Ceknricek.com -- Keberadaan 12 Wakil Menteri mengundang gunjingan sejak dilantik dalam struktur Kabinet Indonesia Maju. Pada Rabu (27/11) kemarin, Bayu Segara menggugat pengadaan jabatan ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Warga Petamburan, Jakarta Pusat, tersebut meminta jabatan wamen dihapus karena dinilai sebagai pemborosan. Lebih dari itu, keberadaan wamen juga membuat tumpang tindih dengan struktur kementerian.
Bayu menilai adanya penambahan jabatan 12 wamen tanpa ada alasan urgensitas yang jelas. “Ini tidak sesuai dengan putusan MK Nomor 79/PUU/IX/2011," katanya.
Sumber: Merdeka
Baca Juga: Biar Gaji Mini yang Penting Wamen
Bayu yang sehari-hari aktif sebagai advokat itu menggugat Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang berbunyi: Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat Wakil Menteri pada kementerian tertentu. "Petitum. Menyatakan Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum Bayu.
Sebelum gugatan Bayu mendarat di MK, soal jabatan wamen memang sudah menjadi pergunjingan. Apalagi setelah belakangan diketahui bahwa jabatan wamen hanya sebagai proyek bagi-bagi kursi saja.
Boros
Gugatan rakyat yang diwakili Bayu, tidak asal. Bagaimana pun penambahan nomenklatur kementerian, posisi wakil menteri hingga dua posisi dalam satu kementerian memiliki risiko terkait kenaikan belanja non-produktif yakni belanja pegawai dan belanja barang.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo lumayan boros soal ini. Pada 2015, belanja pegawai mencapai Rp281,1 triliun dan pada 2020 direncanakan naik menjadi Rp416,1 triliun. Total kenaikan belanja pegawai mencapai 48% dalam 6 tahun terakhir. Hal yang menjengkelkan, gaji, tunjangan, dan fasilitas lain yang masuk dalam pos belanja pegawai dinikmati oleh pejabat tapi tidak diikuti oleh kesehatan fiskal maupun produktivitas ekonomi secara nasional.
Belanja barang ikut meningkat secara signifikan hingga 43,2% sejak tahun 2015-2020. Pengeluaran belanja barang sayangnya tidak beriringan dengan kontribusi belanja Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5-5,1%.
Sumber: Kementerian Keuangan
Baca Juga: Proyeksi 2020: Jebakan Angka 5
Selain itu, pemborosan belanja barang memperburuk ketergantungan pemerintah terhadap pembiayaan yang berasal dari utang. Artinya, postur Kementerian/Lembaga (K/L) termasuk pengangkatan pos-pos seperti wakil menteri yang gemuk hanya menambah beban bagi pendanaan belanja pemerintah.
Belanja barang ikut meningkat secara signifikan hingga 43,2% sepanjang 2015-2020. Pemborosan belanja barang memperburuk ketergantungan pemerintah terhadap pembiayaan dari utang.
Tidak Sinkron
Sementara belanja yang produktif yakni belanja modal hanya naik 10,6% dalam enam tahun terakhir. Hal ini tidak sinkron dengan komitmen pemerintah untuk mendorong pembangunan infrastruktur masif. Padahal, belanja modal memiliki multiplier effect yang lebih besar terhadap perekonomian, karena rantai pasok yang panjang dan produktif dibandingkan belanja pegawai dan belanja barang.
Jika dilihat dari struktur pendanaan belanja K/L pada 2019, sebagian besar sumber pendanaan non-rupiah mengandalkan utang Rp55,5 triliun atau 41,8% dari total dana non-rupiah murni. Pendanaan rupiah nonmurni yang berasal dari utang meliputi pinjaman luar negeri, pinjaman dalam negeri, dan Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN).
Sumber: Itoday.co
Baca Juga: Bahaya Doping Rupiah Bagi Ekonomi Indonesia
Hal ini mengindikasikan di luar penerimaan perpajakan, penggunaan dana utang untuk belanja K/L memiliki dampak yang cukup luas bagi keberlanjutan fiskal. Belanja pegawai dan belanja barang yang kurang produktif berakibat pada minimnya dorongan pada sektor swasta untuk meningkatkan penerimaan devisa dari ekspor.
Apabila model ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri untuk pembiayaan belanja K/L yang tidak semua produktif berlanjut, dikhawatirkan Debt to Services Ratio (DSR) akan naik.
Pada 2014, DSR Tier I tercatat sebesar 23,9% kemudian naik menjadi 34,3% pada kuartal II 2019. DSR yang tinggi menunjukkan adanya gap antara kenaikan pembiayaan utang dengan penerimaan devisa termasuk dari ekspor.
Persoalannya, pos-pos baru perlu dibentuk sekadar untuk memberi tempat para anggota koalisi yang dianggap berjasa saat pilpres lalu. Inilah yang menjadikan rakyat tidak bisa diam.
BACA JUGA: Cek HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar