minim Insentif

Ceknricek.com -- Pengusaha saat ini dihadapkan pada upah yang terus naik. Di sisi lain, pemerintah kurang memberi insentif. Kini, daerah-daerah dengan upah selangit mulai ditinggalkan investor. Para pemilik pabrik ini memilih daerah yang ramah di kantong. Jawa Tengah menjadi salah satu incaran. Sedangkan sebagian daerah di Banten dan Jawa Barat mulai ditinggalkan. Selain upah yang mahal, buruh di sejumlah daerah di provinsi ini terlalu rajin demo. Sudah begitu, kalangan preman menguasai daerah ini.

Ya, pemerintah sudah menetapkan besaran kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2020. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor B-m/308/HI.01.00/X/2019, kenaikan UMP dan/atau UMK pada 2020 sebesar 8,51%.

Kenaikan UMK ini oleh pengusaha dianggap terlalu tinggi. Parahnya, daerah dengan upah yang selama ini sudah mahal akan semakin mahal saja. Itu sebabnya sejumlah pengusaha berencana memindahkan pabrik mereka di daerah dengan upah buruh murah.

Bahkan, tak menutup kemungkinan, mereka akan memindahkan tempat usahanya ke mancanegara. “Mending kalau pindahnya di antara Indonesia. Namun, kalau pindahnya ke negara lain, itu kan jadi non-produktif kenaikan UMR ini,” ujar Rosan Perkasa Roeslani, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, belum lama ini.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Banten, Babar Soeharso, mengungkap ada tiga pabrik sepatu dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 100 ribu orang akan hengkang dari Banten mulai 2020. Ketiga pabrik itu tersebar di wilayah Tangerang. Ini jadi ancaman potensi pengangguran di Banten makin bertambah,

"Tiga pabrik dari Tangerang, 3 perusahaan itu sudah membangun tapi masih berproses di sini. Pasti (memiliki) lebih dari 100 ribu lebih tenaga kerja," katanya, Rabu (13/11) seperti dikutip detikcom.

Alasan utama industri alas kaki pindah dari Banten karena upah minimum yang tinggi terutama Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK). Faktor lain adalah soal ketersediaan sumber daya yang terampil industri alas kaki. Pada Juni 2019, ada 25 pabrik di Banten yang berencana relokasi ke Jateng dan wilayah lainnya.

Sumber: CNN

Persoalan upah di Banten, untuk konteks UMP 2019 Banten hanya Rp2,2 juta dan UMP 2020 hanya sebesar Rp2,4 juta. Namun, UMK justru jauh lebih tinggi.

Baca Juga: BPS: Setahun, Upah Harian Buruh Naik Tak Sampai Rp2.500

UMK di Kota Cilegon dan hingga Kabupaten/Kota Tangerang termasuk yang tertinggi di Indonesia. UMK Kota Cilegon sebesar Rp3,91 juta, UMK Kota Tangerang sebesar Rp3,86 juta, UMK Kabupaten Tangerang Rp3,84 juta, Kabupaten Serang Rp3,82 juta. UMK sektoral jauh lebih tinggi lagi. UMK di Tangerang pada 2019 mencapai Rp3,8 juta, tapi UMK sektoral untuk industri alas kaki mencapai Rp4 juta. Satu pabrik alas kaki bisa mencapai puluhan ribu orang, bahkan ada yang sampai 50 ribu orang.

Daerah Mahal

Ada sejumlah pertimbangan yang dipegang oleh dunia usaha ketika merelokasi pabriknya ke daerah lain. Paling utama terkait upah yang dianggap mahal dibanding lokasi yang disasar. Selain Banten, Jawa Barat juga menjadi daerah yang paling disorot. Di beberapa kota atau kabupaten di provinsi itu sangat tinggi. Kabupaten Karawang dan Bekasi adalah daerah yang upahnya paling mahal di Jawa Barat, bahkan di Indonesia.

Tahun ini atau sebelum naik, UMK Kabupaten Karawang mencapai Rp4.234.010,27, lebih tinggi dibanding dengan UMP di DKI sekalipun yang sebesar dari Rp3.940.000. Tahun depan UMK Karawang naik sebesar 8,51%, akan kembali menjadi yang tertinggi, sebab UMP DKI 2020 hanya Rp4.276.349.

Selain Karawang, UMK di Jawa Barat yang tergolong mahal adalah Kota Bekasi sebesar Rp4.229.756 pada 2019. Sedangkan pada 2020 naik menjadi Rp4.589.708. Kabupaten Bekasi Rp4.146.126,18, Kota Depok Rp3.872.551,72, dan Kota Bogor sebesar Rp3.842.785,54.

Baca Juga: UMP Kecil, Jadi Pahlawan Devisa Saja

Ketika Jawa Barat mulai ditinggalkan, ada satu daerah yang menjadi favorit baru bagi dunia usaha karena UMP/UMK-nya jauh dibanding dengan Jawa Barat. Yang masih murah itu Jawa Tengah, seperti daerah Semarang, Tegal, dan Demak.

UMK Jabar. Sumber: Istimewa

Selama ini, Jawa Barat memang pusatnya industri nasional, sebab sebagian besar dari jumlah industri yang tercatat, ada di daerah ini. Untuk industri makanan dan minuman, misalnya, dari 70% industri mamin yang ada di Jawa, paling banyak ada di Jawa Barat. Jawa Timur dan Jawa Tengah menyusul.

Premanisme

Selain faktor upah, alasan lain pengusaha memindahkan pabriknya juga karena perilaku premanisme di suatu daerah. Tiga tahun terakhir ini ratusan pabrik hengkang dari Jawa Barat dengan alasan premanisme. Di sana, premanisme dianggap bagian dari biaya berjalannya sebuah usaha. “Di Jawa Barat, satu-satunya daerah di mana orang mau bekerja harus bayar ke preman bukan ke pabrik. Mereka menekan pabrik agar menerima pekerja yang dibawanya,” kata Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, seperti dikutip SINDO Weekly belum lama ini.

Sumber: Newcorner

Masalah premanisme itu yang membuat resah banyak pelaku usaha. Premanisme juga akhirnya menciptakan kondisi instabilitas sosial dan politik. “Di Jawa Barat, sedikit-sedikit demo karena dikelola oleh preman,” tegas Ade.

Memang merelokasi pabrik akan memakan ongkos yang tidak sedikit. Toh, bagi pengusaha, langkah itu lebih efisien atau menguntungkan ketimbang bertahan di daerah yang mematok UMP dan UMK tinggi, dan juga rawan stabilitasnya. Dalam jangka panjang, pindah lebih menguntungkan.

Tentu saja ini menjadi catatan bagi daerah-daerah yang memiliki UMP atau UMK yang tinggi. Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, menyadari soal tingginya upah di Jawa Barat. Makanya, Juli lalu, Ridwan menggelar rapat dengan International Labour Organization (ILO) guna membahas pola pengupahan di Jawa Barat.

Dalam rapat itu, ILO mengusulkan agar sistem pengupahan di Jabar menggunakan standar internasional. Usulan tersebut diyakini mampu meminimalisasi perbedaan nilai upah di tiap daerah, berkeadilan, dan membuat buruh lebih sejahtera, termasuk menjaga para investor agar tidak lari ke luar Jabar. “Kami akan buat sistem pengupahan yang lebih baik dan berkeadilan sesuai standar internasional sehingga bisa menjaga kualitas ekonomi Jabar, buruhnya sejahtera, investor juga tidak ada yang pergi keluar Jabar,” tutur Ridwan, kala itu.

Insentif

Hengkangnya pabrik jelas menjadi berkah bagi daerah yang didatangi, seperti Jawa Tengah. Sepanjang tahun lalu, ekspor kumulatif Jawa Tengah mencapai US$6.588,01 juta atau naik 9,96% dibanding ekspor kumulatif 2017 yang sebesar US$5.991,37 juta. “Ekspor Jawa Tengah melejit karena relokasi pabrik itu,” kata Ade Sudrajat.

Jika relokasi pabrik yang terjadi masih di lingkup nasional, tentu tidak terlalu menjadi masalah. Ya ibaratnya, keluar dari kantong kiri masuk ke kantong kanan. Artinya, perpindahan itu masih dinikmati oleh bangsa sendiri.

Baca Juga: Lima Tahun ke Depan, Pariwisata Siap Jadi Penyumbang Devisa Terbesar

Perkaranya menjadi berbeda jika relokasi pabrik ke mancanegara. Tentu saja keputusan itu akan merugikan kita semua. Soalnya, selain buruh-buruh kita kehilangan penghasilannya, pendapatan pajak buat negara juga lenyap.

Apalagi, imigrasi atau perpindahan pabrik ke mancanegara pernah terjadi. Seperti yang dikatakan oleh Ridwan Kamil, dari 140 perusahaan yang tutup dan hengkang dari Jawa Barat, setengahnya terbang ke luar negeri. Hampir semua alasan penutupan itu berkaitan dengan upah yang tinggi.

Sumber: Istimewa

Selain di Jawa Barat, Batam juga pernah mengalami hal yang sama. Ada dua perusahaan di sana yang tutup dan berpindah ke Kamboja demi mendapatkan buruh yang lebih murah. Akibatnya, banyak buruh di kedua pabrik itu menjadi pengangguran.

Faktor lain yang membuat investor hengkang dari Tanah Air adalah kebijakan terkait insentif. Di negara-negara tetangga, upah buruh di sana mungkin lebih mahal, tetapi ada insentif untuk perizinan dan energi. Alhasil, biaya yang dikeluarkan tentunya tidak begitu besar sehingga bisa mengupahi pekerja di sana lebih tinggi.

Tingginya upah buruh di Indonesia tentu akan menggerogoti daya saing industri nasional. Apalagi, dunia usaha juga masih harus dihadapkan oleh biaya-biaya lain, seperti energi, logistik, dan administrasi birokrasi. Itu akan sangat menjadi beban bagi pelaku industri.

Tak heran kalau kemudian industri padat karya mengalami kontraksi dari segi investasi. Tiap tahunnya, investasi ke sektor industri ini mengalami penurunan, seperti sektor manufaktur. Sektor ini tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional dalam tiga tahun terakhir. Pada kuartal kedua 2019 saja, pertumbuhannya cuma 3,54%, angka itu jauh dari target sebesar 5%.

Perkara upah memang dilematik. Terlalu mahal ataupun murah sama-sama merugikan semua.

BACA JUGA: Cek BIOGRAFI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait